Langsung ke konten utama

NJELIR, HUJAN dan KALIAN siang itu

Hujan bukan alasan menghentikan langkah kami menyusuri setapak tanah di perbukitan setinggi 1000 mdpl ini. Bukit dengan panorama indah yang pertama kali mengenalkan wisata sunrise di Purbalingga. Njelir.

• Oleh : Anita W.R •

Perjalanan di akhir September lalu ini membawa banyak "tugas". Review ini tak hanya milik saya pribadi seperti sebelumnya. Karena dalam perjalanan ini saya bersama rekan-rekan sekantor. Treking ke Njelir kali ini kami diarahkan melalui rute dari Gardu Jaga VOC di Siwarak. Menurut ketua Pokdarwis Lawa Mandiri, mas Tomz Bae, jalur ini lebih save untuk team kami yang didominasi ibu-ibu. Eh ??

Pilihan lainnya adalah berangkat dari Gua Lawa menuju Gardu Pandang dan lalu Puncak Njelir. Namun rute ini konon tanjakannya cukup ekstrem. Satu lagi, jalur baru tengah digagas. Kabarnya cukup memakan waktu 10 menit saja mencapai puncak. Rute khusus nge-trill. "Jadi nantinya pengunjung bisa sewa motor untuk sampai beberapa meter dari puncaknya ini", lanjut Tomo. Hmm, semoga cepat jadi ya rute ketiga ini. Btw, save nggak buat kami yang ibu-ibu ? #pasang-tanduk.



• Makam dan Watu



Hal menakjubkan selama perjalanan adalah saat kami melewati perkebunan milik warga. Jalanan setapak dengan kanan kiri hamparan tanaman kacang, palawija, cabai atau yang khas, tentu saja nanas. "Hampir sampai atas ini ladang milik warga, kecuali puncak. Milik Perhutani", terang mas Tomz yang didampingi mbak Kiki dari Pokdarwis Lawa Mandiri.

Makam Sutaraga menjadi salah satu yang kami lewati di awal perjalanan. Ki Sutaraga adalah panglima Majapahit yang ditugaskan untuk menghadapi persebaran Islam di wilayah Gunung Slamet. Targetnya adalah menangkap dua pemuda yang menyebarkannya. Yaitu : Bangas dan Bangis. Nama ini tertuang dalam asal usul desa Siwarak. Singkat cerita, keduanya keluar dari persembunyiannya di Gua Lawa dan menyamar menjadi Taruno dan Taruni. Mereka menyebut Bangas dan Bangis telah mati diterkam harimau.

Pasukan Ki Sutaraga bersorak-sorai kegirangan. Dan membuat dua bersaudara ini panas hati hingga tanpa pikir panjang menantang Ki Sutaraga. Hal ini membuat Senopati Majapahit ini berkata bahwa perilaku keduanya yang menyerang begitu saja ini serupa perilaku binatang. Dan karena kesaktian Ki Sutaraga, kedua pemuda itu dikisahkan berubah menjadi warak atau badak.

Nah makam Ki Sutaraga berada di bawah pohon rindang, yang sayangnya tidak dapat kami singgahi karena belum dibuat jalur khusus ke arahnya. Baiklah, urung dununge mampir mungkin.

Dan, mari lanjut. Lahan luas, menghijau serta sambut ramah warga yang tengah masyuk di ladang membuat kami lupa sejenak keangkuhan kota. Gemericik sungai-sungai kecil ditingkah suara-suara serangga membuat suasana jadi jauh lebih rileks. Namun tak lama kami mulai dikejutkan dengan tanjakkan berbatu yang seolah tak terputus. Berat bagi yang jarang berolahraga. Meski hanya satu tanjakan saja. "Cuma ini aja kok mbak yang nanjak", kata mas Tomz menyemangati. (Foto disebelah oleh mas Tompel)

Di sisa-sisa energi, mas Tomz menyempatkan mengajak kami mampir ke watu kasur. Eits, jangan berpikir ini tempat peristirahatan yang nyaman usai nanjak ya. Karena untuk mendekat, kaki harus rela borat-baret terkena duri tanaman nanas. Watu kasur ada di tengah kebun warga. Dipercaya berbentuk kasur dan bantalnya. Batu ini berukuran kasur single bed dengan tinggi mencapai sekitar 1 meter. Sudah hancur disana-sini. Namun cukup membuktikan bentuknya sehingga tepat dinamakan demikian. "Dulu watu ini sering jadi tanda bagi penduduk sekitar. Arep lungan ngendi ya ancer-ancere sekang watu kasur disit", katanya. Dan sekarang ini sudah barang tentu tidak berlaku. (Foto : oleh mas Tompel)

Puncak

Tak terasa puncak Njelir sudah didepan mata. Takjub mengganti lelah yang mendera. Dari titik ini kami menyaksikan panorama Bukit Gajah, Mendelem, Purbalingga, hingga garis pantai dari jauh. Mempesonakan mata.



Mbak Kiki dengan cekatan segera menyalakan kompor dan bersiap menyediakan kopi untuk kami. Waaah... kalau sudah begini rasanya menyesal tidak nge-camp. Padahal harga yang ditawarkan untuk ini cukup terjangkau. Rp. 180.000,- / orang untuk nge-camp sejak semalam dengan fasilitas makan, kopi, doom, dokumentasi, porter dan guide. Sementara untuk hiking adalah Rp. 50.000,- / orang dengan fasilitas serupa tanpa menginap. "Minimal 5 orang", kata mas Tomz sembari asyik menjepret kawan-kawan saya.

Sesuara gamelan yang cukup keras terdengar membuat kami bingung diawal. Namun kata mas Tomz inilah uniknya bukit Njelir. "Full musik", kekehnya. Daaaann... setelah ditelusuri suara-suara ini datang dari arah pemukiman penduduk. "Oooooo.... mbarang gawean", koor kawan-kawan. Saya pun makin ikut membulatkan mulut. "Ooooo... lagi nanggep ebeg"

Ditemukan Tidak Sengaja

Boomingnya bukit Njelir bermula dari akhir November 2014 silam. 6 anak muda setempat iseng mendaki Njelir pada malam hari. Pemandangan indah dan bonus sunrise itu kemudian mereka unggah dan mendapat respon positif.

Tanpa berlama-lama, paket wisata sunrise Njelir pun dihembuskan. Mereka yang dari luar daerah pun berdatangan. Dan Njelir praktis menjadi paket wisata sunrise pertama di Purbalingga. Tren kunjungan terus naik. Namun 2015 bisa disebut sebagai puncaknya.

Selain Njelir, Siwarak menawarkan pula alur Sipetung dan Bukit Kelir. Secara tantangan maka Njelir ada di tengah. Alur Sipetung lebih cocok dan aman bagi anak-anak. Sementara Kelir masuk kategori cukup ekstrim.

Nah, usai berbincang panjang di puncak, mega sepertinya sudah tidak sanggup menahan kecemburuannya. Sangat deras. Dan membuat kami memutuskan berbalik arah tanpa menyentuh suasana gardu pandang. "Nantinya disana akan jadi sentra penjualan sayuran dan hasil bumi Siwarak juga. Jadi pulang lihat sunrise bisa bawa oleh-oleh", kata mas Tomz. Hmmmm, mungkin kesempatan lain akan membawa saya ataupun kami kesana.

…perjalanan belum usai, kami masih mampir ke satu lokasi lagi. Dan saya diam-diam juga menengok satu titik tambahan…

Further info silakan menghubungi mas Tompel 5FA1ABCB

Komentar

Banyak Dicari

PUTRI AYU LIMBASARI, SYECH GANDIWASI DAN PATRAWISA

Selalu saja ada yang menarik ketika berkunjung ke Limbasari. Desa ini terletak sekira 15 km dari pusat kota Purbalingga. Terletak di Kecamatan Bobotsari, Limbasari menyimpan banyak kekayaan. Mulai dari potensi temuan peninggalan neolitikum, wisata alam Patrawisa sampai legenda Putri Ayu Limbasari. Nah, untuk melepas lelah sepertinya berwisata akhir pekan ke Patrawisa bisa menjadi pilihan. Terletak di lembah Gunung Tukung dan Gunung Pelana, menjadikan pesona kecantikan alam Patrawisa mampu memikat seseorang untuk datang lagi dan lagi.  Untuk menuju bendungan Patrawisa hanya dibutuhkan waktu sekira 30 menit berjalan kaki sejauh 1,7 km. Ya, Patrawisa adalah bendungan atau dam yang membendung pertempuran Sungai Tuntung Gunung dan Sungai Wlingi. Tidak hanya itu, air terjun mini serta sendang-sendang jernih semakin menyegarkan sesampainya di lokasi. Lalu siapakah Patrawisa sehingga namanya diabadikan untuk tempat indah ini? Patrawisa adalah nama salah seorang cantrik Syech Gandiwas...

NYUWUN AGUNGING PANGAKSAMI

Satu hal yang saya tunggu-tunggu dari Lebaran adalah “SUNGKEMAN”. Yes, selain plong karena (pada akhirnya) mampu juga mengungkapkan segala perasaan bersalah pada orangtua, rasa dag-dig-dug belibet salah ngomong pun pasti menghampiri. Di keluarga inti, usai melaksanakan Sholat Ied, maka sungkeman perlu dilaksanakan sebelum sarapan menu Lebaran & bersilaturahmi ke tetangga. Yang seru adalah kami harus menggunakan bahasa Jawa krama. Yeah. Jadilah sejak semalam sebelumnya kami kerap menghapal terlebih dahulu naskah sungkeman dari masa ke masa. Hahaha. Seperti ini : “Bapak / Ibu’/ Embah, kulo ngaturaken sembah sungkem, sedoyo lepat nyuwun agunging pangapunten”. Hihihi, meski sudah merupakan mantra menahun, namun bagi sebagian keluarga yang (mayoritas) tinggal di luar JaTeng hal ini sangatlah merepotkan. So, mereka akan sungkeman dengan berkata “$#^&**&*&^%^^%^$#....pangapunten”. Wuiih,.. apa ya afdol ? Hehe. Makanya, sangat tidak mengherankan jika setiap Lebaran selain sun...