Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Cerita

Sela Bintana, Yang Terlupa

​ Sekelompok penonton memilih posisi yang nyaman didalam gedung tak beratap. Ada yang berjongkok, bersila bahkan berdiri. Jangan heran. Disini memang tak ada kursi. Dan seperti inilah gambaran bioskop misbar Sela Bintana, Purbalingga yang diceritakan beberapa orang secara terpisah. Misbar Sela Bintana Sela Bintana memang tak segaung nama tiga bioskop yang pernah ada di Purbalingga. Rayuan Theater, Braling Theater dan Indra Theater (Bobotsari). Bioskop ini jenis misbar. Gerimis bubar. Namun tetap digemari saat itu. Sela Bintana menjadi pilihan jika kocek sedang tipis. • Dekat Rayuan • Sela Bintana ada dekat dengan Rayuan Theater Purbalingga. Tapi keduanya memiliki pasar masing-masing. Sela Bintana, dengan harga tiket yang lebih murah menawarkan film yang berbeda kelas dengan 'tetangga'nya. Dapat dipahami ya. Apalagi fasilitasnya juga berbeda. Sela Bintana diketahui menempati bangunan milik keluarga Tan Kwee An. Seorang pengusaha es balok ternama. Pabriknya diberi nama Salju. Saa...

Kyai Lanang itu bermarga Gan

Sebentuk bangunan makam terlihat begitu mencolok. Berada di areal persawahan dan satu-satunya. Warga setempat menamainya makam Kyai Lanang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Julukan Kyai Lanang tersemat lantaran ia disebut-sebut sebagai tokoh yang membuka dusun Sirongge, desa Kembaran Kulon, Purbalingga. Sayang, kapan ia datang tidak dapat dipastikan. Hanya diduga berkaitan dengan masa paceklik di Tiongkok Selatan. "Ada yang menyebut datang sewaktu Perang Jawa (1825 - 1830), ada yang bilang datang karena berselisih dengan marga lain atau juga karena bencana besar yang berakibat gagal panen", kata kedua keturunan Gan Hwan yang saya temui secara terpisah. Kyai Lanang memiliki nama asli Gan Hwan. Bersama orang-orang sebangsanya dulu, ia mengarungi lautan mencari harapan di tanah yang baru. Gan Hwan dikabarkan berasal dari desa QQishan. • Melestarikan Marga • Dikatakan bahwa sebagian dari mereka mendarat di Pekalongan. Termasuk Gan Hwan beserta puteranya, Gan Tj...

Wanginya Masih Terasa

Perempuan sepuh itu menggebu saat berbincang akan batik. Ditemani sesayup tembang-tembang Jawa dan penganan tradisional, saya diajak berkenalan dengan Lungambring. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Yuswanya 75 tahun. Tak tersirat dari kulit mukanya yang masih kencang. Sesaat saya meraba pipi sendiri. "Agak sedikit turun, hufffff", batin saya. (Untung kamu nggak komplein soal ini). Ya, Mbah Kapti, begitu ia akrab disapa, acap merawat kulit ditengah aktivitas membatiknya sejak tahun 50'an silam. Ia tumbuh di keluarga priyayi. Ayahnya seorang guru. Eyangnya bahkan menjabat Penatus Penisihan (Bobotsari) pada era pendudukan Belanda. Sementara itu, sang Ibu mengisi hari-hari dengan membatik. Hal itulah yang membuatnya akrab dengan batik sejak kanak-kanak. Di saat saya menikmati sepiring makan siang, Mbah Kapti hilang dari pandangan. Ternyata ia dengan sigap menguliti batang-batang pohung untuk menjadi kayu bakar. "Buat persiapan mbathik", katanya. Ia me...

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah...

Dari Mbah Suralingga hingga Wedang Menir

Alunan calung dengan senandung magis terdengar di sebuah pendapa berbentuk joglo. Seorang berpakaian serba hitam tengah menerawang Dakem, si gadis muda yang mengalami kejang. Ia diduga terkena "ipat-ipat wayah sandekala". Dan Mbah Suralingga sedang menyembuhkannya. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Suasana berubah kembali penuh gelak tawa ketika sang "dukun" harus berulang kali menelan air kembang yang semestinya disemburkan pada pasiennya itu. Pertunjukan tradisi lisan dari Duta Seni Purbalingga ini makin membuat pengunjung bergeming. Anjungan Jawa Tengah ramai siang itu. Minggu, 3 September 2017. Acara yang dimulai pukul 09.00 pagi ini memang sejak awal sukses menyedot penonton. Kolaborasi tradisi lisan, calung dan lenggeran antara sanggar seni Dersanala dan Wisanggeni mengundang banyak decak kagum. Penabuh calung adalah para pelajar tingkat SMP yang tergabung dalam sanggar seni Wisanggeni asuhan Wendo Susetyo. Mereka inilah yang menjuarai FLS2N t...

Candi Supit Urang Talagening

Candi. Mohon sedikit ubah bayangan akan kemegahan bangunan serupa Borobudur akan kata ini. Karena kata candi bisa saja mengacu pada bangunan, petilasan atau makam. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Tak jauh dari perbatasan Talagening - Serayu Larangan, saya diantarkan penduduk ke Candi Supit Urang. Satu tempat yang tak bisa mereka jelaskan, selain " makam Mbah Rantansari ". Sore itu, berapa tahun silam, usai ngadem di Curug Siputhut, perjalanan berlanjut ke Candi Supit Urang. Kaki hanya sepakat untuk mengikuti saja langkah seorang perempuan paruh baya. Ia biasa mengantarkan orang-orang menuju makam tersebut. Kami harus melewati kebun-kebun penduduk. Dan tampak aliran sungai Soso di sepanjang perjalanan. Berselang 10 menit saja, si penunjuk jalan ini berhenti. Sebuah makam sederhana ada disana. Ia segera membersihkan dedaunan kering yang jatuh. " Niki pesareane Mbah Rantansari ". Pagar batu setinggi ± 50 cm tampak mengelilingi makam ini. Banyaknya...

Indra Theater, dari tobong ke bioskop

Saya belum sanggup membayangkan seperti apa suasana gedung pemutaran film di Bobotsari, Purbalingga pada sekitar 5 dasawarsa lalu. Entah mengapa gambaran unik yang saya tangkap adalah lalu lalang penjual kacang bawang yang berkeliling menawarkan dagangannya sebagai peneman nonton film. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Indra Theater menjadi salah satu dari tiga gedung pemutaran film yang dimiliki Purbalingga. Jika Rayuan dan Braling Theater berada di pusat kota dan cukup megah pada masanya, maka Indra Theater berlokasi di Bobotsari. " Orang Limbasari sampai Lambur ya lebih milih nonton disini ", kenang Ny. Naenah dan suaminya ketika kami berbincang beberapa bulan silam. Ditemani seorang kawan, saya sempatkan menengok bangunan gedung yang masih tersisa. Ternyata tak jauh dari kompleks pasar atau kantor pos Bobotsari. Bangunan bercat putih tampak rusak disana-sini. Belum keseluruhan permanen. Bagian atas masih menggunakan gedheg (bilik bambu beranyam) dan papan se...

MASJID CHENG HOO PURBALINGGA

Dari arsitektur dan ornamennya saja, sudah dapat ditebak jika rumah ibadah ini diprakarsai oleh para etnis ​ keturunan Tionghoa. Masjid Jami PITI Muhammad Cheng Hoo Purbalingga. • Oleh : Anita W.R. • Bentuk bangunannya mengingatkan kita akan Klenteng. Memang inspirasinya dari sana. Begitu pula dengan dominasi merah, hijau dan kuning di setiap sudut. " Merah-nya melambangkan warna yang identik dengan budaya masyarakat Tionghoa, Begitu pula kuning. K alau hijau-nya melambangkan warna religi. 'Arsy ", kata Pak Heri Susetyo (Thio Hwa Kong) saat kami bertemu beberapa tahun silam. Masjid ini sebenarnya sudah mulai dibangun pada Maret 2005, namun sempat terhenti pembangunannya karena terkendala pendanaan setelah berjalan 2,5 tahun. " Alhamdulillah, ada donatur dari Pekalongan ", lanjut Pak Heri. Ini terjadi pada sekitar 2010 silam. Pembangunan pun dilanjutkan hingga diresmikan 5 Juli 2011 oleh Bupati Purbalingga saat itu, Drs. Heru Sudjatmoko, M.Si. ...

Mengintip saja di Watu Lawang Kalapacung

Sore itu teramat mendung. Namun lagi-lagi beginilah ketika keinginan mbolang muncul. Gayung bersambut, seorang kawan menawari jalan-jalan ke desa Kalapacung, Bobotsari. “ Ada Watu Lawang lho Mbak disana ”, katanya. Okay, kita kesana. Oleh : Anita Wiryo Rahardjo Sungguh saya tak punya gambaran apapun tentang tempat ini. Beberapa sms masuk hanya mengatakan : lokasinya sulit ( hmmm ), angker ( halaaaahh …), atau bahkan “ kamu mau minta nomor ya ?”. Iyyyyeeess, yang terakhir ini sebenarnya sudah biasa banget ditanyakan saat saya main-main ke petilasan atau yang serupa. Sudahlah, monggo kerso. Lebih baik segera ganti alas kaki untuk menuju ke watu lawang. Ya, saya disarankan mengenakan sandal jepit setelah hujan mengguyur deras desa Kalapacung. Karena untuk menuju Watu Lawang, kita harus melewati areal perkebunan dan semak rimbun yang naik turun. Mirip perbukitan namun cukup landai. Arahan penduduk setempat memang sepatutnya jadi acuan saat main-main model begini. Bertiga, kami men...

Belajar pada Alam di Rintisan Agrowisata Giri Badhra

November ini harusnya saya sudah di Giri Badhra lagi. Menengok pepaya California yang mulai matang. Pepaya hasil penanaman dengan teknik toping yang membuat Romo disebut sinting. Ach !! • Oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Lokastithi Giri Badhra bukanl ah tempat baru bagi saya. Empat tahunan yang lalu, untuk sebuah proses "liputan" sejarah, saya berjam-jam di tempat ini. Memunguti rentetan informasi yang disampaikan Romo Hariyadi dengan sabar. Kali ini kedatangan saya ke museum yang berlokasi di dusun Pangubonan, desa Cipaku berbeda. Bukan lagi sekedar belajar ilmu leluhur, namun belajar bagaimana Romo dan Pak Suroso menerapkannya dalam aktivitas bertani. Lik Roso, begitu Suroso biasa dipanggil, memang bertanggung jawab penuh pada lahan pertanian di Giri Bahdra ini. Terhitung April 2016, lahan yang berada di belakang Situs Watu Tulis Cipaku ini ditanami bibit pepaya California. Dengan sistem toping. " Ini sistem yang bikin Romo disebut wong edan sama orang-or...