Langsung ke konten utama

MASJID CHENG HOO PURBALINGGA

Dari arsitektur dan ornamennya saja, sudah dapat ditebak jika rumah ibadah ini diprakarsai oleh para etnis keturunan Tionghoa. Masjid Jami PITI Muhammad Cheng Hoo Purbalingga.

• Oleh : Anita Wiryo Rahardjo •


Bentuk bangunannya mengingatkan kita akan Klenteng. Memang inspirasinya dari sana. Begitu pula dengan dominasi merah, hijau dan kuning di setiap sudut. "Merah-nya melambangkan warna yang identik dengan budaya masyarakat Tionghoa, Begitu pula kuning. Kalau hijau-nya melambangkan warna religi. 'Arsy ", kata Pak Heri Susetyo (Thio Hwa Kong) saat kami bertemu beberapa tahun silam.

Masjid ini sebenarnya sudah mulai dibangun pada Maret 2005, namun sempat terhenti pembangunannya karena terkendala pendanaan setelah berjalan 2,5 tahun. "Alhamdulillah, ada donatur dari Pekalongan", lanjut Pak Heri. Ini terjadi pada sekitar 2010 silam. Pembangunan pun dilanjutkan hingga diresmikan 5 Juli 2011 oleh Bupati Purbalingga saat itu, Drs. Heru Sudjatmoko, M.Si.

• Bentuk Segi 8 •


Gambar diunduh dari Beritagar


Bagi yang sudah pernah mengunjungi Masjid Cheng Hoo di Surabaya, maka dapat menyebutkan bahwa keduanya memiliki kemiripan. "Bedanya, disini bangunannya segi delapan", lanjut Pak Heri. Segi delapan ini diambil dari filosofi bentuk jaring laba-laba dalam gua yang pernah menyelamatkan Kangjeng Nabi Muhammad SAW ketika dikejar-kejar musuh. "Mudah-mudahan keberadaan Masjid ini bisa menjadi penyelamat kita semua juga", harapnya.



Masjid Jami PITI Muhammad Cheng Hoo dibangun diatas tanah seluas 700 m². Dengan luasan 24 × 16 m². Mulanya, masjid pertama PITI di Jawa Tengah ini dibuat untuk kaum Muslim Tionghoa dan Mualaf di Purbalingga. Mengingat jumlah Muslim Tionghoa pada saat itu sudah mencapai lebih dari 130 orang. Sehingga tak mengherankan jika Masjid ini pun kerap dimanfaatkan para Muslim Tionghoa untuk berkumpul dan mensyiarkan dakwah serta pendidikan Islam. Gambar masjid diunduh dari sini

Dengan keunikannya, kini Masjid Cheng Hoo pun kerap menjadi salah satu tujuan wisata religi di Purbalingga. Tak sulit menemukannya. Masjid Ceng Hoo ada di Jalan Raya Purbalingga - Bobotsari KM 8, desa Selaganggeng.




Cat : obrolan kami terjadi sekira 2012 silam. Matur suwun untuk Pak Heri Hwa Kong dan Pak Syaefudin Zuhri.

Komentar

Banyak Dicari

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah...

KASURAN

Otak saya pernah dengan mentah menerima kata “ kasuran ” sebagai  kasur  +  an . Padahal yang dimaksud adalah  ka  +  sura  +  an . Oleh : Anita Wiryo Rahardjo Kasuran merupakan nama jenis rumput yang secara khusus dipakai sebagai bahan utama Wayang Suket khas kecamatan Rembang, Purbalingga. Tepatnya di desa Wlahar. Wayang ini menjadi khas karena hanya seorang saja perajin awalnya. Yaitu Mbah Gepuk . Nama aslinya Kasanwikrama Tunut. Konon  suwargi  melewati masa kanak-kanak sebagai bocah angon yang tentunya akrab dengan alam dan padang rumput nan luas. Menghadapi usia senja, ia banyak menepi dan mulai menganyam helai demi helai rumput kasuran menjadi tokoh – tokoh legendaris dalam kisah pewayangan. Ia aktif membuat wayang suket sejak 1920-an. Meski telah menghadap sang Khalik pada 2002 silam, beberapa karya Almarhum Mbah Gepuk masih kerap dipamerkan. Seperti : Gatotkaca dan Rama Shinta.     Kasuran di Pulau Dewata Kini...