Langsung ke konten utama

Menjajakan Wayang Suket

Belum terlintas bayang, bahwa wayang suket pernah dijual melalui pasar-pasar tradisional. Mbah Gepuk (Kasanwikrama Tunut) sendiri bahkan yang menjajakannya semasa hidupnya dulu.

• oleh Anita Wiryo Rahardjo •

Warisan Budaya TakBenda (WBTB) menjadi sematan label pada karya istimewa pria asal Kecamatan Rembang Purbalingga, yaitu Mbah Gepuk. Ia menekuni pembuatan wayang suket sejak 1921 hingga akhir hidupnya pada 2002. Sebagian kisah tentangnya telah dituliskan melalui akun Medium Anita Wiryo Rahardjo yang dapat diklik disini.  

Berjalan dan Berjualan


Selain Pasar Bantarbarang, Mbah Gepuk berjalan kaki dari rumahnya ke Pasar Losari serta Pasar Semampir. Semuanya ada di Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga. Ia membawa sejumlah wayang yang telah dikerjakan sebelumnya untuk dijual. "Ke Losari kalau pasaran manis dan ke Semampir saat pasaran pon", cerita Badriyanto, cucu dan penerus Wayang Suket Mbah Gepuk.

Foto diambil dari akun Medium Anita Wiryo Rahardjo sendiri ya.



Menariknya, hasil penjualan tersebut lebih dimanfaatkan untuk meminjami kerabat yang membutuhkan dibanding dibawa pulang. "Ditawar-tawarin ke siapa aja yang kenal lah, kadang enggak ditagih juga. Asal si Mbah karep (berniat) aja", lanjut Badri pada suatu obrolan. Kakeknya memang dikenal memiliki pertemanan yang luas. Sehingga hal demikian sudah dianggap wajar oleh keluarga.

Bahkan, setiap kepulangan Mbah Gepuk dari wana yang berjarak 2 km dari rumahnya (baca di Medium ya) setiap sepekan sekali juga selalu ramai dinantikan tetangga dan para kerabat. Mereka akan berebut membawakan apa saja dari hasil berladang Mbah Gepuk. "Pada rebutan bawa singkong atau bahkan rumput hasil ngarit dan apa saja yang dibawa", katanya lagi.

Kebiasaan Mbah Gepuk berjalan jauh telah dilakoni sejak belia. Usia 14 tahun, ia sudah menjadi bocah angon, tukang ngarit, sudah senang laku tirakatan, bahkan sudah memiliki kemampuan dukun ebeg. Dalam urusan mencari nafkah ia pernah menjajakan gerabah berjalan kaki hingga ke Purwokerto. Tentu saja ini terjadi sebelum kemudian nyipta wyaang suket. Kata oramg Jawa, orang begini dikenal lampar.

Wayang Golek


Ketenaran namanya membuat sejumlah kria membuat salah seorang pemesan minta dibuatkan boneka kayu. Ia butuh boneka kayu untuk bermain anaknya. 

Namun, Mbah Gepuk lagi-lagi menunjukkan bahwa hasil karyanya unik, bukan semata permintaan pasar. Ia hanya membuat sesuatu yang berkaitan dengan dunianya.

Kayu diolahnya menjadi dua buah wayang golek menak. Badri tak tahu pasti tokoh siapa yang dibuat. Saya menduganya sebagai Umar Maya dan Umar Madi, karena ia menyebutnya sebagai tokoh pasangan di wayang golek. Tapi baru dugaan saja ya. Mengapa justru wayang golek yang dibuatnya ? Karena ia pernah menjadi dalang wayang golek menak sebelumnya.

Kabarnya si pemesan sempat terdiam melihat boneka yang tak sesuai harapannya. Tapi kemudian tetap dibawa pulang. Mungkin merasa bahwa wayang golek itu jauh lebih berharga dibanding sekedar boneka kayu.

Saat ini, wayang suket memang tak lagi dijual melalui pasar-pasar tradisional. Namun saya berangan-angan, suatu hari nanti ada seniman yang memainkan fragmen cerita pewayangan di tengah kerumunan pasar. Sepertinya akan lebih hidup dibanding wayang-wayang suket itu terpajang rapi dalam pigura dalam suatu exhibition.

Komentar

Banyak Dicari

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah...

TRADISI WISUHAN

Daur hidup manusia tak lepas dari rangkaian adat istiadat. Saat memasuki 40 hari, dilaksanakanlah tradisi Wisuh atau Wisuhan. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Pagi itu seorang pria pensiunan Polantas sibuk mencari anak-anak kecil. Minggu pagi memang tak mudah mencari para bocah di rumah. Mereka sedang asyik jalan-jalan bersama keluarga tentunya. Beruntung ada tiga bocah kelas 1 SD yang baru bangun keluar rumah dan kemudian dimintalah mereka bersiap memperebutkan uang. Ketiganya hanya mantuk-mantuk bingung. Mereka tak tahu bahwa mereka tengah dilibatkan dalam tradisi Wisuh. • Cukur rambut • Didalam rumah, seorang bayi mungil sedang dicukur bergantian oleh dukun bayi dan pihak keluarga. Dalam kebiasaan lain, saat seperti ini juga sambil dibacakan shalawat. Namun tidak hari itu. Pemandangan ini berbeda dengan yang pernah dilakoni saudara sepupu saya. Menjelang hari ke-40 (bisa dimulai dari hari ke-35 atau selapan dina), dukun bayi yang biasa mengurus ia dan puteri kecilnya secara khus...