Langsung ke konten utama

Indra Theater, dari tobong ke bioskop

Saya belum sanggup membayangkan seperti apa suasana gedung pemutaran film di Bobotsari, Purbalingga pada sekitar 5 dasawarsa lalu. Entah mengapa gambaran unik yang saya tangkap adalah lalu lalang penjual kacang bawang yang berkeliling menawarkan dagangannya sebagai peneman nonton film.

• oleh : Anita Wiryo Rahardjo •

Indra Theater menjadi salah satu dari tiga gedung pemutaran film yang dimiliki Purbalingga. Jika Rayuan dan Braling Theater berada di pusat kota dan cukup megah pada masanya, maka Indra Theater berlokasi di Bobotsari. "Orang Limbasari sampai Lambur ya lebih milih nonton disini", kenang Ny. Naenah dan suaminya ketika kami berbincang beberapa bulan silam.

Ditemani seorang kawan, saya sempatkan menengok bangunan gedung yang masih tersisa. Ternyata tak jauh dari kompleks pasar atau kantor pos Bobotsari. Bangunan bercat putih tampak rusak disana-sini. Belum keseluruhan permanen. Bagian atas masih menggunakan gedheg (bilik bambu beranyam) dan papan serta ventilasi berupa anyaman kawat. Sayang, karena sudah terlihat rapuh kamipun tak dapat memaksa untuk sekedar memperoleh ijin masuk (dan melihat sejenak).

Bermula dari tobong

Dikisahkan Ny. Naenah, jika Indra Theater merupakan usaha milik sang ayah, S. Hari. "Saya sering guyonan sama istri dan saudara-saudara ipar kalau mereka ini semuanya ahli hukum. Karena nama belakang mereka diembel-embeli S.H. alias S.Hari", kekeh suami Ny Naenah yang saya kenal sebagai Bapaknya Mas Dian ini tanpa menjelaskan siapa nama lengkap ayah mertuanya ini. Namun yang pasti  S. Hari inilah yang membangun tobong ketoprak di Bobotsari. Seperti kita ketahui bersama, ragam kisah panji ataupun babad memang menjadi tontonan merakyat pada sekitar tahun 50 - 60'an. Tren-lah yang kemudian turut mengantarkan tobong ini alih fungsi menjadi bioskop.

Keberadaan tobong ini pun pernah diceritakan oleh Pak Kasmad, seorang warga Kalapacung (juga juru kunci makam Watu Lawang). "Sengiyen malah ceritane nggih babad mriki-an mawon koh sing dipentasaken. Kula ngertos critane Onje nggih saking tobong sing terus dados Indra nika¹", kenangnya saat bertemu hampir setahun silam.

Lalu sejak kapan bioskop resmi berdiri ? Keduanya tak dapat mengingat secara pasti. "Yang jelas Bapak sedo sempat menangi bioskopnya sudah berdiri. Mungkin tahun 59'an sedonya", ujar Naenah.

Indra di tahun 60'an

Cukup sulit untuk saya menangkap rentetan kisah masa lampau yang sepertinya banyak terlupa oleh Naenah dan suaminya ini. Tak adanya bukti foto di masa lalu yang tertinggal membuat saya makin tak dapat meraba seperti apa suasana pada waktu itu. Tapi sudahlah, kadang kenangan memang suka mbimpet entah dimana.

Sembari menyeruput teh panas yang dihidangkan, tetiba seseorang dari dalam sana berkata, "Kayane tahun 60, bioskope kuwe esih nganggo welit²".

Kedua pemilik rumah ini terlihat menepuk kening. Ia yang berkata adalah salah seorang tetangga yang tengah menggiling tepung yang sepertinya mampu membangkitkan sedikit demi sedikit memori mereka. Bangunan Indra Theater memang terbilang sederhana. Bahkan hingga masa berakhirnya. Uniknya lagi, Indra menjadi satu-satunya bioskop di Purbalingga yang memiliki jarak kelir ke bangku terpanjang. "Jadi yang belakang sendiri kalau malam sudah nggak jelas nontonnya", tambah suami Naenah.

Namun semua itu tak menyurutkan warga yang tengah keranjingan hiburan. Film India disebut-sebut menjadi favorit banyak orang. "Murah, mainnya lama", kata Naenah.

Tak hanya itu, Indra Theater di masa-masa awal berdiri pun mesti mengalami sulitnya menjadi bioskop yang belum dialiri listrik. "Di wilayah sini tahun 70'an belum listrik. Untuk muter film pakai diesel. Jadi untuk pemutaran terakhir begitu film selesai semua gelap", tambah Naenah.

Kerjasama dengan bioskop Rayuan

Urusan pemutaran film, Indra Theater membangun koneksi dengan bioskop lain. "Kerjasamanya sama (bioskop) Garuda (Purwokerto). Nah Garuda ini kan juga ngedrop film ke Rayuan. Jadi pertama tayang di Garuda, terus dianter ke Rayuan baru terakhir main di Indra", kenang mereka.

Pemutaran salah satu judul film baru di Indra Theater biasanya akan dimulai pada pukul 16.00. Ini dilakukan beberapa jam setelah pemutaran di Rayuan kelar. Film yang masih dalam bentuk roll diantar dengan sepeda motor. Waaahhh... sepertinya Janji Joni banget.

Indra Theater memiliki 3 jam putar. Yaitu : 16.00, 19.00 dan 21.00. Semua jam sama ramainya. Terlebih jika film India ataupun Rhoma Irama. Mereka tak peduli jika Indra Theater ini hanya menyediakan fasilitas bangku panjang, jarak kelir ke bangku belakang yang terlalu panjang hingga lalu lalang pedagang makanan. "Ya kan penjual kacang bawang juga pengen nonton. Bayar tiket kok mereka, masak dilarang masuk. Masalah didalem sambil jualan ya mau gemana lagi", kata mereka sembari terkekeh. Kacang bawang, Jenang Jae dan Orak-arik³ menjadi icon "bonus menu" nonton di Indra Theater. Hmmmm.... jagung berondong tidak tersedia ya ?

Sempat ambruk

Satu kejadian tak mengenakkan pernah dialami bioskop ini. Hujan angin pada suatu malam membuat bangunan roboh. Mereka memperkirakan ini terjadi pada kisaran 80'an. Namun karena masih ramai maka bioskop kembali beroperasi. Barulah saat televisi merajai rumah-rumah warga, usaha gedung pemutaran film tersendat dan pelan-pelan tutup. Tahun berapa pastinya, sayang tak mereka ingat.

Ah, rasanya seperti masih ada potongan film yang belum ditemukan dari obrolan hari itu. Namun lampu ruangan sudah kembali menyala.

Keterangan :

( ¹ : Dulu kisah babad lokal terbilang tidak jarang ditampilkan. Saya mengenal kisah babad Onje juga melalui pementasan di tobong yang kemudian menjadi bioskop Indra)

(² : Sepertinya di tahun 60'an keadaan bioskop masih beratapkan daun tebu)

(³ : kerupuk mie remuk yang diberi baluran bumbu besta manis pedas)

*ditulis 28 April 2017. Matur suwun untuk mas Dhian Bonar Sirait dan keluarga


Komentar

Postingan populer dari blog ini

BATIK PURBALINGGA DIMULAI DARI ERA NAJENDRA

Sore yang terbalut hujan. Seketika nama udan liris mampir di pikiran. Eh, lalu bagaimana dengan truntum, kawung, lumbon, sekar jagad atau bahkan cebong kumpul ? Semarga kan ? (Oleh : Anita W.R.) Pertanyaan itu kian menggelitik setelah pertemuan pertama saya dengan seseorang ini terjadi pada Desember 2013. Satu kalimat yang saya ingat darinya adalah " Batik Purbalingga itu sudah punya khas sejak awal ". Antara takjub, bingung dan tidak mudheng , rangkaian penasaran itu saya endapkan hingga menuju 2 tahun. Ya, bicara Batik, banyak informasi, artikel sampai literatur yang membahasnya. Namun batik Purbalingga, hanya sekelumit yang saya ketahui. Padahal saya ada di kota ini sejak lahir dan tinggal dikelilingi beberapa pembatik sepuh. Memori saya pada bagian ini sepertinya tidak terlalu baik, sampai-sampai sulit membacanya. Tapi kalau boleh, ijinkan saya menyebut nama mereka satu per satu. Eyang Din, Mbah Sastro, dan Mbaeh Nana adalah nama-nama pembatik sepuh yang...

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah...

Brambang Jae dan Larangan Pementasan Wayang Kulit

Nama petilasan ini adalah Brambang Jahe. Nama yang unik ya? Cukup menggelitik tanya di benak, apakah di petilasan ini terdapat pohon bawang merah dan pohon jahe. Yang tentu saja jawabannya adalah tidak. Petilasan brambang Jahe ini sudah masuk dalam daftar inventaris Benda Cagar Budaya (BCB) kategori bangunan makam. Meski nilai sejarahnya masih dipertanyakan, namun kecenderungan masyarakat menyakralkan tempat ini dan juga folklore yang terus hidup menjadikan Brambang Jahe sebagai salah satu petilasan yang diistimewakan. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai kuburan Brambang Jahe. Brambang Jahe terletak di Kelurahan Purbalingga Kidul, tepatnya di utara Stadion Guntur Darjono Purbalingga. Dahulu, makam ini terdapat di tengah persawahan. Tidak ada seorangpun yang berani membongkarnya. Bahkan sampai ketika tempat tersebut disulap menjadi stadion skala nasional pun, Brambang Jahe tetap ada. Dan untuk melindunginya dari tangan-tangan jahil, dibangunlah pagar keliling pada ma...