Langsung ke konten utama

FESTIVAL TRADISI SURA (1) : FGS

Fase bulan baru kali ini telah mengantarkan kita memasuki Sura. Bulan pertama dalam kalender Jawa. Sistem pergantian waktu berbasis lunar.

• oleh : Anita Wiryo Rahardjo •

Hadirnya Sura diwarnai cukup banyak agenda festival budaya. Termasuk di Purbalingga. Beberapa diantaranya : Festival Gunung Slamet (FGS), Festival Larung Gintung, Grebeg Onje, Festival Congot hingga ruwatan di sejumlah tempat seperti di  Museum Lokastithi Giri Bdhra Cipaku, desa Panusupan, desa Grecol dan desa Kejobong.

Festival Gunung Slamet

Event tahunan Festival Gunung Slamet (FGS) telah memasuki tahun ke-3. Prosesi pengambilan air dengan lodong di Tuk Sikopyah menjadi yang paling dinanti warga Serang dan sekitarnya. Bagaimana tidak ? Sumber mata air dingin dari Gunung Slamet ini dipercaya memiliki tuahnya tersendiri. Mangga untuk kisah tentang Tuk Sikopyah dapat dilihat di postingan FGS tahun-tahun sebelumnya.




FGS #3 dilaksanakan pada 21 - 23 September 2017 di Serang Rest Area. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, selain prosesi pengambilan, persemayaman dan pembagian banyu Sikopyah, perang tomat, wayangan, pesta kembang api, pagelaran musik dan kirab pun menjadi ajang menyemutnya warga. Daftar para penampil pun sepertinya cukup mampu menghangatkan suasana dingin Serang. Soendari Soekotjo dan puterinya menyemarakan FGS #3 malam pertama. Kemudian Pongky Barata hadir di malam kedua. Dan Ki Danang Manteb Sudarsono menutup FGS #3 dengan lakon Semar mBangun Lumbung Kencana yang tersaji dengan begitu apik.



Hari pertama FGS #3 sekitar 777 warga Serang dan Siwarak berurutan berjalan menuju Tuk Sikopyah di dusun Kaliurip. Jelang tengah hari barulah ratusan lodong itu berhasil disemayamkan. Ruang khusus di halaman balai desa kembali ditata dengan aksen khas serba hitam.

FGS 2017 pun kembali menelurkan prestasi pemecahan rekor MURI. Kali ini penanaman ± 30.000 bibit pohon sejenis yang juga ditujukan sebagai pelestarian di kawasan kaki Gunung Slamet. Penanaman dilaksanakan di 5 desa yang termasuk dalam kecamatan Karang Reja.



Penuangan air dari Tuk Sikopyah untuk dibagikan pada pengunjung. Foto koleksi : Bidang Kebudayaan Dindikbud Kab. Purbalingga

Kirab banyu Tuk Sikopyah pun hadir pada hari terakhir FGS #3. Banyak pengunjung Serang Rest Area yang memang telah mempersiapkan diri secara khusus untuk memperebutkan air Sikopyah dan gunungan hasil bumi. Yang berbeda, kirab tahun ini juga diikuti belasan turis yang sengaja datang ke Serang. Turut mengenakan kebaya dan lurik, para turis berjalan dari Balai Desa menuju Rest Area dengan membawa lodong. Mereka mengaku senang dengan suasana sejuk Serang dan menu tempe goreng. Dan tentu saja excited dengan agenda pendakian berburu sunrise melalui Wadas Malang. Mereka berasal dari Polandia, Hungaria, Vietnam dan Filipina.


Usai kirab dan ngalap berkah, semua pun berkesempatan menikmati nasi 3G. Paduan nikmat antara nasi jagung dengan oseng gandul (oseng pepaya), gereh (ikan asin) dan gorengan (tempe tahu). Kemasan nasi 3G ini begitu eye catching. Dibungkus sejenis daun pakis, 4.777 nasi 3G ini makin menebarkan aroma yang nikmat. Sayang, lagi-lagi saya tidak kebagian. Untungnya banyak warung yang menawarkan mendoan lezat dan kopi yang nikmat sebagai pengisi perut.







Tak hanya di Tuk Sikopyah, prosesi tradisi Sura pun berlangsung di Sungai Gintung. Seperti apa ? (bersambung)


Komentar

Banyak Dicari

PUTRI AYU LIMBASARI, SYECH GANDIWASI DAN PATRAWISA

Selalu saja ada yang menarik ketika berkunjung ke Limbasari. Desa ini terletak sekira 15 km dari pusat kota Purbalingga. Terletak di Kecamatan Bobotsari, Limbasari menyimpan banyak kekayaan. Mulai dari potensi temuan peninggalan neolitikum, wisata alam Patrawisa sampai legenda Putri Ayu Limbasari. Nah, untuk melepas lelah sepertinya berwisata akhir pekan ke Patrawisa bisa menjadi pilihan. Terletak di lembah Gunung Tukung dan Gunung Pelana, menjadikan pesona kecantikan alam Patrawisa mampu memikat seseorang untuk datang lagi dan lagi.  Untuk menuju bendungan Patrawisa hanya dibutuhkan waktu sekira 30 menit berjalan kaki sejauh 1,7 km. Ya, Patrawisa adalah bendungan atau dam yang membendung pertempuran Sungai Tuntung Gunung dan Sungai Wlingi. Tidak hanya itu, air terjun mini serta sendang-sendang jernih semakin menyegarkan sesampainya di lokasi. Lalu siapakah Patrawisa sehingga namanya diabadikan untuk tempat indah ini? Patrawisa adalah nama salah seorang cantrik Syech Gandiwas...

NYUWUN AGUNGING PANGAKSAMI

Satu hal yang saya tunggu-tunggu dari Lebaran adalah “SUNGKEMAN”. Yes, selain plong karena (pada akhirnya) mampu juga mengungkapkan segala perasaan bersalah pada orangtua, rasa dag-dig-dug belibet salah ngomong pun pasti menghampiri. Di keluarga inti, usai melaksanakan Sholat Ied, maka sungkeman perlu dilaksanakan sebelum sarapan menu Lebaran & bersilaturahmi ke tetangga. Yang seru adalah kami harus menggunakan bahasa Jawa krama. Yeah. Jadilah sejak semalam sebelumnya kami kerap menghapal terlebih dahulu naskah sungkeman dari masa ke masa. Hahaha. Seperti ini : “Bapak / Ibu’/ Embah, kulo ngaturaken sembah sungkem, sedoyo lepat nyuwun agunging pangapunten”. Hihihi, meski sudah merupakan mantra menahun, namun bagi sebagian keluarga yang (mayoritas) tinggal di luar JaTeng hal ini sangatlah merepotkan. So, mereka akan sungkeman dengan berkata “$#^&**&*&^%^^%^$#....pangapunten”. Wuiih,.. apa ya afdol ? Hehe. Makanya, sangat tidak mengherankan jika setiap Lebaran selain sun...