Langsung ke konten utama

Wanginya Masih Terasa

Perempuan sepuh itu menggebu saat berbincang akan batik. Ditemani sesayup tembang-tembang Jawa dan penganan tradisional, saya diajak berkenalan dengan Lungambring.

• oleh : Anita Wiryo Rahardjo •

Yuswanya 75 tahun. Tak tersirat dari kulit mukanya yang masih kencang. Sesaat saya meraba pipi sendiri. "Agak sedikit turun, hufffff", batin saya. (Untung kamu nggak komplein soal ini). Ya, Mbah Kapti, begitu ia akrab disapa, acap merawat kulit ditengah aktivitas membatiknya sejak tahun 50'an silam.

Ia tumbuh di keluarga priyayi. Ayahnya seorang guru. Eyangnya bahkan menjabat Penatus Penisihan (Bobotsari) pada era pendudukan Belanda. Sementara itu, sang Ibu mengisi hari-hari dengan membatik. Hal itulah yang membuatnya akrab dengan batik sejak kanak-kanak.

Di saat saya menikmati sepiring makan siang, Mbah Kapti hilang dari pandangan. Ternyata ia dengan sigap menguliti batang-batang pohung untuk menjadi kayu bakar. "Buat persiapan mbathik", katanya. Ia memang tak bisa membiarkan waktu luang. Tak mau berdiam diri sudah menjadi bagian dalam keseharian keluarga besarnya. Kesehariannya kini adalah mempersiapkan segala tetek bengek pembuatan batik tulis pewarna alam. Sebuah usaha yang kini juga turut dirintis puteri pertamanya.

Di tengah makan siang, saya kembali terngiang akan lung ambring. "Godong ambring itu wangi. Jadi maknanya dalam menjalani hidup berilah kesan yang baik agar setelah kepergian kita, diibaratkan wangi kita tak akan hilang", katanya. (Batik tulis Lung Ambring ini dibatik oleh ibunda Mbah Kapti)

Strategi Perang

Lung ambring atau daun ambring memiliki bentuk daun berjari 5. Seukuran seledri. Kabarnya dibeberapa tempat, daun ambring masih kerap dijumpai pada penjual kembang setaman. Cuma ya nggak tau di pasar mana yang masih ada. Wanginya melengkapi aroma mawar, kenanga dan kantil. Harumnya itulah yang kadang membuat orang berceloteh, "Wis lunga, breng". Artinya meski sudah berlalu, harumnya masih tertinggal.

Catatan lain menyebutkan jika motif Lung Ambring dikenal pada era Perang Diponegoro (1825 - 1830). Motif ini merupakan catatan strategi perang yang harus diketahui pasukan yang tersebar di banyak tempat. Persatuan konon menjadi makna yang terkandung dalam motif ini.

Ya, apapun itu. Batik memang selalu menyimpan pesan pada tiap goresan motifnya. "Sejarah saja bisa dituangkan dalam batik kok", kata Mbah Kapti kemudian. Ia mencontohkan motif Wahyu Tumurun. "Ada Kyai Sengkelat dan topong mahkota Hayam Wuruk, ada lung ambring, melati, bintang dan phoenix", katanya sambil menunjukkan gambar satu per satu.

Sejarah dalam Batik

Keris Kyai Sengkelat digambarkan terdiri dari curiga dan warangka-nya. Ini merupakan simbol kekuasaan. Bukankah kita masih akrab mendengar bahwa sesiapa yang memperoleh Kyai Sengkelat akan menjadi Ratu ? Itulah mengapa pusaka ini tergambar di batik Wahyu Tumurun.

Dalam beberapa catatan, disebutkan bahwa motif batik Wahyu Tumurun berasal dari Jogjakarta pada era Panembahan Senopati. Sebuah batik yang pada awalnya dikhususkan untuk upacara keagamaan. Semisal 10 hari terakhir di bulan puasa. Nah kesakralan motif inipun tak semata bermakna kemuliaan dalam rupa kejayaan duniawi. Kini, Wahyu Tumurun banyak digunakan dalam upacara adat pengantin Jawa.

"Mahkota Hayam Wuruk yang digambar ini adalah yang murca dari gedung pusaka. Sama simbol kekuasaan juga", lanjutnya. Kemudian ada kembang melati, ini bermakna kesucian. Bintang melambangkan sinar yang menerangi saat gelap dan lung ambring yang menggambarkan bahwa kejayaan / nama kerajaan Majapahit tetap ada. "Wis lunga, breng e esih", katanya.

Sedangkan burung phoenix dikaitkan dengan puteri dari Champa yang juga menjadi salah satu isteri Raja Majapahit. Nah terkait jenis burung dalam Wahyu Tumurun. Ada dua versi yang saya dengar. Di Jogjakarta, Wahyu Tumurun identik dengan burung merak. Sedangkan di Surakarta mengenalnya sebagai burung phoenix.

Waah, saya semakin takjub. Kaya makna sekali batik yang kita miliki. Dari satu batik ini saja, saya dapat menggali sejarah serta mempelajari tradisi dan seni yang disampaikan dalam tradisi lisan yang dituturkan seorang pembatik sepuh.

Matur suwun Mbah Kapti dan Mba Titin "Tien Batik Mangunegara".


Komentar

Postingan populer dari blog ini

BATIK PURBALINGGA DIMULAI DARI ERA NAJENDRA

Sore yang terbalut hujan. Seketika nama udan liris mampir di pikiran. Eh, lalu bagaimana dengan truntum, kawung, lumbon, sekar jagad atau bahkan cebong kumpul ? Semarga kan ? (Oleh : Anita W.R.) Pertanyaan itu kian menggelitik setelah pertemuan pertama saya dengan seseorang ini terjadi pada Desember 2013. Satu kalimat yang saya ingat darinya adalah " Batik Purbalingga itu sudah punya khas sejak awal ". Antara takjub, bingung dan tidak mudheng , rangkaian penasaran itu saya endapkan hingga menuju 2 tahun. Ya, bicara Batik, banyak informasi, artikel sampai literatur yang membahasnya. Namun batik Purbalingga, hanya sekelumit yang saya ketahui. Padahal saya ada di kota ini sejak lahir dan tinggal dikelilingi beberapa pembatik sepuh. Memori saya pada bagian ini sepertinya tidak terlalu baik, sampai-sampai sulit membacanya. Tapi kalau boleh, ijinkan saya menyebut nama mereka satu per satu. Eyang Din, Mbah Sastro, dan Mbaeh Nana adalah nama-nama pembatik sepuh yang...

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah...

Brambang Jae dan Larangan Pementasan Wayang Kulit

Nama petilasan ini adalah Brambang Jahe. Nama yang unik ya? Cukup menggelitik tanya di benak, apakah di petilasan ini terdapat pohon bawang merah dan pohon jahe. Yang tentu saja jawabannya adalah tidak. Petilasan brambang Jahe ini sudah masuk dalam daftar inventaris Benda Cagar Budaya (BCB) kategori bangunan makam. Meski nilai sejarahnya masih dipertanyakan, namun kecenderungan masyarakat menyakralkan tempat ini dan juga folklore yang terus hidup menjadikan Brambang Jahe sebagai salah satu petilasan yang diistimewakan. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai kuburan Brambang Jahe. Brambang Jahe terletak di Kelurahan Purbalingga Kidul, tepatnya di utara Stadion Guntur Darjono Purbalingga. Dahulu, makam ini terdapat di tengah persawahan. Tidak ada seorangpun yang berani membongkarnya. Bahkan sampai ketika tempat tersebut disulap menjadi stadion skala nasional pun, Brambang Jahe tetap ada. Dan untuk melindunginya dari tangan-tangan jahil, dibangunlah pagar keliling pada ma...