Langsung ke konten utama

Dari Mbah Suralingga hingga Wedang Menir

Alunan calung dengan senandung magis terdengar di sebuah pendapa berbentuk joglo. Seorang berpakaian serba hitam tengah menerawang Dakem, si gadis muda yang mengalami kejang. Ia diduga terkena "ipat-ipat wayah sandekala". Dan Mbah Suralingga sedang menyembuhkannya.

• oleh : Anita Wiryo Rahardjo •

Suasana berubah kembali penuh gelak tawa ketika sang "dukun" harus berulang kali menelan air kembang yang semestinya disemburkan pada pasiennya itu. Pertunjukan tradisi lisan dari Duta Seni Purbalingga ini makin membuat pengunjung bergeming. Anjungan Jawa Tengah ramai siang itu. Minggu, 3 September 2017.

Acara yang dimulai pukul 09.00 pagi ini memang sejak awal sukses menyedot penonton. Kolaborasi tradisi lisan, calung dan lenggeran antara sanggar seni Dersanala dan Wisanggeni mengundang banyak decak kagum.

Penabuh calung adalah para pelajar tingkat SMP yang tergabung dalam sanggar seni Wisanggeni asuhan Wendo Susetyo. Mereka inilah yang menjuarai FLS2N tingkat Jawa Tengah dan akan kembali berlaga di tingkat Nasional akhir bulan ini. Kelima remaja ini langsung membabat habis waktu singkat yang diberikan panitia sebelum seremonial dimulai dengan aksi ciamiknya.

Pengunjung benar-benar beruntung siang itu. Karena pada penampilan berikutnya mereka disuguhi kolaborasi Wisanggeni dengan sanggar Dersanala yang menjadi pengiring dua tarian dan pertunjukan tradisi lisan. Ipat-ipat wayah sandekala yang dilakoni sanggar Dersanala juga membawa Purbalingga menjadi juara Festival Seni Tutur Lisan 2017 tinggat Provinsi Jawa Tengah pada 29 Juli 2017. Sementara tarian ikonik Lenggasor yang menutup penampilan Duta Seni Purbalingga ini juga turut ditampilkan di istana negara pada peringatan HUT ke-72 Republik Indonesia.

Ipat-ipat

Kurang dari 60 menit, pengunjung menyaksikan sebuah "drama" yang mengambil tema ipat-ipat wayah sandekala. Bagi masyarakat Jawa, pergantian waktu yang acap disebut sandekala ini memiliki sambekala. Dan anak-anak menjadi yang paling rawan pada saat sandekala. Di Purbalingga, masihlah terdengar seseorang mengingatkan agar anak tak duduk di depan pintu jika tak ingin menjadi perawan tua. Ini adalah salah satu ipat-ipat.

Menurut Kang Tomo, pimpinan sanggar Dersanala, ipat-ipat wayah sandekala bedug (tengah hari) ini diantaranya :

1. Anak dilarang duduk di depan pintu, karena bisa menjadi perawan / bujang tua.
2. Anak dilarang bermain dibawah tlawungan (jemuran dari bambu yang ditanam di tanah), karena bisa dibawa cepet / sejenis makhluk halus yang menakutkan
3. Anak dilarang naik turun tangga, karena bisa wirang / malu di depan orang banyak
4. Anak dilarang tlethekan / menabuh benda seperti misalnya meja, karena bisa dikejar orang gila
5. Anak dilarang bermain api, karena bisa dikejar kuda
6. Anak dilarang bersiul, karena bisa dimakan Bethara Kala
7. Anak dilarang menjemur pakaian, karena bisa terkena sawan celeng (kejang / ayan)

Hal-hal semacam ini tentulah tak lagi asing bagi kebanyakan orang Jawa. Namun tak banyak generasi muda yang masih mengindahkannya. Kuno menjadi kata yang dilekatkan pada  ipat-ipat. Padahal jika mau menggalinya, kita akan mengerti kandungan sebuah pepali yang sebenarnya. "Kalau pernah mendengar apa sebenarnya yang terkandung dalam istilah ora ilok, maka seperti itu jugalah ipat-ipat ini", kata Kang Tomo.

Mari ambil contoh larangan bersiul. Saat matahari berada di titik kulminasi, maka energi pun banyak terkuras. Suasana tenang jauh lebih dibutuhkan. Bahkan aktivitas pun sebaiknyaa ditinggalkan. Bayangkan jika saat bedug zuhur itu, tetiba terdengar siulan. Tanpa sadar tubuh yang letih akan merespon dengan mencari sumber suara dan memaksa menghentikannya. Kemarahan orang inilah yang dilambangkan dengan Bethara Kala. Inilah salah satu makna yang terkandung dalam ipat-ipat wayah sandekala.

Jadi, jika kata dukun abal abal Mbah Suralingga dalam sketsa pagelaran tadi -- semua kejadian celaka saat bedug serba dikarenakan makhluk halus --, tidak sepenuhnya benar. Perlu dijlentrehkan satu per satu, agar ipat-ipat tetap relevan di jaman milenial ini.
Dibuka Galengan

Tarian lengger telah menjadi khas wilayah Banyumas Raya. Namun setiap daerah memiliki khasnya sendiri. Purbalingga telah dikenal dengan tari lenggeran Ngoser dan Lenggasor. Terbaru, Galengan ditampilkan untuk membuka event bertajuk "Pagelaran Seni, Budaya dan Promosi Kabupaten Purbalingga".


Galengan berasal dari kata Gambyong dan Lenggeran. Gambyong sendiri telah diketahui bersama sebagai tarian penyambutan tamu. Yang membedakan adalah iringan berupa calung dan beberapa gerak Banyumasan yang lebih dinamis.

Wedang Menir dan Batik Gua Lawa

Selain penampilan kolaborasi Wisanggeni dan Dersanala, pengunjung juga mendapat hiburan berupa tek-tek / kentongan dari grup Pandawa yang beranggotakan para perantau asal Purbalingga di Jabodetabek. Memang, beberapa paguyuban perantau Purbalingga tampak memanfaatkan moment untuk bersilaturahmi sekaligus mengobati kangen pada kampung halaman di Anjungan Jawa Tengah TMII. Mulai dari Papeling, Kulabangga, Bralingmania Batavia hingga Papermas (Banyumas) pun turut hadir. Semua tampak guyub dan anteng menyaksikan pagelaran yang begitu bernuansa Purbalingga.

Ditambah suguhan Wedang Menir menjadikan makin nyamleng. Sereal instan bercita rasa minuman khas nenek moyang ini bahkan hingga habis stok. Maklum saja, semua pasti ingin menikmati seperti apa rasa wedang yang juga tengah menjadi salah satu item goody bag sebuah pameran di luar negeri sana.

Tak ketinggalan Batik Gua Lawa yang tengah menjadi khas Purbalingga pun menjadi incaran para kolektor batik. Menurut Titin "Tien Batik", batik tulis justru lebih diminati pembeli siang itu.

Ada juga sepatu rajut "Hira", makanan khas seperti Jipang Kacang Lumpang, Pantek dan Sambel Knalpot "Brayan Food" juga menjadi buruan oleh-oleh. "Semua yang kami bawa kesini adalah beberapa yang berlabel juara, yang terbaik" kata Kabid Pembinaan Kebudayaan, Drs. Sri Kuncoro yang mendampingi Duta Seni Purbalingga ini.

Hingga tengah hari, pagelaran pun usai. Bukan karena takut dikejar orang gila sebab Duta Seni ini tlethekan (baca : klonengan) saat bedug, namun karena waktu yang diberikan memang telah habis. Klilan.

Cat : keseluruhan foto koleksi dari Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan & Kebudayaan Kabupaten Purbalingga.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BATIK PURBALINGGA DIMULAI DARI ERA NAJENDRA

Sore yang terbalut hujan. Seketika nama udan liris mampir di pikiran. Eh, lalu bagaimana dengan truntum, kawung, lumbon, sekar jagad atau bahkan cebong kumpul ? Semarga kan ? (Oleh : Anita W.R.) Pertanyaan itu kian menggelitik setelah pertemuan pertama saya dengan seseorang ini terjadi pada Desember 2013. Satu kalimat yang saya ingat darinya adalah " Batik Purbalingga itu sudah punya khas sejak awal ". Antara takjub, bingung dan tidak mudheng , rangkaian penasaran itu saya endapkan hingga menuju 2 tahun. Ya, bicara Batik, banyak informasi, artikel sampai literatur yang membahasnya. Namun batik Purbalingga, hanya sekelumit yang saya ketahui. Padahal saya ada di kota ini sejak lahir dan tinggal dikelilingi beberapa pembatik sepuh. Memori saya pada bagian ini sepertinya tidak terlalu baik, sampai-sampai sulit membacanya. Tapi kalau boleh, ijinkan saya menyebut nama mereka satu per satu. Eyang Din, Mbah Sastro, dan Mbaeh Nana adalah nama-nama pembatik sepuh yang...

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah...

Brambang Jae dan Larangan Pementasan Wayang Kulit

Nama petilasan ini adalah Brambang Jahe. Nama yang unik ya? Cukup menggelitik tanya di benak, apakah di petilasan ini terdapat pohon bawang merah dan pohon jahe. Yang tentu saja jawabannya adalah tidak. Petilasan brambang Jahe ini sudah masuk dalam daftar inventaris Benda Cagar Budaya (BCB) kategori bangunan makam. Meski nilai sejarahnya masih dipertanyakan, namun kecenderungan masyarakat menyakralkan tempat ini dan juga folklore yang terus hidup menjadikan Brambang Jahe sebagai salah satu petilasan yang diistimewakan. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai kuburan Brambang Jahe. Brambang Jahe terletak di Kelurahan Purbalingga Kidul, tepatnya di utara Stadion Guntur Darjono Purbalingga. Dahulu, makam ini terdapat di tengah persawahan. Tidak ada seorangpun yang berani membongkarnya. Bahkan sampai ketika tempat tersebut disulap menjadi stadion skala nasional pun, Brambang Jahe tetap ada. Dan untuk melindunginya dari tangan-tangan jahil, dibangunlah pagar keliling pada ma...