Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label daun

Namanya SUMPIL

Ada banyak varian untuk menikmati menu ini. Namun saya lebih suka tanpa campuran apapun. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Aroma daun bambu yang telah dikukus menawarkan sensasi berbeda. Meskipun tawar, ada rasa nyes saat ia lewat tenggorokan. Pikiran pun ikut adem, karena serasa tengah makan di papringan. Si penjaja makanan dengan lantang meneriakkan " Lontong godong pring " sepagian itu. Geli juga. Dialih bahasakan bisa sepanjang itu yah ? Padahal saya mengenalnya sebagai Sumpil. Di Purbalingga, tidak banyak penjual Sumpil. Namun masih ada beberapa pembuat Sumpil di seputaran Bobotsari. • Temennya Bacang • Beberapa orang tua mengatakan jika Sumpil ini versi tawarnya Bacang. Tahu kan penganan serupa arem-arem isi daging yang dibungkus daun pisang berbentuk limas segitiga ? Itu lho jajan khas untuk bulan kelima penanggalan Cina. Nah, bedanya Sumpil memang tanpa isi dan tanpa rasa. Sumpil pun lazimnya berbentuk limas segitiga. Tak jarang juga sih ya...

Wanginya Masih Terasa

Perempuan sepuh itu menggebu saat berbincang akan batik. Ditemani sesayup tembang-tembang Jawa dan penganan tradisional, saya diajak berkenalan dengan Lungambring. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Yuswanya 75 tahun. Tak tersirat dari kulit mukanya yang masih kencang. Sesaat saya meraba pipi sendiri. "Agak sedikit turun, hufffff", batin saya. (Untung kamu nggak komplein soal ini). Ya, Mbah Kapti, begitu ia akrab disapa, acap merawat kulit ditengah aktivitas membatiknya sejak tahun 50'an silam. Ia tumbuh di keluarga priyayi. Ayahnya seorang guru. Eyangnya bahkan menjabat Penatus Penisihan (Bobotsari) pada era pendudukan Belanda. Sementara itu, sang Ibu mengisi hari-hari dengan membatik. Hal itulah yang membuatnya akrab dengan batik sejak kanak-kanak. Di saat saya menikmati sepiring makan siang, Mbah Kapti hilang dari pandangan. Ternyata ia dengan sigap menguliti batang-batang pohung untuk menjadi kayu bakar. "Buat persiapan mbathik", katanya. Ia me...

KENANGAN AKAN KINANG

Banyak yang sedang saya rindukan belakangan ini.Salah satunya aroma khas itu.Mungkin mirip feromon ya karena efeknya jadi ngangenin.Sepet kecut pedes yang mendamaikan. (Oleh : Anita W.R) Sembari mengisahkan legenda Batu Menangis asal tanah kelahirannya, perempuan sepuh itu tak berhenti mengunyah. Sesekali, sekelompok anak kecil yang mengelilinginya mendapat bonus ditempel apa yang dikunyahnya. Mereka tergelak riang, dan tak jarang nimbrung aja minta ikut mengunyah kinangannya. Kinang (foto diunduh dari sini ) jadi pelengkap suasana kebersamaan yang terbangun ditengah-tengah keluarga besar kami.Saya bahkan sudah mencobanya diusia SD. Eyang Buyut Putri saya adalah salah seorang yang nginang.Kebiasaan itu konon sudah dilakoninya saat masih tinggal di tanah seberang.Dipercaya bisa mengharumkan badan dan menguatkan gigi, kinang menjadi salah satu ramuan ampuh favoritnya. Ah, Uyut peduli penampilan juga ternyata. Sayangnya, pada kemudian hari mereka yang ndatuk nginang malah me...

BUNTIL NYLEKAMIN MBOK MAKSUDI

ABG action dan fotonya beredar di Sosmed itu biasa,... tapi foto Mbah Penjual Buntil beredar di mahakarya Marc Zuckerberg ? Hmmm, ini neh yang bikin saya dan teman-teman mencari tau siapa gerangan dirinya. Rasa penasaran ini membawa saya menyusuri jalan-jalan perkampungan yang dinamai Kampung Baru di selatan Gelora Guntur Daryono Purbalingga. Kehebohan ini bermula dari akun sosmed mereka yang bergelut membesarkan "UMKM Perwira". Pertanyaan "Siapakah beliau ?" dalam foto seorang Perempuan Sepuh nyampingan membawa tenggok berisi Buntil dan tengah berjualan di trotoar memancing deretan komentar. Sampai akhirnya terdeteksi juga bahwa Sang Mbah Buntil ini adalah satu-satunya produsen dan penjual Buntil di wilayah Purbalingga Kidul. Dan kini produk olahannya dikenal dengan sebutan BUNTIL MAKSUDI. foto diambil dari facebook milik Adi Purwanto SEJAK TAHUN '65 Siang nan terik membawa saya ngadem di kediaman Mbah Maksudi. Nama aslinya adalah Sukesi a ...

Gugurnya Kembang Waru Saat Senja

#NP : Ihsan Tarore ft Dira Sugandhi – Bawalah Aku Kembali ........ tiada tempat yang paling indah selain rumah,  tiada masa yang lebih indah selain bersama mereka yang tercinta.............. Tanpa sadar alunan salah satu soundtrack film ini menggiring saya untuk segera meluncur ke sebuah dusun tempat saya melewatkan separuh masa kecil. Beberapa kenangan pun berkelebatan. Mulai dari menangkap buah-buahan yang dilemparkan sepupu-sepupu saya yang memanjat pohon, berlarian di sepanjang pematang sawah, bermain di sungai, mengeriting rambut dengan tangkai daun waru sampai tebak-tebakan warna kembang waru.   Ya, kembang waru ini memang jadi favorit saya dan sepupu ketika ngumpul. Tangkai kembang bernama latin Hibiscus tiliaceus L . ini akan menempel semalaman di kepala dan baru akan dilepas keesokan paginya. Taaaarrrrrraaa, rambut kecoklatan kami pun akan menjadi lebih berombak dibanding biasanya. * Kemayu . Atau di satu waktu kami pun akan diam-diam berlarian k...