Daur
hidup manusia tak lepas dari rangkaian adat istiadat. Saat memasuki 40 hari,
dilaksanakanlah tradisi Wisuh atau Wisuhan.
• oleh : Anita WR •
Pagi itu seorang pria pensiunan Polantas sibuk mencari anak-anak
kecil. Minggu pagi memang tak mudah mencari para bocah di rumah. Mereka sedang
asyik jalan-jalan bersama keluarga tentunya. Beruntung ada tiga bocah kelas 1
SD yang baru bangun keluar rumah dan kemudian dimintalah mereka bersiap
memperebutkan uang. Ketiganya hanya mantuk-mantuk bingung. Mereka tak tahu
bahwa mereka tengah dilibatkan dalam tradisi Wisuh.
• Cukur rambut •
Didalam rumah, seorang bayi mungil sedang dicukur bergantian
oleh dukun bayi dan pihak keluarga. Dalam kebiasaan lain, saat seperti ini juga
sambil dibacakan shalawat. Namun tidak hari itu. Pemandangan ini berbeda dengan
yang pernah dilakoni saudara sepupu saya. Menjelang hari ke-40 (bisa dimulai
dari hari ke-35 atau selapan dina), dukun bayi yang biasa mengurus ia dan
puteri kecilnya secara khusus akan mengakhiri masa tugasnya. Itulah mengapa
kemudian wisuhan ini dilaksanakan.
Dalam tradisi wisuh, diawali dengan pencukuran rambut dan
pemotongan kuku bayi. Beberapa undangan yang hadir ikut menggunting rambut si
kecil sembari melantunkan doa. Mereka menyebutnya doa marhabanan. Sementara
dalam adat tradisi Jawa kental juga akan disenandungkan Mijil ataupun Kinanti.
Pencukuran plontos bayi untuk kali pertama ini sebenarnya juga
berfungsi untuk membersihkan sisa proses lahiran yang mungkin masih menempel.
Lebih dari satu bulan kepala bayi tak lagi terasa selunak saat baru lahir. Foto diunduh dari sini.
Usai dicukur, bayi akan dimandikan dengan air kembang setaman,
sambetan, kinangan dan receh satusan. Bahkan jaman wisuhan saya bayi dulu juga
dilengkapi sampah pasar. Apa maknanya ?
• Sampah Pasar Sawan Kere •
Terhitung sejak selapan dina ( 35 hari ), disebut menjadi waktu
yang tepat untuk memperbaiki fisik bayi. Dipercaya usai wisuhan, bayi akan
lebih cepat pertumbuhannya. Ada yang bisa membantu menjelaskan korelasinya ?
Nah, guna kepentingan wisuhan inilah bayi akan dimandikan dalam
air cucian beras atau banyu leri yang diberi kembang setaman. Kebiasaan
sekarang hanya menyertakan mawar merah dan putih saja, karena cukup sulit
mendapatkan jenis kembang lainnya. Tujuannya agar kemudian mewangi dalam
kehidupannya.
Kemudian sambetan. Terdiri dari kunyit, dlingo, jahe yang diiris
dan dimasukkan dalam banyu leri. Sambetan ini serupa ramuan herbal yang
menghangatkan tubuh. Dalam pikiran saya, karena bayi akan mandi dengan banyu
leri yang otomatis dingin, maka keberadaan sambetan bisa menjaganya dari masuk
angin. Namun entah apa alasan sebenarnya. Karena para sepuh acap menyebut,
"ben ora kena sawan".
Ada pula kinangan yang diwakili dengan sirih. Salah satu
desinfektan alam yang ampuh. Juga bermakna sebagai pelajaran baik dalam
kehidupan. Su + Wruh = Baik + Ilmu.
Tak ketinggalan receh satusan. Satus diambil dari kata Sat
(asat) dan Atus (resik). Asat lan resik seko dosa. Melalui berderma atau
sedekah. Pada sebagian orang, saat proses pencukuran maka rambut bayi akan
ditimbang. Kaitannya adalah dengan jumlah uang yang harus didermakan. Namun tak
sedikit pula yang menyediakan sesuai kemampuan.
Kalau sampah pasar, tidak setiap tradisi wisuh sekarang ini
menyertakannya. Bisa jadi repot mencarinya, bisa jadi pula si Ibu' tidak tega
puteranya mandi sampah. Sampah pasar biasanya diwakilkan dengan janur kulit
ketupat yang memang secara khusus diambil dengan cara nutur di pasar. Dipercaya
sebagai sawan kere. Biar kelak puteranya tumbuh lebih sehat. Bocah yang terkena sawan kere acap diidentikkan dengan pertumbuhan yang lambat. Eits, khusus ini sampahnya juga harus dicuci bersih lho. Ditambah pelengkap pecahan genteng atau kreweng yang telah dibakar. Paham kan mengapa harus dibakar ? Betul, teknik pemanasan merupakan pembunuh kuman alami.
• Meminta Maaf •
Usai bayi dimandikan, giliran Ibu' dan Mbah Dukun Bayi melakukan
wisuhan. Ibu' akan duduk diatas kelapa gading sambil tangannya dibersihkan
dengan air yang tadi digunakan untuk mandi sang Bayi. Saat Ibu' saya dulu,
malah masih dibersihkan dengan lading penungrat. Sekarang sih cukup dibasuh
dengan tangan saja.
Kemudian Ibu' pun secara bergantian akan mencuci asta Mbah Dukun
Bayi sembari menyampaikan maaf dan terimakasih karena telah merepotkan selama
40 hari. Dengan pernyataan saling meminta maaf ini maka wisuhan pun usai.
Prosesi diakhiri dengan dibuangnya air wisuhan di halaman rumah
yang sudah dinantikan tetangga, terutama para bocah. Sembari mengucap "ilang sebel puyenge", Ibu'
pun membuang air disertai dengan anak-anak yang bersiap merebut koin satusan.
Hmmm.. sekarang sih limaratusan. Susah mungkin ya cari seratusan.
Beberapa menit kemudian....
Keriuhan berebut koin pun usai. Tampak dukun bayi itu
meninggalkan rumah dengan sederet bawaan yang aduhai dari si empunya rumah. Dan
kini perempuan muda yang baru 40 hari melahirkan itu harus bersiap sepenuhnya
merawat sang putera, sendiri. Tanpa Mbah Dukun lagi.
• ditulis 25 Februari 2017•
Komentar
Posting Komentar