Langsung ke konten utama

Postingan

FESTIVAL TRADISI SURA (2) : LARUNG GINTUNG

Prosesi tradisi Sura bukanlah ajang pesta pora layaknya pergantian tahun yang kita kenal selama ini. Sura bukan ditandai dengan kembang api, namun dengan rasa syukur yang dalam. Salah satunya adalah selamatan yang dilanjutkan dengan larung. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Ruwat bumi menjadi terasa lebih sakral saat memasuki tahun yang baru. Dan bagi warga yang hidup di sekitar sungai ataupun laut, bersih desa biasanya akan dilanjutkan dengan sedekah air atau larungan. • Festival Larung Gintung • Desa Pagerandong, Kecamatan Kaligondang untuk kali pertama menggelar Festival Larung Gintung. Sebenarnya bukan hal baru bagi warga di seputar Makam Wangi dan Kali Gintung untuk melakukan larung pada setiap tahun baru. Namun baru tahun ini tradisi larung dibuka untuk umum. Sebelum mencapai lokasi untuk larung, pengunjung dihadiahi jalanan berliku yang cukup membuat jantung berdebar lebih kencang. Jika memilih jalan lain, maka silakan bisa melalui desa Kaliori, kecamata

FESTIVAL TRADISI SURA (1) : FGS

Fase bulan baru kali ini telah mengantarkan kita memasuki Sura. Bulan pertama dalam kalender Jawa. Sistem pergantian waktu berbasis lunar. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Hadirnya Sura diwarnai cukup banyak agenda festival budaya. Termasuk di Purbalingga. Beberapa diantaranya : Festival Gunung Slamet (FGS), Festival Larung Gintung, Grebeg Onje, Festival Congot hingga ruwatan di sejumlah tempat seperti di  Museum Lokastithi Giri Bdhra Cipaku, desa Panusupan, desa Grecol dan desa Kejobong. • Festival Gunung Slamet • Event tahunan Festival Gunung Slamet (FGS) telah memasuki tahun ke-3. Prosesi pengambilan air dengan lodong di Tuk Sikopyah menjadi yang paling dinanti warga Serang dan sekitarnya. Bagaimana tidak ? Sumber mata air dingin dari Gunung Slamet ini dipercaya memiliki tuahnya tersendiri. Mangga untuk kisah tentang Tuk Sikopyah dapat dilihat di postingan FGS tahun-tahun sebelumnya. FGS #3 dilaksanakan pada 21 - 23 September 2017 di Serang Rest Area.

Dari Mbah Suralingga hingga Wedang Menir

Alunan calung dengan senandung magis terdengar di sebuah pendapa berbentuk joglo. Seorang berpakaian serba hitam tengah menerawang Dakem, si gadis muda yang mengalami kejang. Ia diduga terkena "ipat-ipat wayah sandekala". Dan Mbah Suralingga sedang menyembuhkannya. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Suasana berubah kembali penuh gelak tawa ketika sang "dukun" harus berulang kali menelan air kembang yang semestinya disemburkan pada pasiennya itu. Pertunjukan tradisi lisan dari Duta Seni Purbalingga ini makin membuat pengunjung bergeming. Anjungan Jawa Tengah ramai siang itu. Minggu, 3 September 2017. Acara yang dimulai pukul 09.00 pagi ini memang sejak awal sukses menyedot penonton. Kolaborasi tradisi lisan, calung dan lenggeran antara sanggar seni Dersanala dan Wisanggeni mengundang banyak decak kagum. Penabuh calung adalah para pelajar tingkat SMP yang tergabung dalam sanggar seni Wisanggeni asuhan Wendo Susetyo. Mereka inilah yang menjuarai FLS2N t

Candi Supit Urang Talagening

Candi. Mohon sedikit ubah bayangan akan kemegahan bangunan serupa Borobudur akan kata ini. Karena kata candi bisa saja mengacu pada bangunan, petilasan atau makam. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Tak jauh dari perbatasan Talagening - Serayu Larangan, saya diantarkan penduduk ke Candi Supit Urang. Satu tempat yang tak bisa mereka jelaskan, selain " makam Mbah Rantansari ". Sore itu, berapa tahun silam, usai ngadem di Curug Siputhut, perjalanan berlanjut ke Candi Supit Urang. Kaki hanya sepakat untuk mengikuti saja langkah seorang perempuan paruh baya. Ia biasa mengantarkan orang-orang menuju makam tersebut. Kami harus melewati kebun-kebun penduduk. Dan tampak aliran sungai Soso di sepanjang perjalanan. Berselang 10 menit saja, si penunjuk jalan ini berhenti. Sebuah makam sederhana ada disana. Ia segera membersihkan dedaunan kering yang jatuh. " Niki pesareane Mbah Rantansari ". Pagar batu setinggi ± 50 cm tampak mengelilingi makam ini. Banyaknya

Hey, Mr. Postman

Surat pernah menjadi salah satu bagian mesra dalam kehidupan kita. Saya beruntung terlahir di era 80'an. Karena masih sempat merasakan menanti Pak Pos dan ramai-ramai menyelipkan sepucuk surat di Brievenbus sepulang ekskul. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Saat berseragam putih biru, rasanya wajib menengok jendela kantor TU sekolah setiap berangkat atau istirahat. Surat untuk kita akan dipajang disana. Meski tak hobi korespondensi, ada sekitar 10 surat saya terima melalui alamat sekolah. Semua pasti dari saudara sepupu atau kerabat lain yang sepantaran di luar kota. Eh, ada satu surat balasan hasil korespondensi yang kemudian dibuka ramai-ramai begitu ketahuan siapa pengirimnya. Yes, Rio Febrian, jawara Asia Bagus saat itu yang sudah jadi idola baru. Padahal hanya isi biodata dan foto, tapi tetap saja jadi rebutan. • Bis surat • Jika mendapat kiriman surat cukuplah menunggu di rumah atau sekolah, maka untuk mengirimnya kami harus ke Kantor Pos. Beruntung, SMP

Namanya Orak-Arik

Adegan di layar sedang seru-serunya. Mata mulai tak mau berpaling. Namun tangan masih terus bergerak hingga dasar toples. " Yaaahhh , habis ", saya pun menyesali mengapa hanya sebungkus orak-arik yang saya beli. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Usai mampir ke pasar Bobotsari beberapa hari lalu, satu bungkus orak-arik pun bertengger manis di tas belanjaan. Saya langsung teringat cerita Ny. Naenah, salah seorang puteri pemilik Bioskop Indra Bobotsari. Orak-arik menjadi menu khas yang dijajakan pedangan asongan di dalam bioskop pada era 70'an. • Mireng • Warna-warni kerupuk mie menjadi pemandangan menarik begitu belanjaan dibongkar. Aroma bumbu pedas manis mulai menggoda untuk sigap mencomot orak-arik ini. Tak terlalu kriuk memang. Tapi enaaaaakk. Nama orak-arik banyak disebutkan oleh mereka yang tinggal di wilayah utara Purbalingga. Terutama. Bobotsari dan sekitarnya. Sementara yang lain menyebutnya sebagai 'mireng pedes'. Mireng adalah

KOTA KUNA : saat di Jl. jendsud Timur

Jika saya menyodori foto ini (khusus untuk masyarakat perkotaan Purbalingga) apakah Panjenengan mengenalinya ? Taukah bahwa ini foto bangunan Gereja Kristen Jawa (GKJ) Purbalingga ? • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Saya masih sangat lemah teknik fotografi pada 2013 silam. Jadi maafkan, jika foto yang tergantung di dinding ruang rapat GKJ ini malah tak seindah aslinya. Gereja Kristen Jawa (GKJ) Purbalingga berada di deretan Jl. Jendral Soedirman timur. Jalur utama yang dikenal berada di kawasan Bancar. Banyak bangunan peninggalan kolonial masih berdiri disana. Hingga dulu pernah dicetuskan penyebutan " Kota Kuna Purbalingga " disana. Sekarang masihkah ada istilah ini ? Keberadaan rumah ibadat Kristen dan penyebaran ajaran ini dimulai sejak era pendudukan Belanda. Ini seperti yang disampaikan Pdt. Slamet Waluyo, saat kami berbincang 4 tahun silam. • Cikal Bakal • Sebenarnya cikal bakal pertama GKJ ya di Banyumas. Dalam sejarahnya, pada 1850-an, semb

KULA NUWUN,... ANDUM SLAMET SEDULUUURRR

Kula nuwun.. Wilujeng Enjing.. Andum slamet... Ketiga kosakata ini tengah kembali akrab ditelinga. Saya dibisiki bahwa inilah salam Penginyongan (boleh dibaca : panginyongan). • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Tak banyak yang bisa saya lakukan selain terbengong-bengong saat diminta membawakan sebuah acara kedinasan dalam bahasa penginyongan. Dimana persiapan yang diberikan tak lebih dari 24 jam. " Teyeng ora ? ", batin saya. Karena meski dalam lingkup pergaulan, bahasa ini menjadi keseharian, namun tidak demikian di dalam rumah. Bahasa penginyongan lazim dituturkan oleh masyarakat Banyumas Raya. Meliputi : Banyumas, Purwokerto, Purbalingga, Banjarnegara dan Cilacap. Wilayah yang dikenal berbahasa ngapak. Ah !! Saya kemudian teringat bagaimana beberapa kawan (bahkan Ibu' saya) begitu terluka dengan istilah ngapak. Istilah bahasa yang entah kenapa jadi gojekan pakdhe-budhe saya di Solo. Tapi sudahlah, dengan istilah "basa penginyongan" yang kini d

Indra Theater, dari tobong ke bioskop

Saya belum sanggup membayangkan seperti apa suasana gedung pemutaran film di Bobotsari, Purbalingga pada sekitar 5 dasawarsa lalu. Entah mengapa gambaran unik yang saya tangkap adalah lalu lalang penjual kacang bawang yang berkeliling menawarkan dagangannya sebagai peneman nonton film. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Indra Theater menjadi salah satu dari tiga gedung pemutaran film yang dimiliki Purbalingga. Jika Rayuan dan Braling Theater berada di pusat kota dan cukup megah pada masanya, maka Indra Theater berlokasi di Bobotsari. " Orang Limbasari sampai Lambur ya lebih milih nonton disini ", kenang Ny. Naenah dan suaminya ketika kami berbincang beberapa bulan silam. Ditemani seorang kawan, saya sempatkan menengok bangunan gedung yang masih tersisa. Ternyata tak jauh dari kompleks pasar atau kantor pos Bobotsari. Bangunan bercat putih tampak rusak disana-sini. Belum keseluruhan permanen. Bagian atas masih menggunakan gedheg (bilik bambu beranyam) dan papan se

Kok dikasih "jangan wayu" sih ?

Apa yang harus dilakukan saat menerima kiriman 'jangan wayu' ? Wayu bukankah berarti basi ? • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Mata masih belum sepenuhnya terbuka lebar. Namun bising menjelang sore memang menjadikan malas untuk kembali melanjutkan tidur siang. Tok..tok..tok... " Mbak .. mbak ...", terdengar suara mereka diluar. Suara pasangan penganten anyar ini membuat saya terkesiap. " Mesti kirim jangan wayu kiye ", pikir saya seraya melesat membuka pintu sambil pikiran berkecambuk menerawang isi dompet. Kirim jangan wayu menjadi salah satu tradisi yang dilaksanakan setelah akad atau resepsi berlalu beberapa hari. Bisa dibilang tradisi ini bertujuan untuk mengenalkan istri pada keluarga besar suami ataupun orang-orang yang dianggap penting oleh suami. Sebagian menyebutnya dengan istilah kirab penganten. • Pawitan • Kirab penganten ini bisa saja diiringi oleh pihak keluarga perempuan. Namun tak jarang hanya penganten berdua saj