Batik.
Siapa yang tidak kenal warisan kebudayaan ini. Hampir seluruh wilayah di
Indonesia memiliki keanekaragaman batik dengan kekhasannya masing-masing. Entah
berapa macamnya. Karena satu kabupaten saja bisa memiliki lebih dari satu corak
khas batik.
Beberapa
waktu lalu, ketika jalan-jalan ke Limbasari saya juga menyempatkan diri mampir
ke Galery batik Muning Sari. Ya, batik
Limbasari merupakan potensi lokal yang sudah cukup memiliki nama. Meski masih
belum bisa disamakan dengan batik Solo atau Pekalongan yang sudah lebih beken,
namun pesonanya sudah mampu memikat banyak pihak. Bahkan menurut pengelola
galery, Suci Rahayu, ada beberapa perkantoran di ibukota yang menggunakan
seragam motif batik Limbasari.
Bagi
masyarakat Limbasari yang agraris, membatik sudah umum dilakukan dari masa ke
masa sebagai profesi sampingan. Dan kini di galery Batik Muning Sari inilah
sebagian besar karya adiluhung mereka dititipkan.
Ditemui
di galery-nya, Suci pun menunjukkan beberapa motif batik koleksi Limbasari
seperti : motif Wahyu Tumurun, SBY, Salah Layur, Rujak Senthe dan motif-motif
klasik semacam Udan Liris ataupun Kawung. Kebetulan batik trade mark mereka,
Patrawisa sold out saat itu, sehingga saya pun belum melihat secara langsung
motif batik yang kabarnya menggambarkan keindahan objek wisata Patrawisa ini.
Lengkap dengan gambaran 2 gunung yaitu Pelana dan Tukung serta Sungai
Wlingi-nya. Sementara itu batik Wahyu Tumurun menggambarkan garuda, sangkar dan
keris. Nah, yang menarik lagi adalah batik SBY. Mengapa ya dinamakan SBY ?
Menurut Suci, batik ini tercipta dalam sebuah lomba dan terinspirasi dari
kemeja batik yang kerap dipakai Presiden. "Motifnya itu ketemu (dua
garis bertemu membentuk huruf V) di depan atau di belakang", ungkap
Suci.
Batik SBY
Batik Wahyu Tumurun
Dari
segi pewarnaan, Batik Limbasari memiliki warna khas gelap yaitu dominan hitam
dengan tambahan warna cokelat. Namun pada perkembangannya, warna kini jauh
lebih bervariasi. Bergantung pesanan. "Maklum saja sekarang batik kan
buat bikin baju, yang dipakai kain sudah jarang", tutur Suci. Alasan
inipun berdampak pada perubahan ukuran kain. Jika semula kain batik memiliki
lebar 1m x 2,5 m kini tersedia juga ukuran 1,15m x 2,5m. Satu batik dapat
diselesaikan dalam waktu 1 bulan. " Kalau sedang ada pesanan, satu
batik bisa dikebut dalam waktu 2 minggu", kata Suci.
Saat
ini Limbasari hanya memiliki sekitar 20-an perajin batik. Sebagain besar telah
berusia diatas 40 tahun. Generasi muda tidak banyak yang tergerak mewarisi
tradisi ini. Dengan alasan pekerjaan ini kurang menjanjikan. Hal ini tentu saja
cukup mengkhawatirkan. Karena itulah Suci yang juga berprofesi sebagai pendidik
terus mengupayakan agar mapel muatan lokal dapat diisi dengan pelatihan
membatik dasar. Meski untuk sarana dan prasarananya memakan biaya yang tidak
murah, namun demi keberlangsungan batik Limbasari hal ini mutlak dilakukan.
Selain
masalah sulitnya regenerasi, batik Limbasaripun terkendala masalah pemasaran.
Perajin kerapkali harus menunggu pesanan atau membiarkan batiknya mengendap dahulu di Galery sampai ada
pembeli yang meliriknya. Namun
kurangnya promosi itu terus mereka akali dengan mencoba mengikuti beberapa
pameran. Meski belum maksimal, namun upaya itu jelas masih lebih baik daripada
sekedar promosi dari mulut ke mulut.
Limbasari
sampai saat ini hanya memproduksi batik tulis. Dan dengan 3 kali proses
pewarnaan sepertinya tidak berlebihan jika 1 lembar kainnya dihargai minimal
Rp. 250.000,-. Ehm, untuk saya ini jelas berat. Hehe.. Karena minimnya isi
kantong, sayapun melancarkan jurus menanyakan batik Limbasari dengan harga
ekonomisnya. "Kami tidak membuat batik printing ataupun cap,
Mbak", ucap Suci sembari tertawa kecil. Ya, para perajin batik
Limbasari sampai saat ini memang masih belum terpikir membuat batik printing
yang lebih mudah dan lebih ekonomis. Meski tak laku setiap hari, bagi perajin
ini yang terpenting adalah dapat terus melestarikan tradisi membatik.
Hmm, kalau sudah sampai pada tahap ini sepertinya harga yang dibanderol
Rp250.000,- ini terbilang murah ya. Apalagi mengingat proses penciptaan seni
selalu melalui pemikiran mendalam dan waktu yang panjang.
mantap
BalasHapus