ME"NUJU" PANEN

Nuju. Inilah bagian dalam pola pertanian tradisional yang dilakukan perempuan desa Brakas, kecamatan Karang Anyar selain memotong padi dengan ani-ani.

• Oleh : Anita Wiryo Rahardjo •

Jaman memang telah lama berganti. Pluku saja sudah bersandar, tak mampu lagi menggeser sepenuhnya peranan traktor. Namun nasi terus bertahan melintasi generasi. Nasi yang kata para sepuh, sudah tidak lagi terasa manis saat baru dipanen. Manis ? Iya, manis dan pulen. Konon ini merupakan hasil kerja ani-ani yang lebih senang memilih padi yang tua benar. Padi yang matang dipohonnya itulah yang membuahkan rasa manis. Tapi, tidak lagi demikian, sekarang ini. Beras baru pun, sepa.

Rasa dari olahan beras yang berganti, bisa jadi karena proses pengolahan padi juga berubah. Bagaimana tidak beda hasil, lha wong dulu petani nggarap sawah untuk dirinya sendiri. "Sekarang kan modelnya tani dagang", kata seorang petani tradisional era 70'an, Mbah Jaedi. Prinsip mendapat hasil melimpah, mengajarkan petani kalap meninggalkan cara-cara tradisi yang sarat akan makna. Dan ramah lingkungan. Sebut saja salah satunya NUJU.

• Mbuang Sambetan •

Nuju. Ini hanyalah salah satu dari ritual personal dalam pola tradisi pertanian. Ya, ritual memang dibedakan menjadi dua macam. Komunal dan Personal. Ritual komunal artinya dilakukan bersama-sama warga dalam waktu bersamaan di tempat umum entah itu balai desa, lapangan desa atau tempat pemakaman umum. Nah contoh ritual komunal adalah Sedekah Bumi yang akan dilaksanakan sebelum aktivitas bertani dimulai.

Setelahnya, barulah para petani bisa menggelar ritual personalnya. Pernah mendengar Mimiti atau wiwitan kan ? Nah, ini salah satunya. Ada pula tradisi mitoni pari atau rujakan dan nuju. Bagi warga Brakas, Nuju hanya boleh dilakoni oleh para Perempuan. Jika bukan Selasa Kliwon ya Jumat Kliwon. "Bareng bedhug (dilakukan tepat tengah hari)", kata Romiyah, salah seorang dari mereka. Foto ilustrasi sebelah diunduh dari sini

Nuju adalah aktivitas mbuang banyu leri dan mbuang sambetan di crowokan. Ini dilakukan sejak padi memasuki usia 2 bulan. Dalam urutan pola pertanian, nuju ini termasuk dalam aktivitas memupuk. Karena kegunaan bahan-bahan ini adalah untuk menghalau bermacam hama dan menyuburkan tanah.

Seperti kita tahu, banyu leri atau air bekas cucian beras dikenal mengandung banyak mineral. Awagan saja, tumbuhan yang disirami banyu leri akan subur dengan buah berasa manis. Ini juga berlaku pada padi.  masing. Namun yang paling utama adalah sambetan dan banyu leri.

ilustrasi : Foto diunduh dari sini

Sudah bukan rahasia, bahwa kandungan nutrisi tertinggi dari beras terdapat pada bagian kulit ari. Sayang proses penggilingan dan penyosohan mengikis sebagian besar nutrisinya. Belum lagi saat dicuci. Kandungan vitamin B1, B3, B6, Mangaan, Fosfor, Zat Besi hingga Serat akan terbawa air. Ini terlihat pada keruhnya air cucian yang pertama.

Air atau banyu leri inilah yang kemudian berkolaborasi dengan sambetan. Ada yang langsung bercampur menjadi cairan berwarna kekuningan dan disiramkan ke sawah. Ada pula yang menyimpan sambetan dalam kain putih dan diletakkan di dekat crowokan sembari menunggu air cucian beras disiramkan. "Nek aku malah gemiyen sambetane diwadahna klontongan kupat (Kalau saya, dulu sambetan akan diwadahi selongsong ketupat)", kenang Mbah Jaedi.

Baik Mbah Jaedi maupun Romiyah, terkadang tidak jarang mereka menambahkan bahan lain pada tahapan ini. Mbah Jaedi misalnya, ia menambahkan batang salak lengkap dengan durinya serta batang tanaman burus. Begitupun Romiyah. "Cuma kalau saya kadang-kadang nambahin jangan lumbu (sayur keladi)", ujarnya. Wiiiiiiwww.... sayur keladi ?????

• Fungsi •

Rasanya sungguh sok keminter kalau saya menyebut data ilmiah fungsi bahan-bahan tersebut diatas. Toh, semua pasti paham saya bukan ahlinya menerangkan di ranah tersebut. Namun secara nalar saja kita bisa menyimpulkan bahwa keberadaan duri-duri salak di dekat jalur pengairan pastilah agar bisa menjadi penyaring agar binatang tidak masuk. Bagaimana dengan sayur keladi ? Lha kok ndadak dimasak dulu ya ?

Keladi ini berperan sebagai kompos. Sementara cabai dan bawang bisa jadi insektisida alami binatang pengunyah semisal ulat dan belalang. "Kalau air sawahnya pedes kan, tikus pada nyingkir", tambah Romiyah. Atau pada nuju kesempatan lain sayur keladi bisa juga diganti daun pace atau mengkudu. Ternyata daun pahit ini efektif menyingkirkan orong-orong sawah.

Sementara itu sambetan berfungsi agar padi nggak kesambet. Secara umum, sambetan terdiri dari : dlingo (Acorus Calamus L. Botani), bengle ( Zingiber Cassummunar) dan kunir (Curcuma Longa Line). Namun tak jarang, ada pula tambahan adas pulosari, jahe, bawang, kemukus hingga lempuyang. Bahan-bahan ini ditumbuk atau dilumatkan. Pada manusia, pengunaannya dengan cara dibalurkan pada kening atau perut. Sementara dalam pertanian, terutama saat nyambeti sawah atau nuju, sambetan akan diletakkan pada crowokan atau sudut-sudut sawah. Bahan bumbu ini dipercaya sebagai obat hama nabati dan penyubur tanah.

• Perempuan •

Berbeda dari nyambeti sawah yang dilakukan Mbah Jaedi dan petani tradisional di wilayah kota Purbalingga, maka Nuju di desa Brakas hanya boleh dilakukan oleh perempuan. "Ya wong Bapane lagi neng mesjid si. Jemuwahan", kata Romiyah saat ditanya alasannya. Bagaimana dengan Nuju pada Selasa Kliwon ? " Bapane Slasahan", candanya. Termasuk pemilihan waktu tengah hari pun tidak mereka ketahui secara pasti. Sementara pada beberapa petunjuk pertanian tradisional, pemberian pupuk paling baik dilaksanakan pagi sampai sebelum siang. Memang kalau menghitung istilah bareng bedhug Jemuwah di desa, bisa saja mengartikan pukul 10.30 ya. Belum tengah hari sepertinya. Hmmmmm,...... ada yang bisa membantu saya ? 

Nah, apapun alasan sebenarnya, yang pasti inilah proses yang dilakoni perempuan Brakas saat bertani. Sama seperti mluku yang hanya dilakukan lelaki, maka nuju hanyalah milik kaum perempuan disana. Ternyata tanpa gembar-gembor gender pun dunia pertanian tradisional sudah menjalaninya. Kerjasama yang manis.

• Ramah Lingkungan •

Setiap proses tradisional umumnya bersifat ramah lingkungan. Jika jaman sudah menghalalkan pupuk kimia, maka tradisi hanya mengijinkan bahan-bahan alami. "Gemiyen si kaya kuwe. Tapi ya kuwe, kasile semending. Mulane terus dadi pada nganggo traktor, nganggo urea", kaya Mbah Jaedi.

Tradisi sejatinya banyak mengajarkan kita untuk mencintai alam. Sambetan, jangan lumbu, banyu leri, sampai godong pace ini tidak mematikan lawan. Tugasnya hanya menyingkirkan. Toh belalang misal, ia masih bisa kemudian mencrok di daun tanaman lain. Prinsipnya hanya "jangan ganggu padi dulu". Kemudian dilihat dari bahan-bahannya yang sangat mudah ditemukan juga mengajari untuk menghargai segala yang ada di sekitar rumah. Serta kreatif juga hemat

Ah, kita mungkin tak lagi mengingat bagaimana pertanian pernah "menjadi bagian" dari segi kehidupan masyarakat kita. Menjadi bagian disini berarti bukan memikirkan perut dan komersial belaka. Namun juga melestarikannya agar bisa dinikmati generasi penerus. Selamat me-Nuju panen.


Salam.

Komentar