Langsung ke konten utama

Brambang Jae dan Larangan Pementasan Wayang Kulit

Brambang Jahe. Nama yang unik yach. Lalu apa yang ada di benak kalian ? Perpaduan bawang merah (brambang) dan jahe ? Tentu saja bukan. Karena nama ini merujuk pada Petilasan Brambang Jahe di Kelurahan Purbalingga Kidul, Purbalingga.

Oleh : Anita Wiryo Rahardjo

Petilasan

Petilasan adalah tempat yang pernah disinggahi. Umumnya berkaitan dengan peristiwa atau tokoh tertentu. Petilasan Brambang Jahe ini termasuk salah satu objek dalam pelindungan instansi yang menaungi urusan kebudayaan. Memang perihal sejarahnya masih dipertanyakan, namun masyarakat setempat masih menyuburkan cerita rakyat yang ada. Keberadaan petilasan ini yang diyakini menjadi alasan tabu atau larangan pementasan wayang kulit di Purbalingga Kidul.


Jika dilihat dari bentuknya, petilasan ini mirip dengan makam atau pekuburan. Lokasinya tepat di utara Stadion Guntur Darjono Purbalingga. Awalnya, berada di tengah-tengah persawahan. Ketika tempat tersebut disulap menjadi stadion skala nasional pun, Brambang Jahe tetap ada. Dan untuk melindunginya dari tangan-tangan jahil, dibangunlah pagar keliling pada masa pemerintahan Bupati Triyono Budi Sasongko lalu.

Lalu ada cerita apa sebenarnya di balik petilasan ini ?


Cerita Rakyat

Brambang Jahe kerap dikaitkan pada sebuah cerita rakyat yang dipopulerkan dari masa ke masa secara lisan. Brambang Jahe ini lekat dengan kisah seorang Dalang asal Dukuh Timbang Desa Penambongan. Tidak diketahui siapa nama Dalang itu, hanya disebutkan sebagai seniman wayang ternama pada masanya.

Dikisahkan pada suatu waktu, Ki Dalang terpaksa menolak undangan tanggapan dari Kadipaten karena sudah terlanjur menerima tawaran pentas di Dukuh Blewuk, Desa Bojong. Meski yang mengundang memiliki derajat dibawah Adipati, namun Ki Dalang memilih bersikeras ndhalang di Blewuk. Baginya menepati janji adalah hal terpenting. Meskipun utusan kadipaten menyatakan kekecewaannya, namun Ki Dalang geming dan kokoh pada keputusannya.

Pada saat pagelaran di Blewuk tepatnya saat adegan “goro-goro”, Ki Dalang tiba-tiba mengalami sakit perut yang tidak tertahankan. Dan mau tidak mau, ia pun harus mengakhirkan pertunjukkannya tanpa menyelesaikan cerita. Tak kunjung sembuh, Ki Dalang memutuskan pulang bersama istrinya. Karena kondisi malam yang gelap gulita, mereka pun tersesat sampai di Dukuh Kalijebug kemudian Desa Mewek kemudian Desa Karang Manyar lalu Purbalingga Kidul hingga akhirnya sampai juga di Timbang.

Pada saat sampai di Purbalingga Kidul itulah sakit Ki Dalang semakin menjadi ditambah lagi dengan hujan angin yang tiba-tiba saja menerjang. Seketika mereka pun memutuskan menepi. Istri Ki Dalang kemudian membuat ramuan dari bawang merah serta jahe yang memang dibawanya dari rumah. Setelah diberi brambang dan jahe, sakit Ki Dalang sedikit mereda dan tempat mereka menepi ini diberi nama “Brambang Jahe”.

Cerita belum berakhir sampai di sini. Karena sesampainya di rumah, sakit Ki Dalang semakin parah. Dan dengan mengumpulkan seluruh keluarga serta warga sekitar, Ki Dalang menyampaikan pesan agar seluruh warga yang tinggal di jalur yang dilaluinya saat pulang yaitu Dukuh Kalijebug - Desa Mewek - Desa Karang Manyar - Purbalingga Kidul serta Timbang dilarang menanggap pementasan wayang kulit. Jika melanggar maka akan terjadi malapetaka di desa tersebut. Setelah menyampaikan pesan tersebut, Ki Dalang pun meninggal dunia.

Sampai kini, wewaler ini masih berlaku khususnya di Dukuh Karangtengah & Timbang, Desa Purbalingga Kidul. Sehingga seandainya pun ada yang berniat menggelar pementasan wayang, maka Dalang Jemblung lah yang ditunjuk. Dalang jemblung itu dalam pementasannya sangat mininalis, tanpa menggunakan gamelan. Iringan musiknya diganti iringan pemainnya yang melagukan instrumen gamelan. Iya, seperti acapela


Tak Sewingit Dulu

Sebagai tempat yang dikenal masih memiliki tuah, petilasan ini kerap disebut “wingit”. Bahkan beberapa sisa pembakaran dupa atau sesaji masih sesekali kita temukan di makam ini. 

Namun belakangan sejak lokasi terlihat lebih terang dan longgar maka secara otomatis orang-orang pun tak lagi menyakralkan tempat ini. Bahkan, kini areal sekitar Brambang Jahe pun kerap jadi area kongkow anak muda.

Hanya saja masih sering terpikir perlunya ada tumbuhan bawang merah dan jahe di dekatnya. Mungkin akan ada manfaat tambahan.


(Ditulis berdasar cerita Rien Anggraeni Kasi Jarahmuskala Dinbudparpora Kabupaten Purbalingga)



Komentar

Posting Komentar

Banyak Dicari

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah...

TRADISI WISUHAN

Daur hidup manusia tak lepas dari rangkaian adat istiadat. Saat memasuki 40 hari, dilaksanakanlah tradisi Wisuh atau Wisuhan. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Pagi itu seorang pria pensiunan Polantas sibuk mencari anak-anak kecil. Minggu pagi memang tak mudah mencari para bocah di rumah. Mereka sedang asyik jalan-jalan bersama keluarga tentunya. Beruntung ada tiga bocah kelas 1 SD yang baru bangun keluar rumah dan kemudian dimintalah mereka bersiap memperebutkan uang. Ketiganya hanya mantuk-mantuk bingung. Mereka tak tahu bahwa mereka tengah dilibatkan dalam tradisi Wisuh. • Cukur rambut • Didalam rumah, seorang bayi mungil sedang dicukur bergantian oleh dukun bayi dan pihak keluarga. Dalam kebiasaan lain, saat seperti ini juga sambil dibacakan shalawat. Namun tidak hari itu. Pemandangan ini berbeda dengan yang pernah dilakoni saudara sepupu saya. Menjelang hari ke-40 (bisa dimulai dari hari ke-35 atau selapan dina), dukun bayi yang biasa mengurus ia dan puteri kecilnya secara khus...