Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Batik

Wanginya Masih Terasa

Perempuan sepuh itu menggebu saat berbincang akan batik. Ditemani sesayup tembang-tembang Jawa dan penganan tradisional, saya diajak berkenalan dengan Lungambring. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Yuswanya 75 tahun. Tak tersirat dari kulit mukanya yang masih kencang. Sesaat saya meraba pipi sendiri. "Agak sedikit turun, hufffff", batin saya. (Untung kamu nggak komplein soal ini). Ya, Mbah Kapti, begitu ia akrab disapa, acap merawat kulit ditengah aktivitas membatiknya sejak tahun 50'an silam. Ia tumbuh di keluarga priyayi. Ayahnya seorang guru. Eyangnya bahkan menjabat Penatus Penisihan (Bobotsari) pada era pendudukan Belanda. Sementara itu, sang Ibu mengisi hari-hari dengan membatik. Hal itulah yang membuatnya akrab dengan batik sejak kanak-kanak. Di saat saya menikmati sepiring makan siang, Mbah Kapti hilang dari pandangan. Ternyata ia dengan sigap menguliti batang-batang pohung untuk menjadi kayu bakar. "Buat persiapan mbathik", katanya. Ia me...

Dari Mbah Suralingga hingga Wedang Menir

Alunan calung dengan senandung magis terdengar di sebuah pendapa berbentuk joglo. Seorang berpakaian serba hitam tengah menerawang Dakem, si gadis muda yang mengalami kejang. Ia diduga terkena "ipat-ipat wayah sandekala". Dan Mbah Suralingga sedang menyembuhkannya. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Suasana berubah kembali penuh gelak tawa ketika sang "dukun" harus berulang kali menelan air kembang yang semestinya disemburkan pada pasiennya itu. Pertunjukan tradisi lisan dari Duta Seni Purbalingga ini makin membuat pengunjung bergeming. Anjungan Jawa Tengah ramai siang itu. Minggu, 3 September 2017. Acara yang dimulai pukul 09.00 pagi ini memang sejak awal sukses menyedot penonton. Kolaborasi tradisi lisan, calung dan lenggeran antara sanggar seni Dersanala dan Wisanggeni mengundang banyak decak kagum. Penabuh calung adalah para pelajar tingkat SMP yang tergabung dalam sanggar seni Wisanggeni asuhan Wendo Susetyo. Mereka inilah yang menjuarai FLS2N t...

Batik bukan sekedar titik

Batik. Setiap titiknya adalah tanda tangan sang pembatik. Bahwa satu batik adalah produk satu-satunya dari ribuan motif yang sama. • Oleh : Anita W.R • Dua bulan ini hampir saya tidak lepas dari bermacam hal terkait batik. Pas ndilalah mungkin. Mulai dari mencarikan batik pesanan keluarga, jadi model batik dadakan untuk tesis seorang kawan, hingga ditolaknya ijin off duty 4 hari untuk latihan mbatik . Hal-hal semacam ini menjadikan batik semakin memiliki nilai personal. Ya, karena seperti apa yang saya tuliskan diawal satu titik saja bisa menjadi tanda tangan. " Kami sesama pembatik atau siapapun yang paham akan tahu mana batik misal Sekar Jagad buatan saya dan buatan mas Edi ", kata Yoga Prabowo Tirtamas yang ditemani Edi Mukti Sekarsari di sela-sela pelatihan pengenalan warna sintetis dan teknik ciprat beberapa waktu lalu. Dalam membatik, " isen-isen " motif klasik adalah murni olahan dan luapan rasa dari sang pembatiknya. Sehingga menjadikanny...

BATIK NAGA TAPA, SERAGAM PEJABAT ERA BUPATI KE-9

Batik gelap bergambar naga yang dikelilingi pohon hayat dan aneka fauna itu dipadu dengan beskap ataupun kebaya kutu baru hitam. Begitulah kira-kira seragam dinas para pejabat pada era Bupati ke-9 Purbalingga. ( Oleh : Anita W.R. ) Museum daerah Prof. Dr. R. SoegardaPoerbakawatja menjadi tujuan saya siang itu. Beberapa bulan silam, sebelum peresmian ruang pameran baru dibuka. Satu koleksi batik lawas menarik perhatian saya. Batik itu bernama Naga Tapa. Sebuah motif klasik yang termasuk dalam jenis semen yang dimaknai sebagai penggambaran kehidupan yang semi. Ini terlihat dari jenis ornamen pokoknya yang berhubungan erat dengan paham Tribawana atau Triloka yaitu : daratan, udara dan air. Dalam Batik Naga Tapa Purbalingga, unsur tanah diwakili oleh sulur tetumbuhan, pohon hayat, binatang berkaki empat seperti harimau, kijang, gajah serta bajing. Udara yang digambarkan melalui burung dan kumbang. Serta binatang utama naga yang mewakili ketiganya. Naga kerap digambarkan sebagai s...

BATIK PURBALINGGA DIMULAI DARI ERA NAJENDRA

Sore yang terbalut hujan. Seketika nama udan liris mampir di pikiran. Eh, lalu bagaimana dengan truntum, kawung, lumbon, sekar jagad atau bahkan cebong kumpul ? Semarga kan ? (Oleh : Anita W.R.) Pertanyaan itu kian menggelitik setelah pertemuan pertama saya dengan seseorang ini terjadi pada Desember 2013. Satu kalimat yang saya ingat darinya adalah " Batik Purbalingga itu sudah punya khas sejak awal ". Antara takjub, bingung dan tidak mudheng , rangkaian penasaran itu saya endapkan hingga menuju 2 tahun. Ya, bicara Batik, banyak informasi, artikel sampai literatur yang membahasnya. Namun batik Purbalingga, hanya sekelumit yang saya ketahui. Padahal saya ada di kota ini sejak lahir dan tinggal dikelilingi beberapa pembatik sepuh. Memori saya pada bagian ini sepertinya tidak terlalu baik, sampai-sampai sulit membacanya. Tapi kalau boleh, ijinkan saya menyebut nama mereka satu per satu. Eyang Din, Mbah Sastro, dan Mbaeh Nana adalah nama-nama pembatik sepuh yang...

One Motif One Product Batik Sekarsari

Anak gaul dan produk distro itu ibarat best friend. Sebisa mungkin selalu berdampingan. Kalau nggak distro ya nggak gaul. Ooooh, pantes saja saya sering dibilang “ nggak gaul banget ”. Ya deh saya sih ikhlas saya disebut demikian, karena pada kenyataannya saya memang enggan melangkahkan kaki masuk distro dan belanja produk fashion disana. Mengapa ? Betul sekali. Mahal. Ini memang masalah style ya. Bagi anak-anak muda yang pengen disebut   gaul, berapapun harganya pasti oke. Tapi pernah nggak sih langsung setuju tanpa ragu ketika ditawari beli batik yang dikonsep a la – a la   distro gitu ? Alias produknya ini berjumlah terbatas. Mau nggak ? * Monggo jawab dalam hati saja lah. gambar diunduh dari berbah.com Tidak hanya diproduksi dalam jumlah terbatas, b ahkan batik ini lebih eksklusif lagi. One Motif One Product. Konsep ini digagas batik Sekarsari desa Gambarsari RT 4 RW 2 kecamatan Kemangkon. Kreatif banget ya ?  (gambar : Motif Pring Sejagad) ...