Mengintip saja di Watu Lawang Kalapacung

Sore itu teramat mendung. Namun lagi-lagi beginilah ketika keinginan mbolang muncul. Gayung bersambut, seorang kawan menawari jalan-jalan ke desa Kalapacung, Bobotsari. “Ada Watu Lawang lho Mbak disana”, katanya. Okay, kita kesana.

Oleh : Anita Wiryo Rahardjo

Sungguh saya tak punya gambaran apapun tentang tempat ini. Beberapa sms masuk hanya mengatakan : lokasinya sulit (hmmm), angker (halaaaahh…), atau bahkan “kamu mau minta nomor ya?”. Iyyyyeeess, yang terakhir ini sebenarnya sudah biasa banget ditanyakan saat saya main-main ke petilasan atau yang serupa. Sudahlah, monggo kerso. Lebih baik segera ganti alas kaki untuk menuju ke watu lawang. Ya, saya disarankan mengenakan sandal jepit setelah hujan mengguyur deras desa Kalapacung. Karena untuk menuju Watu Lawang, kita harus melewati areal perkebunan dan semak rimbun yang naik turun. Mirip perbukitan namun cukup landai. Arahan penduduk setempat memang sepatutnya jadi acuan saat main-main model begini. Bertiga, kami menemui Pak Kasmad terlebih dulu. Ialah juru kunci Makam Watu Lawang.

MAKAM WATU LAWANG

Makam Watu Lawang merupakan sebutan bagi beberapa makam sekaligus. “Wonten pesarean Mbah Semar, Mbah Rantan Sari, Mbah Nreyem, dan Mbah Brawijaya”, kata Pak Kasmad yang juga dikenal sebagai Abang Bakso Rusito. Terlihat mata salah seorang kawan saya membulat. Sepertinya ia tertarik dengan sebutan Makam Brawijaya. “Ngapunten Brawijaya pinten nggeh ?”, tanya ia. Nah !! namun lagi-lagi jawaban tak memuaskan. Karena Pak Kasmad sendiri pun tak memahami alasan penyebutan nama-nama makam itu. Keberadaan makam ini terpisah-pisah. Namun masih dalam satu kompleks pemakaman desa yang sangat luas.

Pertama, kami lebih dulu mengunjungi Makam Mbah Semar. “Niki petilasan sing kulo sering mriki Mbak”, kata kawan yang menjadi guide sore itu. Saya manggut-manggut saja, karena tak ada informasi lebih jauh mengenai tokoh-tokoh ini. “Kulo niki ebeg Mbak, sok dibandan. Dados sedereng wonten tanggepan kulo mesti mriki riyin”, lanjutnya. Oaaaalllaaahh.. Dan alasan itulah yang membuat saya tak mengarahkan kamera ke beberapa makam ini. Dan setelah mengikuti sang ebeger ini, sampailah untuk melanjutkan perjalanan ke Watu Lawang. Batu seukuran pintu ini memang tak jauh dari makam-makam ini.

WATU LAWANG

Tempat ini seperti tak bertuan. Semak yang rimbun cukup menggangu langkah. Padahal beberapa penderes tampak bolak-balik disini. “Kalian naik saja, batunya biasanya ditutupin kain putih kok”, kata salah seorang penderes yang menyadari kami tak kunjung menemukan watu lawang itu. Sisa gerimis memang membuat kami cukup kesulitan mendeteksi keberadaan batu ini. Suasananya terlalu sendu.



Dan setelah cukup susah payah, sampai jugalah kami didepan watu lawang. Tak ada papan petunjuk apapun. Jadi, jika tak bersama warga lokal mustahil mencarinya sendiri. Eh, kain putihnya juga sudah tak terpasang kok. “Itu Mas, Mbak… Watu Lawang-nya. Kalian naik saja, saya pusing”, kata guide kami itu. Hmmmm.. tak butuh waktu lama, kami hanya sekedar memotret batu besar ini. Seperti bersandar pada batang pepohonan besar, batu ini seolah menawarkan perjalanan lain jikalau kita memasukinya. Efek redupnya suasana memang membuat saya terpikir segera menyingkir dari tempat ini. Yang diotak saya kemudian adalah lebih baik dirumah. Nge-teh denganmu saat langit begitu syahdu.

LEGENDA

Watu Lawang ini begitu lekat dengan legenda yang berkait dengan asal-usul nama Kalapacung. “Kalah pacule, kalah pacule, jadilah Kalapacung”, kata Rien Anggraeni, kasi Jarahmuskala Purbalingga dalam kesempatan terpisah. Kalah pacul ? Yap, pacul atau cangkul dikisahkan pernah digunakan untuk mencongkel keberadaan sebuah pintu yang terjatuh. Namun tak membuahkan hasil.

Dalam kisahnya, diceritakan bahwa dua kakak beradik yang sama-sama menjadi Adipati adalah tokohnya. Rien mengisahkan bahwa mereka adalah Adipati Pekuncen dan Adipati Tangkisan. Sementara beberapa warga ada yang mempercayainya sebagai Adipati Onje dan Adipati Limbasari. Meski berbeda, namun kisahnya bisa dibilang sama. Sebagai Adipati, kehidupan keduanya bertolak belakang. Sang adik bergaris tidak kecukupan untuk kehidupan sekelas Adipati. Suatu hari, sang adik hendak mengadakan hajatan. Singkat cerita, dibutuhkan pendopo yang besar untuk menyelenggarakan acara tersebut. Hingga sang adik berencana meminjam pendopo kakaknya. Namun karena keasyikan berbincang, niatan awal meminjam pendopo pun terlupa. Hingga hari H, pendopo pun belum ada ditempat. Akhirnya dengan memohon kekuatan Sang Hyang Agung, pendopo pun berpindah dengan lantaran kesaktian yang dimiliki sang adik. 

Saat sang kakak dalam perjalanan pulang, Adipati Tangkisan bersegera mengembalikan pendopo tersebut ke Pekuncen. Namun karena buru-buru, satu pintu terjatuh. Meski telah diupayakan, pintu itu tetap tertanam hingga kini dan disebut sebagai Watu Lawang.

Sementara itu menurut ahli arkeologi, seperti diungkapakn Rien, watu lawang bukanlah termasuk batuan cagar budaya. Watu lawang merupakan batuan alam yang berbentuk lebar seperti pintu. Kisah legenda yang masih diperdengarkan, menjadikan watu lawang kerap dikunjungi untuk keperluan-keperluan tertentu. Khususnya mereka yang percaya.


BATU BERUNDAK

Belum usai merasakan engap, saya harus kembali merasakan naik puluhan undakan tanah. “Nanggung Mbak, sudah sampai sini. Kita ke batu berundak juga ya”, kata anak muda asal Kalapacung itu. Saya pasrah saja, daripada tak tahu keman arah pulang.

Di dekat pancuran yang masih digunakan warga untuk mandi, kami menemukan batu berundak ini. Tak jauh dari Kali Jambe. Dilindungi oleh pagar bambu, kami kemudian mengerti bahwa batu berundak atau yang dikenal sebagai watu bokor ini begitu dilestarikan oleh warga. “Dulu, jaman akik sedang ramai, kami melindungi batu itu dari orang-oprang yang pengen coba mengambilnya”, kata Pak Kasmad. Lalu apa sebenarnya batu berundak ini

Menurut hasil inventarisasi BPCB Prambanan, watu bokor ini merupakan bentuk bongkahan batu dengan pahatan berupa undakan. Diperkirakan memiliki teras bawah berbentuk segi empat. Namun sepertinya sudah tidak utuh. Teras tengahnya juga berbentuk segi empat. Sedangkan teras atas  berbentuk lingkaran dengan diameter 28 cm dan dipenuhi lumut. Karen abentuknya yang mirip dengan bokor tengkurap, maka batu ini dinamakan watu bokor itu tadi. “Batu ini masih dimungkinkan sebagai cagar budaya. Mengapa dimungkinkan ? Karena pengkajiannya (dari team BPCB Prambanan) belum selesai. Untuk batu ini memiliki panjang 90 cm, tingginya 34 cm, lebar 90 cm dan diameter 28 cm. Dari jenis batu breksi. Warna aslinya hitam keabu-abuan, namun karena tertutup lumut sehingga agak kehijauan. Warga sepertinya juga tidak berani membersihkan lumutnya, karena ada kepercayaan tersendiri”, kata Rien. Ini menurutnya dibuktikan dengan banyaknya dupa pada malam-malam tertentu. Sampai saat ini belum dapat dibuktikan dari masa apa batuan ini. Begitupun fungsinya pada jaman dulu. Namun, apresiasi tetaplah perlu disematkan pada warga setempat yang mencoba melestarikannya. Mengingat tak jauh dari batu ini terdapat mata air.




















Komentar