Langsung ke konten utama

BATIK PURBALINGGA DIMULAI DARI ERA NAJENDRA


Sore yang terbalut hujan. Seketika nama udan liris mampir di pikiran. Eh, lalu bagaimana dengan truntum, kawung, lumbon, sekar jagad atau bahkan cebong kumpul ? Semarga kan ? (Oleh : Anita W.R.)

Pertanyaan itu kian menggelitik setelah pertemuan pertama saya dengan seseorang ini terjadi pada Desember 2013. Satu kalimat yang saya ingat darinya adalah "Batik Purbalingga itu sudah punya khas sejak awal". Antara takjub, bingung dan tidak mudheng, rangkaian penasaran itu saya endapkan hingga menuju 2 tahun.

Ya, bicara Batik, banyak informasi, artikel sampai literatur yang membahasnya. Namun batik Purbalingga, hanya sekelumit yang saya ketahui. Padahal saya ada di kota ini sejak lahir dan tinggal dikelilingi beberapa pembatik sepuh. Memori saya pada bagian ini sepertinya tidak terlalu baik, sampai-sampai sulit membacanya. Tapi kalau boleh, ijinkan saya menyebut nama mereka satu per satu. Eyang Din, Mbah Sastro, dan Mbaeh Nana adalah nama-nama pembatik sepuh yang saya kenal saat kecil. Mereka kerap terlihat mencanting di salah satu sudut rumahnya. Sendiri. Tanpa dibantu orang yang lebih muda. Bahkan kini juga tak diteruskan ahli warisnya.

Berkenalan dengan batik Purbalingga kembali saya lakoni beberapa hari lalu. Ketika Yoga Prabowo, salah seorang perajin batik Purbalingga meluangkan waktunya untuk berbincang. Saya mengaku telah terlena dengan ragam batik fashion yang pernah menggila beberapa tahun silam. Namun akhirnya ditinggalkan setelah half circle skirt saya ternyata kembar dengan jarit Mbah penjual sayur mayur yang berpapasan di jalan. Kami sama-sama pakai truntum. Dan beberapa orang terlihat mengulum senyum atas kejadian itu. Tanpa kompromi saat itu saya tinggalkan batik.Terlambat saya sadari, karena tak berapa lama setelah kejadian itu, batik menjadi salah satu warisan budaya tak benda yang diakui Unesco. (Foto canting diambil dari sini)

Dan sudahlah, perasaan tengsin yang pernah saya alami dulu, biar saja menjadi catatan bahwa saya pun pernah seperti anak muda pada umumnya. Gengsi pada (segala yang bersentuhan dengan) Batik. Tapi semoga itu tidak lagi saya lakukan, apalagi saat pelan-pelan memahami bahwa batik adalah warisan tradisi dan budaya adiluhung. "Proses dan filosofinya itu yang mesti kita pahami dengan baik. Ada kesabaran, keuletan, kematangan dan tentunya doa pada setiap helai kain batik. Sehingga tak heran jika beberapa upacara tradisi menyertakan batik tulis tertentu sebagai salah satu syarat", terang pemilik usaha Batik Tirtamas ini.

ERA NAJENDRA

Nah kembali ke batik lokal, keberadaan batik Purbalingga konon sudah ada sejak masa Perang Diponegoro. "Ada anak buah Diponegoro yang membuat sentra batik di Sokaraja. Namanya Najendra", kata Yoga. Sentra itu sekaligus menjadi yamg pertama di Banyumas Raya. Dan untuk proses produksinya, Najendra mengumpulkan banyak warga untuk membatik. Dan kebetulan tidak sedikit dari mereka  berasal dari Bobotsari, Galuh, Karanganyar, dan sebagainya. "Kecuali Limbasari lho ya", tambahnya. Iya, secara ragam motif dan warna, batik Purbalingga termasuk corak Banyumasan. Walau tidak bisa dipungkiri ada ornamen-ornamen yang mungkin saja berbeda. "Dibanding dengan batik Jogja, Solo, Pesisiran, batik Banyumasan paling gelap. Hitam, biru tua, cokelat tua, hijau tua. Sedangkan di wetan kan gelapnya masih ditimpa kuning atau gading. Kalau kata teman-teman budayawan ya karena kita blakasuta. Hitam ya hitam, biru ya biru, ndak dicampur warna lainnya", lanjutnya. (Ilustrasi batik Purbalingga-an koleksi pribadi)

Sementara untuk motif, flora dan fauna kecil semisal burung dan kupu-kupu lah yang mendominasi. Eh, jadi inget ya sama lumbon. Itu lho, motif yang sempat tren bersamaan dengan hitsnya senthe wulung. "Banyak tempat di Banyumas Raya Mba yang punya lumbon. Meski sepintas coraknya beda, nama bisa saja sama. Seperti motif klasik saja. Kan semua daerah punya. Jogja punya Sidomukti Solo punya, kita juga punya. Dan kalau dijejerin beda", terangnya. Waaah, saya makin takjub dengan kekayaan ragam batik di negeri kita. Pastinya banyak banget dong. Terus jadinya apa nih motif khas Purbalingga ? "Salah satunya Cebong Kumpul", ujarnya sembari mesam-mesem melihat mata saya yang membulat. Terang sajalah. Namanya kok jadi menggemaskan buat saya. "Ini salah satu motif klasik. Sudah jarang, tapi masih bisa dipesan. Banyak dibuat di Palumbungan dan sekitarnya. Kenapa Cebong Kumpul ? Karena pembuatnya konon dulunya terinspirasi dari kondisi saat membatik. Berkelompok dan di dekat sungai. Dan ada gambar cebong-cebongnya gitu", katanya menggambarkan. Aaah kecebong. (Malah jadi inget Keropi. Lho ??)


SENTRA

Selain Palumbungan, desa Galuh, Jatisaba, Kemangkon sampai sepanjang aliran Sungai Gringsing pernah menjadi sentra batik Purbalingga di masa lalu. "Sepertinya yang paling pertama ada di daerah Sudagaran, Mba", tuturnya. Mungkinkah yang dimaksud adalah Prada ? Entahlah. Lagipula kini toko Prada juga sudah tidak beroperasi ya. Selain itu, Yoga juga menyebut Gang Mayong menjadi salah satu sentra batik (Hmmm, saya pikir ini yang oleh orang-orang tua disebut tempatnya Kwee Sing mungkin ya ?), Kalikajar Kulon (sepanjang klawing), Kandang Gampang, Gandasuli, Bobotsari, Jatisaba, Sidakangen, Jompo sampai Banjarsari.

(Ket foto : Konon, jaman dahulu orang membuang petilan kain / label pada batik tulisnya. Dengan alasan takut dicap sombong karena mengenakan batik tulis) Yang pasti sih rumah keluarga saya tidaklah jauh dari Sudagaran. Banyak pembatik sepuh di seputar rumah saat itu. Dan ini adalah salah satu batik Eyang Din yang tersisa. Koleksi ini dibeli Bapak pada 96. Konon saat itu, Eyang Din mencantingnya sendiri di rumahnya, namun mengirimnya ke Sokaraja untuk diwarna. Semula saya pikir hal itu dilakukan karena usia tidak memungkinkannya untuk nglorod. Kenyataannya ? "Dalam sejarahnya dulu, pembatik yang dari Purbalingga itu memang diajarinnya nyanting saja. Untuk pewarnaan di Sokaraja. Dan ndak tau kenapa sampai sekarang kebanyakan pembatik kita ya ndak bisa (teknik) warna", ujarnya heran.

Kini, Purbalingga memiliki 6 sentra batik tulis yaitu : Limbasari, Tlagayasa, Dagan, Galuh, Kalimanah dan Karang Moncol. "Semoga sih bisa nambah lagi ya, apalagi kami kan tidak hanya terpaku pada sentra itu saja ya Dan sekarang yang sedang dirintis adalah Tlahab Lor Karang Reja.", ucapnya.

Keinginan itu tentunya bukan sekedar angan-angan. Selain ada institusi yang berperan untuk mengembangkan sentra, sebagai perajin, secara pribadi Yoga pun tak keberatan mengajarkan teknik membatik. "Silakan saja adek-adek pelajar coba membatik disini (Tirtamas)", tawarnya. Perkenalannya dengan batik semasa kuliah di Jogja memang membuatnya senang membagikan ilmunya. "Aku oleh ilmu mbatik iki nutur Mba. Ditawarin tiba-tiba sama tetangga kost. Katanya kasian lihat saya bengong. Namanya Pak Imam. Sabar sekali Pak Imam ngajarin saya sampai bisa", kenangnya. Walau tak langsung diaplikasikan ketika lulus kuliah, namun mbatik menjadi keahlian yang berbuah manis baginya.

 Ket : Koleksi Batik Tulis Tirtamas : Banyu Mudhal (abu-abu, pewarna kayu mahoni), Kembang Sepatu (hijau), Mawaran Kawung (oranye). Yang biru ? Lupa nggak nanya, hehe..

Baginya mendesign, nyanting, nyoga, nglorod, hingga kemudian menjemurnya adalah proses yang seiring sejalan dengan detak nadinya. "Saya pengen terus mbatik", tekadnya. Bagaimana dengan kita saya ? Mari mengenali batik dengan lebih dekat, agar mudheng dengan intangible value dari kekayaan intelektual nenek moyang ini.

Komentar

  1. jadi pengin punya batik purbalingga lagi. saya cuma punya satu tok, itu aja diawet nggak saya jait, eman2 je,batik tulis,hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe... sama Mba. Batik tulis khas Purbalingga yg sy punya juga terbatas kok. Dan kalau skrg sy pakai jika sdg tidak enak badan. Nggo kemulan. Adeeeemmm dan cepet fit. Haha..

      Hapus
  2. Tempatnya itu dimana ya mba, kasih tau infonya donk. Lokasivpastinya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo mas / mba Papang pang.. maaf agak telat balas. Monggo jika berminat dengan batik Tirtamas bisa menuju ke Perumahan Selabaya, arah selatan terminal Purbalingga. Agak masuk bloknya, setelah lapangan & setelah masjid di Perumahan tersebut. Semua tau kok lokasinya Tirtamas.

      Hapus
  3. Untuk info lebih lengkap soal batik Purbalingga, monggo mas Yoga batik Tirtamas menyarankan untuk dapat email terlebih dulu melalui byonicpbg@gmail.com

    BalasHapus
  4. maaf, kalo boleh tau motif burung di gambar ketiga dari atas itu burung apa ya?
    dan nama motifnya juga kalo boleh tau apa ya?

    BalasHapus
  5. nama motif batik di gambar ketiga dari atas itu apa ya?
    dan burung yang digunakan dalam kain batik kalo boleh tau burung apa ya itu?

    BalasHapus
  6. Halo mba Annisa K.J maaf slowres ya... setelah sy tanyakan jenis burung nya adalah merak. Burung ini termasuk yg paling sering tertuang dalam motif batik selain Garuda dan Phoenix. Konon juga bisa sebagai lambang kesuburan..
    Terkait nama motif batik yg latar putih adalah jenis jonas-an kadang lidah kita ada yang mengatakan jronas-an. Sementara yg latar hitam belum dapat diketahui mba.. kebetulan pembatiknya juga sudah sedo. Atau njenengan tahu apa nama motifnya ?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah sat

Brambang Jae dan Larangan Pementasan Wayang Kulit

Nama petilasan ini adalah Brambang Jahe. Nama yang unik ya? Cukup menggelitik tanya di benak, apakah di petilasan ini terdapat pohon bawang merah dan pohon jahe. Yang tentu saja jawabannya adalah tidak. Petilasan brambang Jahe ini sudah masuk dalam daftar inventaris Benda Cagar Budaya (BCB) kategori bangunan makam. Meski nilai sejarahnya masih dipertanyakan, namun kecenderungan masyarakat menyakralkan tempat ini dan juga folklore yang terus hidup menjadikan Brambang Jahe sebagai salah satu petilasan yang diistimewakan. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai kuburan Brambang Jahe. Brambang Jahe terletak di Kelurahan Purbalingga Kidul, tepatnya di utara Stadion Guntur Darjono Purbalingga. Dahulu, makam ini terdapat di tengah persawahan. Tidak ada seorangpun yang berani membongkarnya. Bahkan sampai ketika tempat tersebut disulap menjadi stadion skala nasional pun, Brambang Jahe tetap ada. Dan untuk melindunginya dari tangan-tangan jahil, dibangunlah pagar keliling pada ma