Langsung ke konten utama

Belajar pada Alam di Rintisan Agrowisata Giri Badhra

November ini harusnya saya sudah di Giri Badhra lagi. Menengok pepaya California yang mulai matang. Pepaya hasil penanaman dengan teknik toping yang membuat Romo disebut sinting. Ach !!

• Oleh : Anita Wiryo Rahardjo •

Lokastithi Giri Badhra bukanlah tempat baru bagi saya. Empat tahunan yang lalu, untuk sebuah proses "liputan" sejarah, saya berjam-jam di tempat ini. Memunguti rentetan informasi yang disampaikan Romo Hariyadi dengan sabar.

Kali ini kedatangan saya ke museum yang berlokasi di dusun Pangubonan, desa Cipaku berbeda. Bukan lagi sekedar belajar ilmu leluhur, namun belajar bagaimana Romo dan Pak Suroso menerapkannya dalam aktivitas bertani.

Lik Roso, begitu Suroso biasa dipanggil, memang bertanggung jawab penuh pada lahan pertanian di Giri Bahdra ini. Terhitung April 2016, lahan yang berada di belakang Situs Watu Tulis Cipaku ini ditanami bibit pepaya California. Dengan sistem toping. "Ini sistem yang bikin Romo disebut wong edan sama orang-orang sekitar", kata Lik Roso terkekeh. Romo yang menemani saya dan seorang kawan journalist pagi itu pun ikut tertawa mengingat masa-masa awal sistem ini diterapkan. Hmmm,… seperti apa sih sistem toping ini ?

• Sistem Toping •

Saya ini anak IPA dan pernah dapat kemudahan masuk jurusan ilmu pasti tapi mbalelo, jadi mohon maaf jika banyak ejaan atau kata dalam dunia pertanian yang salah.

Untuk mengawali sistem toping di Giri Badhra ini, Lik Roso menyiapkan 900 bibit. Dua bibit ditanam bersebelahan dengan jarak ± 50 cm. Setelah dua bulan, satu bibit dibuang dan satu bibit dipangkas. Lho kok ?!?!?! "Bibit yang dipertahankan adalah pepaya California yang lonjong. Yang lebih banyak peminat dan kuat terhadap hama", terang Lik Roso. Terus kenapa ndadak dipangkas segala sih ? Eits, tenang dong. Belajar dengan tenang adalah kuncinya di tempat ini. Biar bisa nalar.

Pemangkasan pada bibit pepaya California yang dipertahankan, dimaksudkan untuk menguatkan batang dan akarnya. Dengan dipangkas juga akan memunculkan beberapa batang. Inipun masih harus dipilih salah satu. "Cari yang bentuk batangnya seperti pancing. Jangan yang lurus kayak kamu, nanti pohonnya tinggi tok tapi buahnya langka", kata Lik Roso. Waduh !! Tapi iya juga sih. Saya melihat ada percontohan pepaya dengan pilihan batang lurus. Jarak ruas daunnya ternyata cukup lebar. Dan ini berpengaruh pada buah yang dihasilkan. Makin kerep ruasnya, makin nretep buahnya. Dan batang dengan lengkung semacam pancing di pangkalnya lebih menghasilkan jarak pendek antar ruasnya.

• Pupuk Organik •

Proses toping tak berhenti disitu. Setiap harinya Lik Roso dengan telaten menengok tanaman-tanaman ini. "Wiwilane dibuangi", katanya seraya membuang tunas daun yang tumbuh disela-sela tangkai. Keberadaan tunas ini ada kalanya menganggu tumbuhnya bunga. "Biasanya setelah wiwilan dibuang, nanti akan berbunga", lanjutnya.

Tak hanya itu, Romo Hariyadi dan Lik Roso pun dengan telaten mengolah sendiri pupuk organik demi kelangsungan pepaya-pepaya ini. "Lha wong buat kita makan sendiri kok, ya harus kita perhatikan juga kealamiannya", kata Romo. Tuuuuh kan yang alami lebih menyehatkan.

Pupuk kandang, pupuk kompos, Fermentasi dan banyak macam yang saya nggak mudeng, diterapkan di lahan ini. Bukan hanya setelah ditanam saja. Namun sejak lahan ini dipersiapkan. Iya, jadi sebelum bibit ditanam, Romo telah lebih dulu menyiangi rumput dan memendamnya di beberapa lubang. "Lubangnya sekitar kedalaman dua meter. Nanti kan beberapa bulan dia sudah menjadi unsur hara yang diperlukan dan menyuburkan tanaman", kata Lik Roso. Sekarang pun rumput-rumput terus disiangi dan dimasukkan ke lubang-lubang tersebut untuk terus berproses secara alami menjadi kompos. Waaahh... benar-benar harus titen, telaten dan open kalau begini.

• Titen, Telaten, Open •

Kalimat ini saya comot dari obrolan Romo, Lik Roso dan Gus Wiam, seorang keturunan Kyai Kholil Bangkalan yang tengah ngangsu kawruh seputar teknik toping di Giri Badhra. Hari itu saya memang bertemu rombongan dari Jawa Timur. Muhammad Wiam (ngapunten Gus, kalau salah ngetik nama) dan teamnya sebenarnya telah mengolah lahan pepaya California di Jember dan Madura. "Namun ada yang perlu dibenahi. Nggak selamanya yang sudah kami lakukan kurang. Kadang ada yang kelebihan. Sehingga hasilnya malah kurang maksimal", katanya.

Di Giri Badhra, siapapun bisa belajar teknik toping ini. Bukan sekedar teori namun praktek langsung di lapangan. Sayangnya, saya masih melewatkan kesempatan ini. Tangan saya masih dipenuhi alat perekam dan kamera. Mungkin saya perlu mengakrabkan diri kembali dengan tanah, supaya membumi. Halaaaahh, ngomong oppppoooo. #tapimikir.

Meski belum dibuka secara resmi, lahan pertanian Giri Badhra memang telah menjadi rujukan belajar mereka yang mengetahui keberadaan tempat ini. Bahkan warga sekitar yang semula menganggap ini teknik sesat, kemudian malah berbalik mencontohnya. "Tapi ada juga sih yang nekat noping tanpa bertanya. Malah jadinya ya mati semua. Padahal kami siap kalau ada yang mau belajar teknik ini. Silakan saja ke Giri Badhra", kata Lik Roso.

Dari kasus diatas, kita memang tak ada salahnya bertanya. Karena teknik ini bukan sekedar copy paste. Namun harus diaplikasikan dengan tepat. Butuh ketelitian (titen) untuk mengenali sudahkan lahan kita tepat untuk ditanami pepaya California ini, jika belum apa unsur alam yang perlu ditambahkan, dan sebagainya. Termasuk perlu juga ketelitian untuk menentukan mana pepaya California lonjong dan mana yang bulat dilihat dari bunganya.


Haiyo tebak mana bunga lonjong dan mana bunga bulat ?

Lain itu butuh ketelatenan (telaten). Karena tanaman pun berproses tumbuh kembang setiap hari. Perlu ditengok setiap hari. Diopeni (diperhatikan dan dirawat) saben dina. "Dengan kita berperilaku baik pada mereka (tanaman), hasilnya pun akan baik", kata Lik Roso. Hehe, nggak tau kenapa pas dengar ini saya malah keingetan apa yang ditanamkan Mbah Atung saat saya kecil. "Kalau kamu berbuat baik ke orang, orang akan berbuat baik ke kamu. Sebaliknya kalau kamu rasa ada orang njahatin kamu, ya pasti karena kamu njahatin duluan". Hmmmm.... Mungkin sebenarnya kalimat Mbah Atung ini berlaku untuk semua makhluk. Sayanya saja yang telat nangkep.

Agrowisata


Belajar tentang penanaman sistem toping untuk pepaya California di Giri Badhra ini tentunya bukan hanya untuk kalangan petani pepaya. Sepertinya seru ya jika anak-anak juga ikut mengenal seperti apa serunya bertani dengan konsep alami. "Negara kita kan katanya negara agraris. Tapi petaninya mana ? Lahan pertaniannya mana juga ?", kata Gus Wiam.

Inipun diamini Lik Roso. Pria asal Purwokerto ini berharap nantinya generasi muda pun memiliki ketertarikan dengan dunia pertanian. "Biar tertanam ke anak-anak. Cita-citanya jadi petani. Petani berdasi", ucapnya semangat. Dan untuk itulah bersama dengan Romo Hariyadi selaku pengelola Museum Lokastithi Giri Badhra, ia berharap bisa mewujudkan agrowisata Giri Badhra. "Jadi para siswa bisa belajar sejarah dulu ke museum bareng Romo, terus lanjut ke halaman belakang belajar tentang pepaya California organik. Bisa petik langsung pula", harap Lik Roso.

Wah idenya kece. Semoga ini segera terwujud. Apalagi tenaga penyuluh pertanian juga telah dipersiapkan untuk nantinya menjawab pertanyaan siswa tingkat lanjutan. Kalau saya sih selaku bocah dolan berharap setelah sesi petik langsung bisa ngelutis atau ngerujak langsung ditempat. Apalagi disitu juga tersedia tanaman cabai organik. Tinggal sedia ulekan saja. Seru kan ngelutis ditengah hamparan tanaman pepaya California. Sembari menyaksikan dua anjing Kintamani peliharaan Romo berkejaran.


Info lengkap monggo silakan dapat menghubungi Lik Roso di 082226695534.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BATIK PURBALINGGA DIMULAI DARI ERA NAJENDRA

Sore yang terbalut hujan. Seketika nama udan liris mampir di pikiran. Eh, lalu bagaimana dengan truntum, kawung, lumbon, sekar jagad atau bahkan cebong kumpul ? Semarga kan ? (Oleh : Anita W.R.) Pertanyaan itu kian menggelitik setelah pertemuan pertama saya dengan seseorang ini terjadi pada Desember 2013. Satu kalimat yang saya ingat darinya adalah " Batik Purbalingga itu sudah punya khas sejak awal ". Antara takjub, bingung dan tidak mudheng , rangkaian penasaran itu saya endapkan hingga menuju 2 tahun. Ya, bicara Batik, banyak informasi, artikel sampai literatur yang membahasnya. Namun batik Purbalingga, hanya sekelumit yang saya ketahui. Padahal saya ada di kota ini sejak lahir dan tinggal dikelilingi beberapa pembatik sepuh. Memori saya pada bagian ini sepertinya tidak terlalu baik, sampai-sampai sulit membacanya. Tapi kalau boleh, ijinkan saya menyebut nama mereka satu per satu. Eyang Din, Mbah Sastro, dan Mbaeh Nana adalah nama-nama pembatik sepuh yang...

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah...

Brambang Jae dan Larangan Pementasan Wayang Kulit

Nama petilasan ini adalah Brambang Jahe. Nama yang unik ya? Cukup menggelitik tanya di benak, apakah di petilasan ini terdapat pohon bawang merah dan pohon jahe. Yang tentu saja jawabannya adalah tidak. Petilasan brambang Jahe ini sudah masuk dalam daftar inventaris Benda Cagar Budaya (BCB) kategori bangunan makam. Meski nilai sejarahnya masih dipertanyakan, namun kecenderungan masyarakat menyakralkan tempat ini dan juga folklore yang terus hidup menjadikan Brambang Jahe sebagai salah satu petilasan yang diistimewakan. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai kuburan Brambang Jahe. Brambang Jahe terletak di Kelurahan Purbalingga Kidul, tepatnya di utara Stadion Guntur Darjono Purbalingga. Dahulu, makam ini terdapat di tengah persawahan. Tidak ada seorangpun yang berani membongkarnya. Bahkan sampai ketika tempat tersebut disulap menjadi stadion skala nasional pun, Brambang Jahe tetap ada. Dan untuk melindunginya dari tangan-tangan jahil, dibangunlah pagar keliling pada ma...