Langsung ke konten utama

Brambang Jae dan Larangan Pementasan Wayang Kulit

Brambang Jahe. Nama yang unik yach. Lalu apa yang ada di benak kalian ? Perpaduan bawang merah (brambang) dan jahe ? Tentu saja bukan. Karena nama ini merujuk pada Petilasan Brambang Jahe di Kelurahan Purbalingga Kidul, Purbalingga.

Petilasan

Petilasan adalah tempat yang pernah disinggahi. Umumnya berkaitan dengan peristiwa atau tokoh tertentu. Petilasan Brambang Jahe ini termasuk salah satu objek dalam pelindungan instansi yang menaungi urusan kebudayaan. Memang perihal sejarahnya masih dipertanyakan, namun masyarakat setempat masih menyuburkan cerita rakyat yang ada. Keberadaan petilasan ini yang diyakini menjadi alasan tabu atau larangan pementasan wayang kulit di Purbalingga Kidul.


Jika dilihat dari bentuknya, petilasan ini mirip dengan makam atau pekuburan. Lokasinya tepat di utara Stadion Guntur Darjono Purbalingga. Awalnya, berada di tengah-tengah persawahan. Ketika tempat tersebut disulap menjadi stadion skala nasional pun, Brambang Jahe tetap ada. Dan untuk melindunginya dari tangan-tangan jahil, dibangunlah pagar keliling pada masa pemerintahan Bupati Triyono Budi Sasongko lalu.

Lalu ada cerita apa sebenarnya di balik petilasan ini ?


Cerita Rakyat

Brambang Jahe kerap dikaitkan pada sebuah cerita rakyat yang dipopulerkan dari masa ke masa secara lisan. Brambang Jahe ini lekat dengan kisah seorang Dalang asal Dukuh Timbang Desa Penambongan. Tidak diketahui siapa nama Dalang itu, hanya disebutkan sebagai seniman wayang ternama pada masanya.

Dikisahkan pada suatu waktu, Ki Dalang terpaksa menolak undangan tanggapan dari Kadipaten karena sudah terlanjur menerima tawaran pentas di Dukuh Blewuk, Desa Bojong. Meski yang mengundang memiliki derajat dibawah Adipati, namun Ki Dalang memilih bersikeras ndhalang di Blewuk. Baginya menepati janji adalah hal terpenting. Meskipun utusan kadipaten menyatakan kekecewaannya, namun Ki Dalang geming dan kokoh pada keputusannya.

Pada saat pagelaran di Blewuk tepatnya saat adegan “goro-goro”, Ki Dalang tiba-tiba mengalami sakit perut yang tidak tertahankan. Dan mau tidak mau, ia pun harus mengakhirkan pertunjukkannya tanpa menyelesaikan cerita. Tak kunjung sembuh, Ki Dalang memutuskan pulang bersama istrinya. Karena kondisi malam yang gelap gulita, mereka pun tersesat sampai di Dukuh Kalijebug kemudian Desa Mewek kemudian Desa Karang Manyar lalu Purbalingga Kidul hingga akhirnya sampai juga di Timbang.

Pada saat sampai di Purbalingga Kidul itulah sakit Ki Dalang semakin menjadi ditambah lagi dengan hujan angin yang tiba-tiba saja menerjang. Seketika mereka pun memutuskan menepi. Istri Ki Dalang kemudian membuat ramuan dari bawang merah serta jahe yang memang dibawanya dari rumah. Setelah diberi brambang dan jahe, sakit Ki Dalang sedikit mereda dan tempat mereka menepi ini diberi nama “Brambang Jahe”.

Cerita belum berakhir sampai di sini. Karena sesampainya di rumah, sakit Ki Dalang semakin parah. Dan dengan mengumpulkan seluruh keluarga serta warga sekitar, Ki Dalang menyampaikan pesan agar seluruh warga yang tinggal di jalur yang dilaluinya saat pulang yaitu Dukuh Kalijebug - Desa Mewek - Desa Karang Manyar - Purbalingga Kidul serta Timbang dilarang menanggap pementasan wayang kulit. Jika melanggar maka akan terjadi malapetaka di desa tersebut. Setelah menyampaikan pesan tersebut, Ki Dalang pun meninggal dunia.

Sampai kini, wewaler ini masih berlaku khususnya di Dukuh Karangtengah & Timbang, Desa Purbalingga Kidul. Sehingga seandainya pun ada yang berniat menggelar pementasan wayang, maka Dalang Jemblung lah yang ditunjuk. Dalang jemblung itu dalam pementasannya sangat mininalis, tanpa menggunakan gamelan. Iringan musiknya diganti iringan pemainnya yang melagukan instrumen gamelan. Iya, seperti acapela


Tak Sewingit Dulu

Sebagai tempat yang dikenal masih memiliki tuah, petilasan ini kerap disebut “wingit”. Bahkan beberapa sisa pembakaran dupa atau sesaji masih sesekali kita temukan di makam ini. 

Namun belakangan sejak lokasi terlihat lebih terang dan longgar maka secara otomatis orang-orang pun tak lagi menyakralkan tempat ini. Bahkan, kini areal sekitar Brambang Jahe pun kerap jadi area kongkow anak muda.

Hanya saja masih sering terpikir perlunya ada tumbuhan bawang merah dan jahe di dekatnya. Mungkin akan ada manfaat tambahan.


(Ditulis berdasar cerita Rien Anggraeni Kasi Jarahmuskala Dinbudparpora Kabupaten Purbalingga)



Komentar

Posting Komentar

Banyak Dicari

PUTRI AYU LIMBASARI, SYECH GANDIWASI DAN PATRAWISA

Selalu saja ada yang menarik ketika berkunjung ke Limbasari. Desa ini terletak sekira 15 km dari pusat kota Purbalingga. Terletak di Kecamatan Bobotsari, Limbasari menyimpan banyak kekayaan. Mulai dari potensi temuan peninggalan neolitikum, wisata alam Patrawisa sampai legenda Putri Ayu Limbasari. Nah, untuk melepas lelah sepertinya berwisata akhir pekan ke Patrawisa bisa menjadi pilihan. Terletak di lembah Gunung Tukung dan Gunung Pelana, menjadikan pesona kecantikan alam Patrawisa mampu memikat seseorang untuk datang lagi dan lagi.  Untuk menuju bendungan Patrawisa hanya dibutuhkan waktu sekira 30 menit berjalan kaki sejauh 1,7 km. Ya, Patrawisa adalah bendungan atau dam yang membendung pertempuran Sungai Tuntung Gunung dan Sungai Wlingi. Tidak hanya itu, air terjun mini serta sendang-sendang jernih semakin menyegarkan sesampainya di lokasi. Lalu siapakah Patrawisa sehingga namanya diabadikan untuk tempat indah ini? Patrawisa adalah nama salah seorang cantrik Syech Gandiwas...

NYUWUN AGUNGING PANGAKSAMI

Satu hal yang saya tunggu-tunggu dari Lebaran adalah “SUNGKEMAN”. Yes, selain plong karena (pada akhirnya) mampu juga mengungkapkan segala perasaan bersalah pada orangtua, rasa dag-dig-dug belibet salah ngomong pun pasti menghampiri. Di keluarga inti, usai melaksanakan Sholat Ied, maka sungkeman perlu dilaksanakan sebelum sarapan menu Lebaran & bersilaturahmi ke tetangga. Yang seru adalah kami harus menggunakan bahasa Jawa krama. Yeah. Jadilah sejak semalam sebelumnya kami kerap menghapal terlebih dahulu naskah sungkeman dari masa ke masa. Hahaha. Seperti ini : “Bapak / Ibu’/ Embah, kulo ngaturaken sembah sungkem, sedoyo lepat nyuwun agunging pangapunten”. Hihihi, meski sudah merupakan mantra menahun, namun bagi sebagian keluarga yang (mayoritas) tinggal di luar JaTeng hal ini sangatlah merepotkan. So, mereka akan sungkeman dengan berkata “$#^&**&*&^%^^%^$#....pangapunten”. Wuiih,.. apa ya afdol ? Hehe. Makanya, sangat tidak mengherankan jika setiap Lebaran selain sun...