Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Tradisional

KASURAN

Otak saya pernah dengan mentah menerima kata “ kasuran ” sebagai  kasur  +  an . Padahal yang dimaksud adalah  ka  +  sura  +  an . Oleh : Anita Wiryo Rahardjo Kasuran merupakan nama jenis rumput yang secara khusus dipakai sebagai bahan utama Wayang Suket khas kecamatan Rembang, Purbalingga. Tepatnya di desa Wlahar. Wayang ini menjadi khas karena hanya seorang saja perajin awalnya. Yaitu Mbah Gepuk . Nama aslinya Kasanwikrama Tunut. Konon  suwargi  melewati masa kanak-kanak sebagai bocah angon yang tentunya akrab dengan alam dan padang rumput nan luas. Menghadapi usia senja, ia banyak menepi dan mulai menganyam helai demi helai rumput kasuran menjadi tokoh – tokoh legendaris dalam kisah pewayangan. Ia aktif membuat wayang suket sejak 1920-an. Meski telah menghadap sang Khalik pada 2002 silam, beberapa karya Almarhum Mbah Gepuk masih kerap dipamerkan. Seperti : Gatotkaca dan Rama Shinta.     Kasuran di Pulau Dewata Kini...

GEBYEKAN : Pulangnya si Anak Hilang

Byek byek nooong  Byek byek juuuurrr  Sriiiiii balia, bapane olih berkat Mbok ora kebagian • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • " Sriiiii baliaaaa !!! ", teriak orang-orang begitu mengetahui Sri ( bukan nama sebenarnya ) hilang dari rumahnya semenjak keluar menjelang sandekala. Bebunyian peralatan rumah tangga menggema di sepanjang kampung. Byek byek byek. Tampah, ember, panci, wajan, baskom ditabuh dengan meneriakan nama si orang hilang. Bebunyian itu konon tak disukai makhluk halus. Lho ?! Apa hubungannya ? Ya karena orang hilang yang tidak wajar, dipercaya telah dibawa kabur makhluk halus. • Tradisi Nusantara • (Foto dari Tribunnews Batam) Ternyata tak hanya di Jawa, tradisi seperti inipun dikenal penduduk luar Jawa. Sebutlah salah satunya Bagandang Nyiru di Kalimantan. Atau penduduk Ataili juga mengenal Smabusabunga. Intinya sama. Yaitu : ritual memanggil kembali orang yang diduga hilang dengan berkeliling kampung membunyikan peralatan rumah tangga.  Bedanya, jika dal...

AIR KEHIDUPAN DI TUK BIMA LUKAR

Dipercaya sebagai mata air purba, Tuk Bima Lukar diyakini memiliki tuahnya tersendiri. Tirta perwita sari. Mata air kehidupan. Tak heran, jika pengunjung memanfaatkannya untuk mencuci muka ataupun bersuci begitu tiba ditempat ini. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Kota Para Dewa memang masih selalu menarik untuk dikunjungi. Meski hanya sekedar lewat, rasanya sayang jika melewatkan Tuk Bima Lukar begitu saja. Lagipula, mata air ini berada di tepi jalan utama memasuki Wonosobo. Dan tak dikenakan biaya masuk. Selintas keberadaan Tuk Bima Lukar memang tak terlihat dari jalan raya. Karena kita harus menuruni sedikit anak tangga diantara rerimbunan kebun carica dan sebuah bangunan serupa benteng di sisi jalan raya ini. Suasana dingin langsung menyergap begitu kita mendapati dua buah jaladwara (pancuran dengan bentuk lingga dan ujung tepat air muncrat berupa yoni). Beberapa kawan langsung saja mencuci muka. Setelah perjalanan panjang, percikan air memang mengembalikan kesegaran yang hila...

FESTIVAL TRADISI SURA (2) : LARUNG GINTUNG

Prosesi tradisi Sura bukanlah ajang pesta pora layaknya pergantian tahun yang kita kenal selama ini. Sura bukan ditandai dengan kembang api, namun dengan rasa syukur yang dalam. Salah satunya adalah selamatan yang dilanjutkan dengan larung. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Ruwat bumi menjadi terasa lebih sakral saat memasuki tahun yang baru. Dan bagi warga yang hidup di sekitar sungai ataupun laut, bersih desa biasanya akan dilanjutkan dengan sedekah air atau larungan. • Festival Larung Gintung • Desa Pagerandong, Kecamatan Kaligondang untuk kali pertama menggelar Festival Larung Gintung. Sebenarnya bukan hal baru bagi warga di seputar Makam Wangi dan Kali Gintung untuk melakukan larung pada setiap tahun baru. Namun baru tahun ini tradisi larung dibuka untuk umum. Sebelum mencapai lokasi untuk larung, pengunjung dihadiahi jalanan berliku yang cukup membuat jantung berdebar lebih kencang. Jika memilih jalan lain, maka silakan bisa melalui desa Kaliori, kecamatan Karanganyar. Ya...

FESTIVAL TRADISI SURA (1) : FGS

Fase bulan baru kali ini telah mengantarkan kita memasuki Sura. Bulan pertama dalam kalender Jawa. Sistem pergantian waktu berbasis lunar. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Hadirnya Sura diwarnai cukup banyak agenda festival budaya. Termasuk di Purbalingga. Beberapa diantaranya : Festival Gunung Slamet (FGS), Festival Larung Gintung, Grebeg Onje, Festival Congot hingga ruwatan di sejumlah tempat seperti di  Museum Lokastithi Giri Bdhra Cipaku, desa Panusupan, desa Grecol dan desa Kejobong. • Festival Gunung Slamet • Event tahunan Festival Gunung Slamet (FGS) telah memasuki tahun ke-3. Prosesi pengambilan air dengan lodong di Tuk Sikopyah menjadi yang paling dinanti warga Serang dan sekitarnya. Bagaimana tidak ? Sumber mata air dingin dari Gunung Slamet ini dipercaya memiliki tuahnya tersendiri. Mangga untuk kisah tentang Tuk Sikopyah dapat dilihat di postingan FGS tahun-tahun sebelumnya. FGS #3 dilaksanakan pada 21 - 23 September 2017 di Serang Rest A...

TRADISI WISUHAN

Daur hidup manusia tak lepas dari rangkaian adat istiadat. Saat memasuki 40 hari, dilaksanakanlah tradisi Wisuh atau Wisuhan. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Pagi itu seorang pria pensiunan Polantas sibuk mencari anak-anak kecil. Minggu pagi memang tak mudah mencari para bocah di rumah. Mereka sedang asyik jalan-jalan bersama keluarga tentunya. Beruntung ada tiga bocah kelas 1 SD yang baru bangun keluar rumah dan kemudian dimintalah mereka bersiap memperebutkan uang. Ketiganya hanya mantuk-mantuk bingung. Mereka tak tahu bahwa mereka tengah dilibatkan dalam tradisi Wisuh. • Cukur rambut • Didalam rumah, seorang bayi mungil sedang dicukur bergantian oleh dukun bayi dan pihak keluarga. Dalam kebiasaan lain, saat seperti ini juga sambil dibacakan shalawat. Namun tidak hari itu. Pemandangan ini berbeda dengan yang pernah dilakoni saudara sepupu saya. Menjelang hari ke-40 (bisa dimulai dari hari ke-35 atau selapan dina), dukun bayi yang biasa mengurus ia dan puteri kecilnya secara khus...

PENSUCIAN PATUNG DEWA DEWI DI HOK TEK BIO PURBALINGGA

Sejak pukul 05.30 pagi tiga perempuan tampak sibuk membersihkan patung Dewa Dewi di Klenteng Hok Tek Bio Purbalingga. Hari ini adalah tanggal 24 Imlek. Saatnya ritual Kimsin (Kimsen). • Oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Hok Tek Bio Purbalingga pagi ini mulai bersolek. 121 lampion terpasang di setiap sudut Klenteng. Satu warna baru pada perayaan Imlek 2568 di kota Purbalingga. Menurut ketua pengurus Klenteng, Lim Nga Min bahwa lampion ini akan dinyalakan selama setahun. "Lampion-lampion ini pesanan para umat Klenteng. Isinya pengharapan baik di tahun baru", lanjutnya. • Kimsin • Para umat Klenteng yang hadir pagi itu bersegera membawa keluar Patung Dewa Dewi dan memandikannya dengan air kembang. "Cukup mawar merah putih saja kok. Kalau yang kuningan pakai brasso juga", terang sesepuh Klenteng Hok Tek Tjeng Sin ini. Beberapa orang lain juga tampak membersihkan tempat dupa, altar hio, meja altar hingga bangunan Klenteng. Semua bergerak cepat, agar tak kesiangan. ...

Batik bukan sekedar titik

Batik. Setiap titiknya adalah tanda tangan sang pembatik. Bahwa satu batik adalah produk satu-satunya dari ribuan motif yang sama. • Oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Dua bulan ini hampir saya tidak lepas dari bermacam hal terkait batik. Pas ndilalah mungkin. Mulai dari mencarikan batik pesanan keluarga, jadi model batik dadakan untuk tesis seorang kawan, hingga ditolaknya ijin off duty 4 hari untuk latihan mbatik. Hal-hal semacam ini menjadikan batik semakin memiliki nilai personal. Foto oleh Billy Kamajaya Ya, karena seperti apa yang saya tuliskan diawal satu titik saja bisa menjadi tanda tangan. "Kami sesama pembatik atau siapapun yang paham akan tahu mana batik misal Sekar Jagad buatan saya dan buatan mas Edi", kata Yoga Prabowo Tirtamas yang ditemani Edi Mukti Sekarsari di sela-sela pelatihan pengenalan warna sintetis dan teknik ciprat beberapa waktu lalu. Dalam membatik, "isen-isen" motif klasik adalah murni olahan dan luapan rasa dari sang pembatiknya. Sehingg...

ME"NUJU" PANEN

Nuju. Inilah bagian dalam pola pertanian tradisional yang dilakukan perempuan desa Brakas, kecamatan Karang Anyar selain memotong padi dengan ani-ani. • Oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Jaman memang telah lama berganti. Pluku saja sudah bersandar, tak mampu lagi menggeser sepenuhnya peranan traktor. Namun nasi terus bertahan melintasi generasi. Nasi yang kata para sepuh, sudah tidak lagi terasa manis saat baru dipanen. Manis ? Iya, manis dan pulen. Konon ini merupakan hasil kerja ani-ani yang lebih senang memilih padi yang tua benar. Padi yang matang dipohonnya itulah yang membuahkan rasa manis. Tapi, tidak lagi demikian, sekarang ini. Beras baru pun, sepa. Rasa dari olahan beras yang berganti, bisa jadi karena proses pengolahan padi juga berubah. Bagaimana tidak beda hasil, lha wong dulu petani nggarap sawah untuk dirinya sendiri. "Sekarang kan modelnya tani dagang", kata seorang petani tradisional era 70'an, Mbah Jaedi. Prinsip mendapat hasil melimpah, mengajarkan peta...

Bubur Sayah, Pelepas Lelah

Dalam keseharian, kita mengenalnya sebagai bubur sumsum. Namun hari itu, saya menyebutnya dengan bubur sayah. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Badan terasa ruemeeeeek setelah beberapa hari ikut nimbrung di rumah salah seorang kerabat yang menikahkan putranya. Mulai dari persiapan jelang akad, ngunduh mantu sampai kirim jangan wayu yang dilakoni ini cukup menguras energi. Bukan hanya si empunya hajat, namun juga semua yang terlibat membantu.   Selang satu hari setelah rangkaian acara selesai, tibalah waktu bersantai. Dan suasana ini tambah nikmat saat satu porsi bubur sumsum diantarkan ke hadapan saya. Uuuuhhh nyam-nyam. "Ini bubur sayah", kata si (mantan) empunya hajat. Iiihhh, namanya lucu bangeeeet. Bubur sayah ? Iya, bubur ini konon bisa mengobati sayah atau capek. Formulanya sama persis kok dengan bubur sumsum yang kita kenal. Terbuat dari tepung beras dan santan yang dimasak dan disajikan dengan juruh atau rebusan air gula merah. Slruuuppp… otomatis dari juruhnya kit...

Dapat Sawah Melalui Dengklek

Spontan, remaja-remaja itu menyebut masa kecil saya kurang bahagia.  Oleh : Anita Wiryo Rahardjo Bentuk lingkaran dengan 8 garis yang membaginya membuat saya pusing. Permainan macam apa ini ? "Kiye sunda manda payung, Mbak....", koor mereka. Tak berapa lama mereka bergerak dengan lincah petak demi petak dalam lingkaran itu. Tentu saja tidak boleh menginjak yang ada gaco-nya. Gaco diambil dari kata gacuk yang berarti pecahan genteng. Di wilayah mBanyumas kami menyebutnya kreweng. Namun kini, seiring perkembangan jaman, pecahan keramik pun mereka sebut gaco. Yang penting bisa untuk permainan. Gelak tawa mengiringi sekelompok remaja yang memang saya dapuk memainkan permainan tradisional. Sebagian besar menyebut, kerap memainkan sunda manda hingga kini. Uniknya, setiap anak memiliki nama dan bentuk sunda manda yang berbeda. "Nembe sedela deneng wis kencot ya?", ujar seorang dari mereka. Ya, selain lapar, saya dibuat pusing kemana harus melangkah. Karena sunda manda pa...

Digendong Mbah Buncis kemana-mana

"Tak Gendong Kemana-mana". Penggalan lirik lagu milik almarhum Mbah Surip ini entah mengapa terus saya dengungkan dalam hati saat melihat Mbah Buncis menggendong dan menari beberapa bulan lalu. Mungkin karena keduanya sama-sama mengartikan solidaritas. •Oleh : Anita Wiryo Rahardjo• Mbah Buncis merupakan salah satu tokoh sentral dalam seni Golek Gendong. Golek dalam bahasa Banyumasan berarti boneka. Boneka, seperti kita ketahui bersama, sering diikutsertakan dalam pertunjukan tradisi. Entah sekedar dolanan bocah hingga ritual. Tentu saja dengan bentuk beraneka rupa. Bedanya, dalam Golek Gendong bukan boneka yang digendong si penari. Melainkan penari (yang seolah) digendong boneka. Adalah takut yang teramat sangat, saat saya kecil melihat rombongan Golek Gendong ngamen ke rumah. Penampilan seram Mbah Buncis penyebabnya. Ditambah lagi orang-orang dewasa disekitar saya berujar "arep ana pageblug apa maning kiye", seraya menutup pintu. Entah benar atau tidak. Mungkin ...

Pekinangan

Kata “pekinangan” umum ditujukan pada wadah bahan-bahan nginang. Ada yang menyebutnya kutuk sirih hingga tepak atau tlepok . Dalam bahasa Inggris disebut dengan betel nut set . Oleh : Anita Wiryo Rahardjo Saya kembali berbincang dengan Triningsih, pemandu sekaligus kurator di Museum Prof. Dr. R. Soegarda Poerbakawatja. Mbak Tri, begitu ia biasa dipanggil mengajak saya berkeliling sembari menatap sederet benda-benda mungil berbentuk manggis dengan warna keemasan. “Nyemplu kayak pipi bayi”, gurau kami satu sama lain. Pada dasarnya nginang ini seperti halnya merokok. Membuat kecanduan. Tak heran, seseorang yang menginang akan membawa bahan-bahan nginang kemanapun ia pergi. Meski tanpa rujukan ilmiah, sepertinya pekinangan muncul hampir bersamaan dengan kebiasaan menginang itu sendiri. Jangan bayangkan semua pekinangan seperti benda koleksi museum yang terlihat antik ya. Karena mbah-mbah kita pun ada yang cukup membungkus bahan kinang dengan sehelai kain serbet. Jangan-jangan dahulu ma...

Kenangan Akan Kinang

Saya memiliki dua nenek dimana satunya suka tingwe (ngelinting dhewe) dan lainnya nginang . Sama-sama menguarkan aroma tembakau. Namun, Mbah Putri yang merokok jelas akan menghembuskan asap yang menyesakkan. Sementara Mbah Buyut Putri yang nginang kerap meludah berwarna merah yang agak horror dilihat. Menariknya, sama-sama sebagai kebiasaan yang membuat candu, gigi Mbah Buyut Putri jauh lebih kokoh dan utuh. Hemm , apakah itu salah satu khasiat nginang ? Oleh : Anita Wiryo Rahardjo Sejarah Nginang Nginang (menginang) merupakan kebiasaan kuno yang terdapat di Nusantara. Dari mana asalnya belum diketahui secara pasti. Ada yang menyebut dari India mendasar pada perkiraan asal sirih. Namun yang pasti saat mengintip buku "Album Pekinangan Tradisional" , disebutkan bahwa pada abad 4 M aktivitas mengunyah sirih ini sudah dimasukkan dalam sandiwara. Sementara itu dari sumber lain dikatakan jika pada relief candi Borobudur dan candi Sojiwen, masing-masing diperkirakan dibangun pa...