Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Jawa

KASURAN

Otak saya pernah dengan mentah menerima kata “kasuran” sebagai kasur + an . Padahal yang dimaksud adalah ka + sura + an . Oleh : Anita Wiryo Rahardjo Kasuran merupakan nama jenis rumput yang secara khusus dipakai sebagai bahan utama Wayang Suket khas kecamatan Rembang, Purbalingga. Tepatnya di desa Wlahar. Wayang ini menjadi khas karena hanya seorang saja perajin awalnya. Yaitu Mbah Gepuk. Nama aslinya Kasanwikrama Tunut. Konon suwargi melewati masa kanak-kanak sebagai bocah angon yang tentunya akrab dengan alam dan padang rumput nan luas. Menghadapi usia senja, ia banyak menepi dan mulai menganyam helai demi helai rumput kasuran menjadi tokoh – tokoh legendaris dalam kisah pewayangan. Ia aktif membuat wayang suket sejak 1990-an. Meski telah menghadap sang Khalik pada 2002 silam, beberapa karya Almarhum Mbah Gepuk masih kerap dipamerkan. Seperti : Gatotkaca dan Rama Shinta. ⦁ tumbuh di Pulau Dewata ⦁ Kini keahlian menganyam rumput kasuran menitis pada cucunya...

SIGARAN

Lingkaran di kalender sudah menunjukkan masa periode. Sinyal kedatangan tamu yang belum muncul, membuat kami dengan nakalnya berangan-angan ' cengkir gadingnya mau digambarin siapa ya ?' •  ? oleh : Anita Wiryo Rahardjo Sembadra Arjuna adalah yang tergambar di cengkir gading itu, saat saya masih dalam kandungan bulan ke-7. Sapta Kawasa Jati. Akankah kami melukiskan karakter yang sama ? • Sigaran • Memasuki bulan ke-7, jabang bayi berada dalam posisi siap untuk lahir sewaktu-waktu. Karena itulah, calon orang tua dan anak yang masih dalam kandungan itupun dibekali beragam pengetahuan. Salah satunya melalui mitoni. Saat-saat sekarang, tidak mudah menemukan tradisi mitoni. Jikapun ada, sudah tidak lagi lengkap dengan sigaran. Apalagi memang tidak semua orang kedunungan melakoni sigaran dalam mitoni. Hanya untuk jabang bayi yang (benar-benar) anak pertama saja. Jika sudah berputera sebelumnya, maka dengan pasangan berikutnya pun tidak sebaiknya melaksanakan ...

GEBYEKAN : Pulangnya si Anak Hilang

Byek byek nooong  Byek byek juuuurrr  Sriiiiii balia, bapane olih berkat Mbok ora kebagian • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • " Sriiiii baliaaaa !!! ", teriak orang-orang begitu mengetahui Sri ( bukan nama sebenarnya ) hilang dari rumahnya semenjak keluar menjelang sandekala. Bebunyian peralatan rumah tangga menggema di sepanjang kampung. Byek byek byek. Tampah, ember, panci, wajan, baskom ditabuh dengan meneriakan nama si orang hilang. Bebunyian itu konon tak disukai makhluk halus. Lho ?! Apa hubungannya ? Ya karena orang hilang yang tidak wajar, dipercaya telah dibawa kabur makhluk halus. • Tradisi Nusantara • Ternyata tak hanya di Jawa, tradisi seperti inipun dikenal penduduk luar Jawa. Sebutlah salah satunya Bagandang Nyiru di Kalimantan. Atau penduduk Ataili juga mengenal Smabusabunga. Intinya sama. Yaitu : ritual memanggil kembali orang yang diduga hilang dengan berkeliling kampung membunyikan peralatan rumah tangga. (Foto dari tribunnews Bata...

Wanginya Masih Terasa

Perempuan sepuh itu menggebu saat berbincang akan batik. Ditemani sesayup tembang-tembang Jawa dan penganan tradisional, saya diajak berkenalan dengan Lungambring. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Yuswanya 75 tahun. Tak tersirat dari kulit mukanya yang masih kencang. Sesaat saya meraba pipi sendiri. "Agak sedikit turun, hufffff", batin saya. (Untung kamu nggak komplein soal ini). Ya, Mbah Kapti, begitu ia akrab disapa, acap merawat kulit ditengah aktivitas membatiknya sejak tahun 50'an silam. Ia tumbuh di keluarga priyayi. Ayahnya seorang guru. Eyangnya bahkan menjabat Penatus Penisihan (Bobotsari) pada era pendudukan Belanda. Sementara itu, sang Ibu mengisi hari-hari dengan membatik. Hal itulah yang membuatnya akrab dengan batik sejak kanak-kanak. Di saat saya menikmati sepiring makan siang, Mbah Kapti hilang dari pandangan. Ternyata ia dengan sigap menguliti batang-batang pohung untuk menjadi kayu bakar. "Buat persiapan mbathik", katanya. Ia me...

AIR KEHIDUPAN DI TUK BIMA LUKAR

Dipercaya sebagai mata air purba, Tuk Bima Lukar diyakini memiliki tuahnya tersendiri. Tirta perwita sari. Mata air kehidupan. Tak heran, jika pengunjung memanfaatkannya untuk mencuci muka ataupun bersuci begitu tiba ditempat ini. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Kota Para Dewa memang masih selalu menarik untuk dikunjungi. Meski hanya sekedar lewat, rasanya sayang jika melewatkan Tuk Bima Lukar begitu saja. Lagipula, mata air ini berada di tepi jalan utama memasuki Wonosobo. Dan tak dikenakan biaya masuk. Selintas keberadaan Tuk Bima Lukar memang tak terlihat dari jalan raya. Karena kita harus menuruni sedikit anak tangga diantara rerimbunan kebun carica dan sebuah bangunan serupa benteng di sisi jalan raya ini. Suasana dingin langsung menyergap begitu kita mendapati dua buah jaladwara (pancuran dengan bentuk lingga dan ujung tepat air muncrat berupa yoni). Beberapa kawan langsung saja mencuci muka. Setelah perjalanan panjang, percikan air memang mengembalikan kesegara...

Dari Mbah Suralingga hingga Wedang Menir

Alunan calung dengan senandung magis terdengar di sebuah pendapa berbentuk joglo. Seorang berpakaian serba hitam tengah menerawang Dakem, si gadis muda yang mengalami kejang. Ia diduga terkena "ipat-ipat wayah sandekala". Dan Mbah Suralingga sedang menyembuhkannya. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Suasana berubah kembali penuh gelak tawa ketika sang "dukun" harus berulang kali menelan air kembang yang semestinya disemburkan pada pasiennya itu. Pertunjukan tradisi lisan dari Duta Seni Purbalingga ini makin membuat pengunjung bergeming. Anjungan Jawa Tengah ramai siang itu. Minggu, 3 September 2017. Acara yang dimulai pukul 09.00 pagi ini memang sejak awal sukses menyedot penonton. Kolaborasi tradisi lisan, calung dan lenggeran antara sanggar seni Dersanala dan Wisanggeni mengundang banyak decak kagum. Penabuh calung adalah para pelajar tingkat SMP yang tergabung dalam sanggar seni Wisanggeni asuhan Wendo Susetyo. Mereka inilah yang menjuarai FLS2N t...

Kok dikasih "jangan wayu" sih ?

Apa yang harus dilakukan saat menerima kiriman 'jangan wayu' ? Wayu bukankah berarti basi ? • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Mata masih belum sepenuhnya terbuka lebar. Namun bising menjelang sore memang menjadikan malas untuk kembali melanjutkan tidur siang. Tok..tok..tok... " Mbak .. mbak ...", terdengar suara mereka diluar. Suara pasangan penganten anyar ini membuat saya terkesiap. " Mesti kirim jangan wayu kiye ", pikir saya seraya melesat membuka pintu sambil pikiran berkecambuk menerawang isi dompet. Kirim jangan wayu menjadi salah satu tradisi yang dilaksanakan setelah akad atau resepsi berlalu beberapa hari. Bisa dibilang tradisi ini bertujuan untuk mengenalkan istri pada keluarga besar suami ataupun orang-orang yang dianggap penting oleh suami. Sebagian menyebutnya dengan istilah kirab penganten. • Pawitan • Kirab penganten ini bisa saja diiringi oleh pihak keluarga perempuan. Namun tak jarang hanya penganten berdua saj...

ME"NUJU" PANEN

Nuju. Inilah bagian dalam pola pertanian tradisional yang dilakukan perempuan desa Brakas, kecamatan Karang Anyar selain memotong padi dengan ani-ani. • Oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Jaman memang telah lama berganti. Pluku saja sudah bersandar, tak mampu lagi menggeser sepenuhnya peranan traktor. Namun nasi terus bertahan melintasi generasi. Nasi yang kata para sepuh, sudah tidak lagi terasa manis saat baru dipanen. Manis ? Iya, manis dan pulen. Konon ini merupakan hasil kerja ani-ani yang lebih senang memilih padi yang tua benar. Padi yang matang dipohonnya itulah yang membuahkan rasa manis. Tapi, tidak lagi demikian, sekarang ini. Beras baru pun, sepa . Rasa dari olahan beras yang berganti, bisa jadi karena proses pengolahan padi juga berubah. Bagaimana tidak beda hasil, lha wong dulu petani nggarap sawah untuk dirinya sendiri. " Sekarang kan modelnya tani dagang ", kata seorang petani tradisional era 70'an, Mbah Jaedi. Prinsip mendapat hasil melimpah, m...

BATIK NAGA TAPA, SERAGAM PEJABAT ERA BUPATI KE-9

Batik gelap bergambar naga yang dikelilingi pohon hayat dan aneka fauna itu dipadu dengan beskap ataupun kebaya kutu baru hitam. Begitulah kira-kira seragam dinas para pejabat pada era Bupati ke-9 Purbalingga. ( Oleh : Anita W.R. ) Museum daerah Prof. Dr. R. SoegardaPoerbakawatja menjadi tujuan saya siang itu. Beberapa bulan silam, sebelum peresmian ruang pameran baru dibuka. Satu koleksi batik lawas menarik perhatian saya. Batik itu bernama Naga Tapa. Sebuah motif klasik yang termasuk dalam jenis semen yang dimaknai sebagai penggambaran kehidupan yang semi. Ini terlihat dari jenis ornamen pokoknya yang berhubungan erat dengan paham Tribawana atau Triloka yaitu : daratan, udara dan air. Dalam Batik Naga Tapa Purbalingga, unsur tanah diwakili oleh sulur tetumbuhan, pohon hayat, binatang berkaki empat seperti harimau, kijang, gajah serta bajing. Udara yang digambarkan melalui burung dan kumbang. Serta binatang utama naga yang mewakili ketiganya. Naga kerap digambarkan sebagai s...

MENCOBA TELUR REBUS DI KAWAH SIKIDANG

Legenda keberadaan anak-anak gimbal Dieng bermula disini. Dari kisah Puteri Shinta Dewi yang membuat Pangeran Kidang Gerungan terus hidup melalui kesaktiannya di Kawah Sikidang. (Oleh : Anita W.R.) Tidak jauh dari Kawasan Candi Arjuna, telah menanti untuk dikunjungi yaitu Kawah Sikidang. Manfaatkan saja tiket terusan dari Candi, agar tidak terlalu repot. 10K sudah bisa mengunjungi 3 lokasi. Candi, Sikidang dan Kailasa.(Foto diunduh dari sini ) Hujan masih setia mengawal pesiar siang itu. Meski ribet harus berpayung, namun ini pertanda suhu sedikit menurun di saat kulminasi. Hanya saja masker tetap tak boleh lepas. Bukan masalah takut matahari. Tapi karena aroma belerang sudah menusuk dari kejauhan. Tak usah khawatir jika lupa membawa. Pedagang masker sudah siap menanti. Kawah Sikidang merupakan salah satu kawah aktif yang merupakan kepundan bagi aktivitas vulkanik di bawah dataran tinggi bersama dengan Kawah Sibanteng, Sinila, Candradimuka, Siglagah, Sikendang, Sileri...