Langsung ke konten utama

KASURAN


Otak saya pernah dengan mentah menerima kata “kasuran” sebagai kasur + an. Padahal yang dimaksud adalah ka + sura + an.

Oleh : Anita Wiryo Rahardjo


Kasuran merupakan nama jenis rumput yang secara khusus dipakai sebagai bahan utama Wayang Suket khas kecamatan Rembang, Purbalingga. Tepatnya di desa Wlahar. Wayang ini menjadi khas karena hanya seorang saja perajin awalnya. Yaitu Mbah Gepuk.

Nama aslinya Kasanwikrama Tunut. Konon suwargi melewati masa kanak-kanak sebagai bocah angon yang tentunya akrab dengan alam dan padang rumput nan luas. Menghadapi usia senja, ia banyak menepi dan mulai menganyam helai demi helai rumput kasuran menjadi tokoh – tokoh legendaris dalam kisah pewayangan. Ia aktif membuat wayang suket sejak 1990-an. Meski telah menghadap sang Khalik pada 2002 silam, beberapa karya Almarhum Mbah Gepuk masih kerap dipamerkan. Seperti : Gatotkaca dan Rama Shinta.

tumbuh di Pulau Dewata

Kini keahlian menganyam rumput kasuran menitis pada cucunya, Badriyanto. Ketika bersua beberapa minggu silam, ia mengatakan bahwa bahan baku menipis. “Sudah sejak Sura kemarin malah”, ujarnya. Entah apa penyebabnya. Cuaca ataukah kondisi alam Wlahar yang berubah ? Ah, kita tidak paham secara pasti. Badri sendiri sudah mencoba membiakkan suket kasuran melalui polybag. Namun hasilnya belum bisa disebut mencukupi kebutuhan bahan baku.

Ide pembiakan melalui polybag dilakukannya saat ia bertukar pikiran dengan perajin Bali. Perajin disana berharap bisa memperoleh bahan baku serupa aslinya. Lalu apakah suket kasuran bisa tumbuh di udara Pulau Dewata ? Badri menggangguk. Hanya saja ia belum mengetahui kelanjutannya kini.

Sebenarnya beberapa pihak mencoba mengembangkan wayang suket dengan jenis rumput lain. Mengingat kelangkaan bahan bakunya. Namun hasilnya tak dapat seawet suket kasuran. “Sampai 20 tahunan lebih masih bagus kok ”, imbuhnya. Bahkan Badri juga membocorkan untuk perawatannya pun tidak rewel. Cukup dibersihkan dengan kuas dan diangin-anginkan sesekali.

Siapa sangka ya dari rumput seperti pada gambar ini, kita mendapati karya luar biasa berupa wayang. Dalam prosesnya, rumput ini akan dijemur sampai kering usai dipanen. Kemudian direndam dan ditiriskan hingga kering dan siap untuk dianyam. “Kalau nemu ada warna hijau sedikit, artinya proses jemurnya agak kurang kering”, pungkasnya sembari menunjukkan sebuah karya yang tengah dipajang di sebuah pameran siang itu.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

BATIK PURBALINGGA DIMULAI DARI ERA NAJENDRA

Sore yang terbalut hujan. Seketika nama udan liris mampir di pikiran. Eh, lalu bagaimana dengan truntum, kawung, lumbon, sekar jagad atau bahkan cebong kumpul ? Semarga kan ? (Oleh : Anita W.R.) Pertanyaan itu kian menggelitik setelah pertemuan pertama saya dengan seseorang ini terjadi pada Desember 2013. Satu kalimat yang saya ingat darinya adalah " Batik Purbalingga itu sudah punya khas sejak awal ". Antara takjub, bingung dan tidak mudheng , rangkaian penasaran itu saya endapkan hingga menuju 2 tahun. Ya, bicara Batik, banyak informasi, artikel sampai literatur yang membahasnya. Namun batik Purbalingga, hanya sekelumit yang saya ketahui. Padahal saya ada di kota ini sejak lahir dan tinggal dikelilingi beberapa pembatik sepuh. Memori saya pada bagian ini sepertinya tidak terlalu baik, sampai-sampai sulit membacanya. Tapi kalau boleh, ijinkan saya menyebut nama mereka satu per satu. Eyang Din, Mbah Sastro, dan Mbaeh Nana adalah nama-nama pembatik sepuh yang...

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah...

Brambang Jae dan Larangan Pementasan Wayang Kulit

Nama petilasan ini adalah Brambang Jahe. Nama yang unik ya? Cukup menggelitik tanya di benak, apakah di petilasan ini terdapat pohon bawang merah dan pohon jahe. Yang tentu saja jawabannya adalah tidak. Petilasan brambang Jahe ini sudah masuk dalam daftar inventaris Benda Cagar Budaya (BCB) kategori bangunan makam. Meski nilai sejarahnya masih dipertanyakan, namun kecenderungan masyarakat menyakralkan tempat ini dan juga folklore yang terus hidup menjadikan Brambang Jahe sebagai salah satu petilasan yang diistimewakan. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai kuburan Brambang Jahe. Brambang Jahe terletak di Kelurahan Purbalingga Kidul, tepatnya di utara Stadion Guntur Darjono Purbalingga. Dahulu, makam ini terdapat di tengah persawahan. Tidak ada seorangpun yang berani membongkarnya. Bahkan sampai ketika tempat tersebut disulap menjadi stadion skala nasional pun, Brambang Jahe tetap ada. Dan untuk melindunginya dari tangan-tangan jahil, dibangunlah pagar keliling pada ma...