Selalu saja ada yang menarik ketika berkunjung ke Limbasari. Desa ini terletak sekira 15 km dari pusat kota Purbalingga. Terletak di Kecamatan Bobotsari, Limbasari menyimpan banyak kekayaan. Mulai dari potensi temuan peninggalan neolitikum, wisata alam Patrawisa sampai legenda Putri Ayu Limbasari.
Nah, untuk melepas lelah sepertinya berwisata akhir pekan ke Patrawisa bisa menjadi pilihan. Terletak di lembah Gunung Tukung dan Gunung Pelana, menjadikan pesona kecantikan alam Patrawisa mampu memikat seseorang untuk datang lagi dan lagi.
Untuk menuju bendungan Patrawisa hanya dibutuhkan waktu sekira 30 menit berjalan kaki sejauh 1,7 km. Ya, Patrawisa adalah bendungan atau dam yang membendung pertempuran Sungai Tuntung Gunung dan Sungai Wlingi. Tidak hanya itu, air terjun mini serta sendang-sendang jernih semakin menyegarkan sesampainya di lokasi. Lalu siapakah Patrawisa sehingga namanya diabadikan untuk tempat indah ini?
Patrawisa adalah nama salah seorang cantrik Syech Gandiwasi. Dan Syech Gandiwasi inilah yang menjadi leluhur dari sosok Putri Ayu Limbasari yang sangat lekat dengan kehidupan masyarakat di lembah Gunung Pelana ini.
GANDIWASI PENYEBAR ISLAM
Syech Gandiwasi adalah seorang penyebar Islam asal Turki. Ia datang kepada Panembahan Senopati di Mataram guna memohon ijin untuk dapat menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Berbeda dari utusan Raja yang memilih membangun pusat pemerintahan, Syech Gandiwasi justru membangun sebuah padepokan dengan nama Nimba Sari.
Menurut folklore Syech Gandiwasi lebih dulu tiba di Kedung Belis sebelum mencapai Limbasari. Ia bersemedi akibat banyaknya gangguan tak kasat mata. Tempat bertapanya ini kemudian dinamakan Dukuh Pamujan. Usahanya memohon kepada Tuhan tak sia-sia, para jin pun berhasil menyingkir setelah sebelumnya sempat berkejaran (dalam bahasa Jawa disebut dengan udag-udagan). Dan kejadian ini menghasilkan nama wilayah Desa Dagan. Peristiwa semisih atau menyingkirnya para jin ini membuat wilayah tersebut dikenal dengan nama Penisihan. Dan untuk mengetahui kemana arah yang hendak dituju, Syech Gandiwasi menumpangkan dua batu sebesar rumah untuk melihat kondisi dari atas. Tempat ini berada di tanjakan tinggi sebelum menuju Patrawisa dan dinamakan dengan Watu Tumpang. Dan dari sinilah, perjalanan dilanjutkan ke arah hutan yang kini dikenal dengan nama Limbasari.
Menurut Sekdes Limbasari, R. Edi Prasojo, Syech Gandiwasi kemudian berputra Ketut Wlingi. Sementara dari data lain yang saya peroleh menyebutkan jika Ketut Wlingi adalah murid Gandiwasi yang datang dari Bali bersama Patrawisa. Ketut Wlingi kemudian dinikahkan dengan Siti Rumbiah, putri sang guru. Sementara Patrawisa kabarnya meninggal dunia saat sedang membangun saluran air. Itulah mengapa kemudian, bendungan di Limbasari ini dinamakan dengan Patrawisa.
Bendungan Patrawisa
Meski terdapat perbedaan, yang pasti dari pernikahan Ketut Wlingi dan Siti Rumbiah menurunkan Wlingi Kusuma dan Sri Wasiati. Sri Wasiati inilah yang kemudian dikenal dengan julukan Putri Ayu Limbasari.
PUTRI NAN CANTIK
Sri Wasiati dikenal akan kecantikannya yang mempesona. Para adipati di sekitarnya pun berkeinginan meminang. Diantara mereka yang datang melamar antara lain adalah Adipati Wirayuda, Adipati Wiratenaya, Adipati Wirataruna dan Adipati Wirapraja.
Lamaran yang datang bersamaan itu membingungkan Sri Wasiati. Dan melihat kegundahan hati sang adik, Wlingi Kusuma berupaya mencarikan solusi. Yaitu : siapapun yang berhasil mengalahkannya adalah dia yang berhak menjadi pendamping Sri Wasiati.
Namun ternyata keempat-empatnya tidak dapat mengalahkan kesaktian Wlingi Kusuma dalam pertandingan satu lawan satu. Sehingga muncul ide untuk mengeroyok Wlingi Kusuma. Dan benar saja, aksi pengeroyokan yang dilanjutkan dengan memotong bagian tubuh menjadi beberapa bagian ini membuat Wlingi Kusuma kalah.
Bagian kepala Wlingi Kusuma dikuburkan di Siregol Tlahab, bagian badan atau gembungnya dikuburkan di Palumbungan Dagan, bagian kemaluannya dikuburkan di Sikonthol dusun Beji Karang Anyar sedangkan bagian kakinya dikuburkan di wialyah hutan perbatasan Banjarsari Karang Jambu dan dikenal dengan nama Lemah Jejekan.
Kematian Wlingi Kusuma yang tidak semestinya menjadikan Sri Wasiati semakin bingung. Sehingga untuk memohon petunjuk Tuhan, Sri Wasiati pun memutuskan melakukan tapa pendem di dekat padepokannya. Dalam laku ini, dia akan menguburkan dirinya dalam tanah yang diberi seutas benang panjang. Jika saat ditarik benang masih dapat ditarik artinya Sri Wasiati masih hidup, begitupun sebaliknya.
Kedung 3, dipercaya sebagai tempat mandi sang Putri yang kini “ditunggu” Nyai Gadung Sari dan Raden Mas Jangkar. Tempat ini ramai dikunjungi pada malam Kliwon sekira dini hari. Mitosnya siapa yang berhasil mandi atau cuci muka di tempat ini akan awet muda atau cepat terkabul hajatnya.
Kedung 2
Kurang lebih selama satu minggu, Sri Wasiati melakukan tapa pendhem, benang tak lagi dapat ditarik. Karena itulah tempat tapa tersebut segera digali. Betapa kagetnya keluarga sang putri dan keempat adipati tadi setelah menemukan putri cantik ini tidak lagi bernyawa. Namun apa yang dapat diperbuat, meski para adipati menyesal nyawa sang putri tetap tidak dapat diselamatkan lagi.
Sri Wasiati mengambil langkah ini bukan tanpa alasan. Karena jika salah satu dari keempat adipati ini menjadi pilihannya maka kondisi desa tempat tinggalnya akan menjadi tidak aman. Inilah bentuk pengorbanannya pada masyarakat. Setelah kejadian ini, keluarga Putri Ayu Limbasari meninggalkan padepokan dan menuju ke Srandhil hingga akhir hayat mereka.
Dari kejadian ini, dapat dipetik jika perebutan tahta, harta atapun wanita pastilah akan selalu memakan korban. Hingga saat ini makam Putri Ayu Limbasari masih terjaga dengan baik. Makamnya terletak di seberang Galeri Batik Muning Sari dan masih cukup sering dikunjungi. Dipercaya lokasi makamnya berada di tanah tempat dahulu padepokan Nimba Sari berada. Namun sisa-sisa padepokan Nimba Sari sudah tidak ada satupun yang dapat kami temui.
Bagus artikelnya, sangat bermanfaat buat menambah pengetahuan kita, terutama warga asli limbasari seperti saya ini.
BalasHapusI LIKE IT...!!!
Nggeh, matur nuwun... semoga berkenan...
Hapussangat bermanfaat karena saya sedang study di bidang sejarah . dan saya wong limbasari juga . . .
BalasHapusMatur nuwun,... mohon maaf kalau masih kurang lengkap. Monggo jika berkenan melengkapi..
HapusMatur nembah nuwun penulis yang budiman saya ahkhirnya jadi tau sejarah desa saya tercinta.
BalasHapusEhmmm...
BalasHapusBeruntung kepada mereka yg tetuanya menghidupkan dan mewarisi cerita ini, kadi kita tahu sampe sekarang walaupun mungkin belum sempurna..
BalasHapusSaya sempet mau cari tau apa mungkin ada cerita seperti ini di desa pakuncen, bobotsari, sayangnya saya telat.. tetua terakhir yg diwarisi mitos, legenda atau apapun namanya sudah meninggal lebih dulu 4 bulan sebelum saya kepikiran mau menulis cerita tentang desa pakuncen
Kejadian serupa acap terjadi mas / mba anonim. Namun salut ketika panjenengan sudah punya niatan mencari data kampung sendiri. :)
HapusSaya sudah pernah mendengar ceritanya tapi Tidak sedetil ini, trimakasih, saya wong limbasari juga
BalasHapusTrimakasih postingannya, saya orang Limbasari Asli, pernah dengar ceritanya tapi sudah agak lupa, ini mengingatkan kembali..
BalasHapusMatur suwun ceritane karo foto2ne dadi kangen desaku...:)
BalasHapusMatur sembah nuwun bagi mas / mbak semua yang sudah merespon tulisan ini.
BalasHapusMatur nuwun sanget kulo tonggo limbasari dusun watutupang,
BalasHapusIkut nyimak dan ternyata sangat menarik buat pengetahuan kita yang sebelumnya kita juga tidak tau tentang sejarah desa limbasari.
Salam santun limbasari(wong watutumpang)
Nggeh mas/mba Planasari matur suwun infonya. Kami hanya menuliskan versi narasumber yang kami temui di lapangan saat itu.. hehe
BalasHapusIjin copy pak,saya post ulang di laman fb:Limbasari Village,saya sertakan sumber,jadi saya bukan nyuri artikel nggeh pak.makasih.
BalasHapus