Batik. Setiap
titiknya adalah tanda tangan sang pembatik. Bahwa satu batik adalah produk
satu-satunya dari ribuan motif yang sama.
• Oleh :
Anita W.R •
Dua bulan ini
hampir saya tidak lepas dari bermacam hal terkait batik. Pas ndilalah mungkin.
Mulai dari mencarikan batik pesanan keluarga, jadi model batik dadakan untuk
tesis seorang kawan, hingga ditolaknya ijin off duty 4 hari untuk latihan
mbatik. Hal-hal semacam ini menjadikan batik semakin memiliki nilai personal.
Ya, karena
seperti apa yang saya tuliskan diawal satu titik saja bisa menjadi tanda
tangan. "Kami sesama pembatik atau siapapun yang paham akan tahu mana
batik misal Sekar Jagad buatan saya dan buatan mas Edi", kata Yoga Prabowo
Tirtamas yang ditemani Edi Mukti Sekarsari di sela-sela pelatihan pengenalan
warna sintetis dan teknik ciprat beberapa waktu lalu.
Dalam
membatik, "isen-isen" motif klasik adalah murni olahan dan luapan
rasa dari sang pembatiknya. Sehingga menjadikannya tenger. Tanda. Pembeda.
"Apalagi untuk motif kontemporer
yang mengijinkan si pembatik lebih luas berkreasi", kata Mas Yoga
seraya menyerahkan mori, kuas, canting dan malam. Ah, inilah yang menyakitkan
untuk saya. Ijin yang telah diajukan seminggu sebelumya tetiba dianggap tidak
prosedural. Lalu bagaimana saya bisa ikut praktek membatik ? Padahal pelatihan
hasil kerjasama dengan LPPM Unsoed ini khusus untuk pemula. "Yakin nggak mau coba?", tanya
mereka. Padahal ibu-ibu peserta tak bosan menyemangati saya. Bahkan mereka
melibatkan saya untuk membantu proses step by stepnya. Tapi saya bisa apa.
Masak sih besoknya saya nggak keliatan lagi di tempat pelatihan. Wong
pelatihannya empat hari.
Melihat
peserta pelatihan berkreasi membuat motif dengan kuas dan lalu mencantingnya
untuk mempertegas ragam membuat saya iri. Saya tuh kepikir bikin motif serupa
kembang kanthil. Ben kumanthil. Eh ??? Meh kumanthil gemana ya wong hawanya
dongkol. Huuuuuaaaa, semakin nangis batin lah saya.
• Menyatu •
Mbatik itu
penciptaan sebuah karya batik. Saya turut mengartikanya demikian. Karena bahkan
dari motif yang sama pun, suasana hati membangun kita untuk seperti apa
mengukelkan garis atau memberi titik pada suatu bagian. Tebal dan tipisnya
goresan menjadi satu kenikmatan yang tak dapat dipisah dari keheningan.
Menyatukan segala rasa dan pikir pada sebidang kain. Nikmmaaaaattt.
Air muka para
peserta semakin tenang. Suasana memang menjadi hening saat mencanting. "Beda banget kan dibanding tadi waktu baru
dapat kain?", bisik Yoga. Benar juga. Tadi rempong. Namun kemudian
berubah hanya ada suara canting yang mencium wajan berisi malam. Lembut. Aroma
malam makin mengantarkan saya ngelangut.
Dan membuat saya teringat kisah Ratu Kencana dan Paku Buwono III yang
melahirkan batik truntum. Tumaruntum. Rasa yang hadir kembali karena kesabaran
dan kepasrahan pada Sang Maha Cinta.
#Truntum
#Tanjung #Bintang #OurPray #Me&You #Love #Together
• Malam •

Selain
canting, bisa juga kok kita menggambarnya dengan kuas. Sesuai kebutuhan dan
sesuai jenis batiknya. Klasik atau kontemporer. Iya kan ?
"Ooh jadi beda ya sama batik yang di toko
kain itu. Kan nggak pakai nyanting. Meteran pula", celetuk seorang
peserta. Saya tersenyum geli. Seraya membenarkan ucapan mas Yoga dan mas Edi
tempo hari. Bahwa kita cenderung menyebut semua yang bermotif -taruhlah- Kawung
misalnya sebagai batik. Padahal bisa saja ia hanyalah tekstil bermotif batik
Kawung. Beda. Dan tanpa malam, ia bukan batik.
• Pewarnaan •
Tahapan ini
menandakan batik hampir selesai. Pewarna bisa sintetis atau kalau ingin yang
sensasinya lebih dalem ya yang alam. Secara warna sih kalau yang alam nggak
terlalu banyak pilihan, nggak ngejreng, tapi aura dan wanginya beda. Berasa
pengen ngomong kayak oxytocin aja. #Eh? Ngomong
opo to ?
Suasana saat pelatihan
Soal
pewarnaan, Purbalingga memang cukup telat mengenalnya. Dalam sejarahnya hanya
pembatik Limbasari yang sudah mewarna sendiri sejak awal. Sementara yang lain,
didominasi buruh canting yang pewarnaannya dilakukan di Sokaraja. Hingga
kemudian pembatik Purbalingga pun cenderung tidak semuanya menguasai teknik
pewarnaan ini.
Label ini
berisi angka. Fungsinya sebagai nomor urut saat pewarnaan. Supaya tidak
tertukar saking banyaknya kain yang mesti diwarna. Mirip label pada laundryan
kita sekarang ini. Nah, semakin bermacam warna yang diinginkan semakin
bolak-balik mewarnanya. Jangan lupa pakem lingkaran warna ya, agar tak salah
mencampur.
Ah, saya kok
jadi semakin pengen mbatik saja. Bukan semata karena pengalaman diatas tadi.
Karena sepertinya mbatik bisa mengajarkan saya untuk tidak terlalu grusa-grusu.
Karena tidak mudah untuk kita mencelat ke langkah berikutnya tanpa wisuda di
langkah awal. Konvensional sih. Tapi sesekali tekniknya diperlukan untuk
menghadapi dunia luar (yang kadang kejam) dengan anggun. Seanggun kharisma
batik tulis.
_/\_
mbaca blog'y mba anita, makin pengin beli batik purbalingga. Tp tiap mudik Pbg, belum pernah kesampean
BalasHapusAyo mba tiwi tiwii, mudik besok harus kesampean beli batik Purbalingga-nya... :)
BalasHapus