Hamparan
sawah yang menguning menandakan siap untuk dipanen. Ya, bagi masyarakat
Indonesia yang pernah mendapat predikat masyarakat agraris, bercocok tanam
tentulah bukan hal asing. Mulai dari aktivitas tandur sampai panen, umum
dilakukan masyarakat petani di seluruh pelosok negeri. Meski aktivitasnya sama,
bisa jadi adat dan tradisinya berbeda disetiap wilayah. Dan salah satu tradisi
yang berkaitan dengan panen adalah Mimiti.
MULAI
LANGKA
Tidak mudah
menemukan rangkaian prosesi mimiti lengkap di jaman yang sudah serba modern
ini. Namun beberapa desa di wilayah Kabupaten Purbalingga masih berupaya
melestarikannya. Memang tidak semua desa yang saya survey, hanya desa-desa yang
cukup dekat dengan keseharian saja yang menjadi sampel. Halah,...kemayu,..
hehe pake acara sok penelitian segala ya ?
Nah, mimiti
atau di beberapa wilayah Jawa bagian lain menyebutnya dengan methik
biasanya dilakukan sehari sebelum panen. Bisa diibaratkan mimiti adalah
semacam permintaan ijin petani sebelum memanen. Menurut Rumini (65) salah
seorang petani di desa Brakas Kecamatan Karang Anyar, pelaksaan mimiti antara
sawah yang satu dengan petak sawah lainnya seringkali berbeda. Hal ini
dikarenakan masih dipercayanya sistem petangan (penghitungan) hari baik pada
saat mulai tandur dan panen. "Biasane ngetung weton sing gadhah sawah.
Dipendhet dina karo utawa kapat (biasanya menghitung weton pemilik sawah.
Diambil hari kedua atau keempat setelah wetonnya)", kata Rumini. Inilah
yang menjadi alasan terdapat selisih saat petani tandur atau panen dengan
petani lainnya. Meskipun mereka sama -sama tandur di mangsa yang sama
(yaitu mangsa kelima atau kesepuluh yang melimpah air). Pun dengan usia padi
yang sama-sama 4 bulan siap dipanen.
Petangan
sendiri menurut Koentjaraningrat 1984, Kebudayaan Jawa hlm 421 adalah cara
mengitung saat-saat (waktu) serta tanggal-tanggal yang baik dengan
memperhatikan kelima hari pasar (maksudnya Pon, Wage, Kliwon, Legi, Pahing)
, tanggal-tanggal penting yang ditentukan pada sistem penanggalan yang ada yang
memang dimanfaatkan oleh Orang Jawa untuk berbagai tujuan.
PROSESI
Di desa
Brakas, acara mimiti dilaksanakan sore hari - bakda Ashar- sebelum
panen. Begitupun di Cilapar Kaligondang dan Brecek Purbalingga. Si pemilik
sawah akan mengundang warga sekitar untuk turut bersama-sama mendoakan agar
panen berjalan lancar dan melimpah. Prosesi inipun diikuti dengan kendurian
tumpeng mimiti. Dan harus dipimpin oleh sesepuh.
Dahulu
ritual juga dilakukan sebagai penghormatan terhadap tokoh Dewi Sri yaitu Dewi
Kesuburan, Dewi Penjaga Sawah atau Dewi
Padi. Di Pulau Jawa mitos asal mula tmbuh-tumbuhan yang sangat penting dalam
kehidupan sehari-hari adalah padi. Dan dikarenakan padi-padi ini dijaga oleh
kekuatan magis Dewi Sri, maka para petani pun sudah sepantasnya mengucapkan
terima kasih pada Sang Dewi dengan ritual mimiti ini.
Di kebanyakan
wilayah di Jawa (Jabar, jateng, Jatim, DIY) tradisi mimiti juga disertai dengan
membawa sesaji ke tengah sawah. Rombongan sesaji akan diikuti oleh petani yang
membawa ani-ani. Ada yang mengitari sawah sekali putaran searah jarum jam lalu
kembali lagi ke tengah ada juga yang langsung ke tengah sawah, dibagian yang dipilih sebagai titik fokus mimiti atau
ritus methik. Kemudian oleh petani (biasanya perempuan yang membawa ani-ani),
padi terbaik akan dipetik sebanyak satu ikat kecil sebesar ibu jari. Ikatan ini
biasanya dibawa pulang untuk diletakkan didekat sesajen yang dirumah dan
dilanjutkan dengan selamatan.
Dalam selamatan
akan dibuatkan tumpeng mimiti. Yaitu nasi tumpeng yang didalamnya diisi dengan
potongankecil tempe dan ikan asin dengan bumbu urap. “Tumpeng sekule diisi tempe dirawis alit kalih monthok”, katanya. Mengapa
dalam selamatan harus ada tumpeng ? Karena pada dasarnya tumpeng yang dibuat
meruncing satu titik diatas adalah melambangkan kekuasaan Tuhan Yang Maha
Tinggi.
Tradisi selamatan
mimiti-pun bisa jadi berbeda di setiap wilayah. Ada yang mengundnag orang sekitar
dan dimakan bersama-sama, ada yang hanya diikuti keluarga si petani dan
kemudian dibagikan dengan cara mengantarnya ke tetangga sekitar. Atau bahkan ada
juga yang melakukannya di sawah pada pagi hari.
MAHAL
Sayangnya
tradisi mimiti tidak lagi rutin dilakukan oleh semua petani. Banyak alasan
mengapa mimiti ditinggalkan. Slamet Susanto salah seorang keluarga petani di
Cilapar mengatakan jika hasil panen tidak lagi dapat menutup kebutuhan menjadi
alasan keluarganya tidak lagi rutin menggelar mimiti. “Apalagi nambah buat biaya selametan Mba, tambah nggak cukup”,
keluhnya.
Sementara
itu Rumini sendiri mengisahkan jika sudah tidak adanya sesepuh yang mendoakan
membuatnya enggan melakukan mimiti. Ditambah lagi saat sekarang semua musim
bisa untuk menanam padi tanpa perlu menggunakan hitungan titi mangsa. Sehingga
dirasa mimiti pun tak lagi dipentingkan.
Memang dengan
ditinggalkannya hitungan titi mangsa, petani akan bebas melakukan tanam ataupun
panen sepanjang tahun. Tanpa adanya masa bero setiap saat akan tersedia makanan
bergizi bagi perkembangan hama. Dan hal ini menjadi snagat wajar bila kemudian
wereng mewabah secara luas.
“Sengiyen tah pancen nek Kliwonan dhukun mimiti
mesti ndekeki sambetan kalih banyu leri teng croakan. Biasane bar tandur, Lha
mangke nek parine pun meteng rong wulan diparingi rujakan burus (Dahulu memang setiap Kliwon sesepuh mimiti akan menaruh sambetan dan
air persan beras di aliran air sawah. Biasanya setelah tanam.Dan setelah padi
berusia dua bulan akan diberi rujakan burus)”, kata Rumini.
Saya
sendiri sebenarnya ya tidak paham secara pasti, tapi saya yakin sebenarnya
sambetan atau rujakan itu berfungsi sebagai ramuan tradisioanl pengusir hama
ataupun penyubur tanah. Lebih ramah lingkungan. Iya nggak sih? Hmm, jawab iya aja lah, daripada saya tengsin.
*Cengiiiiirrrrr.
SESAJEN
Seperti
halnya setiap upacara tradisi, pastilah tidak jauh dari yang namanya sesajen.
Dalam tradisi serupa yang dinamakan Mboyong Mbok Sri di Kulon Progo, maka
diperlukan sesajen berupa Sambel geoleng (terdiri dari kedelai, cabai, dan
gereh yang dicampur menjadi satu rasa), Dhem-dheman (daun dhadap serep,
alang-alang, daun turi, daun koro, gandhas katul), Serabi atau apem, Gudhangan
(lauk campuran sayuran hasil bumi dan urap) dan tukon pasar. Tentu saja dengan
beragam makna kiasnya. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang saya temui ini ?
“Nggak ada itu sajen-sajenan”, kata
Slamet Susanto. Ooooooohhhh, begitu.
Iiiiiiiiyyyyyyyaa deh. :) . Okay, berhasil menyaksikan langsung tradisi mimiti jaman sekarang
mungkin adalah bonus. Karena sudah sangat sulit untuk kita menemukannya. Tapi
yang jelas, satu hal menarik yang dapat diambil dari tradisi lama ini adalah
dengan pemilihan masa tandur, pemupukan dengan kompos atau pupuk kandang,
sampai selamatan sebelum panen mengajarkan kita untuk dapat menikmati hasil
alam dengan rasa syukur tanpa perlu merusaknya.
Komentar
Posting Komentar