Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Banyumas

DAMN ! I LOVE #NasiGorengDunia

Hujan terus mengguyur Purwokerto sesorean itu. Namun celoteh riang dari meja sebelah seolah tak mau kalah dari deru air. "Aku Thailand", gemas salah seorang. "Eh, merah putih hijau ini mana ya?", kata lainnya. Bendera mini diatas nasi goreng yang masih mengepul itu sejurus kemudian mengisi memory di gawai masing-masing. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Sayapun tak ingin terlewat. Ditengah menanti sang chef keluar, sembari swafoto saya mulai mereka-reka rencana menu apa yang dipilih. Ya #NasiGorengDunia season 3 ini sama seperti yang ada di depan Gelora Guntur Darjono Purbalingga. Menawarkan nasi goreng dengan dominasi gurih ataupun manis khas berbagai negara. " Sudah pernah mencoba Nasi Goreng Dunia sebelumnya ?", tanya salah satu owner, Iqbal bin Majid. Sahabat yang juga rekan satu perjuangan, Lukman "Bagus Permana" menggeleng. ( Ngapunten nggeh Mbak yang cantik, masnya tak culik dulu ). Sementara saya memilih diam, karena hanya ...

Namanya Orak-Arik

Adegan di layar sedang seru-serunya. Mata mulai tak mau berpaling. Namun tangan masih terus bergerak hingga dasar toples. " Yaaahhh , habis ", saya pun menyesali mengapa hanya sebungkus orak-arik yang saya beli. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Usai mampir ke pasar Bobotsari beberapa hari lalu, satu bungkus orak-arik pun bertengger manis di tas belanjaan. Saya langsung teringat cerita Ny. Naenah, salah seorang puteri pemilik Bioskop Indra Bobotsari. Orak-arik menjadi menu khas yang dijajakan pedangan asongan di dalam bioskop pada era 70'an. • Mireng • Warna-warni kerupuk mie menjadi pemandangan menarik begitu belanjaan dibongkar. Aroma bumbu pedas manis mulai menggoda untuk sigap mencomot orak-arik ini. Tak terlalu kriuk memang. Tapi enaaaaakk. Nama orak-arik banyak disebutkan oleh mereka yang tinggal di wilayah utara Purbalingga. Terutama. Bobotsari dan sekitarnya. Sementara yang lain menyebutnya sebagai 'mireng pedes'. Mireng adalah...

KULA NUWUN,... ANDUM SLAMET SEDULUUURRR

Kula nuwun.. Wilujeng Enjing.. Andum slamet... Ketiga kosakata ini tengah kembali akrab ditelinga. Saya dibisiki bahwa inilah salam Penginyongan (boleh dibaca : panginyongan). • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Tak banyak yang bisa saya lakukan selain terbengong-bengong saat diminta membawakan sebuah acara kedinasan dalam bahasa penginyongan. Dimana persiapan yang diberikan tak lebih dari 24 jam. " Teyeng ora ? ", batin saya. Karena meski dalam lingkup pergaulan, bahasa ini menjadi keseharian, namun tidak demikian di dalam rumah. Bahasa penginyongan lazim dituturkan oleh masyarakat Banyumas Raya. Meliputi : Banyumas, Purwokerto, Purbalingga, Banjarnegara dan Cilacap. Wilayah yang dikenal berbahasa ngapak. Ah !! Saya kemudian teringat bagaimana beberapa kawan (bahkan Ibu' saya) begitu terluka dengan istilah ngapak. Istilah bahasa yang entah kenapa jadi gojekan pakdhe-budhe saya di Solo. Tapi sudahlah, dengan istilah "basa penginyongan" yang kini d...

TRADISI WISUHAN

Daur hidup manusia tak lepas dari rangkaian adat istiadat. Saat memasuki 40 hari, dilaksanakanlah tradisi Wisuh atau Wisuhan. • oleh : Anita WR • Pagi itu seorang pria pensiunan Polantas sibuk mencari anak-anak kecil. Minggu pagi memang tak mudah mencari para bocah di rumah. Mereka sedang asyik jalan-jalan bersama keluarga tentunya. Beruntung ada tiga bocah kelas 1 SD yang baru bangun keluar rumah dan kemudian dimintalah mereka bersiap memperebutkan uang. Ketiganya hanya mantuk-mantuk bingung. Mereka tak tahu bahwa mereka tengah dilibatkan dalam tradisi Wisuh. • Cukur rambut • Didalam rumah, seorang bayi mungil sedang dicukur bergantian oleh dukun bayi dan pihak keluarga. Dalam kebiasaan lain, saat seperti ini juga sambil dibacakan shalawat. Namun tidak hari itu. Pemandangan ini berbeda dengan yang pernah dilakoni saudara sepupu saya. Menjelang hari ke-40 (bisa dimulai dari hari ke-35 atau selapan dina), dukun bayi yang biasa mengurus ia dan puteri kecilnya secara kh...

WELCOME 2017, DARI POS GEMBIRUNG

Tanggal 9. Sepertinya belum expired untuk menyapa 2017 yang penuh kejutan. Bagaimana tidak ? Seloroh becandaan bahwa pesona ibu kota tak sekuat Gunung Slamet, membuat saya batal meniti karier impian disana. Alih-alih menangkap kesempatan terakhir yang ditawarkan, saya malah tergiur meniti tapak demi tapak Pos Pondok Walang, Gunung Slamet. Oleh : Anita Wiryo Rahardjo Jika kedunungan , awal tahun ini saya sudah ngantor di lantai sekian, gedung anu, Jakarta Pusat. Namun seketika krentek membawa saya ke jalur pendakian Pos 2 Gunung Slamet melalui dusun Bambangan, desa Kutabawa, kecamatan Karangreja, Purbalingga. Saya lupakan segala hal berkait dengan permohonan resign dan kelengkapan untuk hijrah ke ibu kota. Saya malah sibuk menyiapkan bekal berupa gula merah dan kelapa muda dalam tas. “ Biar kuat, lama nggak naik soalnya ”, komentar saya saat kawan-kawan cek perbekalan. Pagi 8 Januari 2017. Di Pondok Pemuda dusun Bambangan, informasi menyebutkan bahwa tak banyak aktivitas ...

Batik bukan sekedar titik

Batik. Setiap titiknya adalah tanda tangan sang pembatik. Bahwa satu batik adalah produk satu-satunya dari ribuan motif yang sama. • Oleh : Anita W.R • Dua bulan ini hampir saya tidak lepas dari bermacam hal terkait batik. Pas ndilalah mungkin. Mulai dari mencarikan batik pesanan keluarga, jadi model batik dadakan untuk tesis seorang kawan, hingga ditolaknya ijin off duty 4 hari untuk latihan mbatik . Hal-hal semacam ini menjadikan batik semakin memiliki nilai personal. Ya, karena seperti apa yang saya tuliskan diawal satu titik saja bisa menjadi tanda tangan. " Kami sesama pembatik atau siapapun yang paham akan tahu mana batik misal Sekar Jagad buatan saya dan buatan mas Edi ", kata Yoga Prabowo Tirtamas yang ditemani Edi Mukti Sekarsari di sela-sela pelatihan pengenalan warna sintetis dan teknik ciprat beberapa waktu lalu. Dalam membatik, " isen-isen " motif klasik adalah murni olahan dan luapan rasa dari sang pembatiknya. Sehingga menjadikanny...

Digendong Mbah Buncis kemana-mana

"Tak Gendong Kemana-mana". Penggalan lirik lagu milik almarhum Mbah Surip ini entah mengapa terus saya dengungkan dalam hati saat melihat Mbah Buncis menggendong dan menari beberapa bulan lalu. Mungkin karena keduanya sama-sama mengartikan solidaritas. •Oleh : Anita Wiryo Rahardjo• Mbah Buncis merupakan salah satu tokoh sentral dalam seni Golek Gendong. Golek dalam bahasa Banyumasan berarti boneka. Boneka, seperti kita ketahui bersama, sering diikutsertakan dalam pertunjukan tradisi. Entah sekedar dolanan bocah hingga ritual. Tentu saja dengan bentuk beraneka rupa. Bedanya, dalam Golek Gendong bukan boneka yang digendong si penari. Melainkan penari (yang seolah) digendong boneka. Adalah takut yang teramat sangat, saat saya kecil melihat rombongan Golek Gendong ngamen ke rumah. Penampilan seram Mbah Buncis penyebabnya. Ditambah lagi orang-orang dewasa disekitar saya berujar " arep ana pageblug apa maning kiye ", seraya menutup pintu. Entah benar atau tida...

BATIK PURBALINGGA DIMULAI DARI ERA NAJENDRA

Sore yang terbalut hujan. Seketika nama udan liris mampir di pikiran. Eh, lalu bagaimana dengan truntum, kawung, lumbon, sekar jagad atau bahkan cebong kumpul ? Semarga kan ? (Oleh : Anita W.R.) Pertanyaan itu kian menggelitik setelah pertemuan pertama saya dengan seseorang ini terjadi pada Desember 2013. Satu kalimat yang saya ingat darinya adalah " Batik Purbalingga itu sudah punya khas sejak awal ". Antara takjub, bingung dan tidak mudheng , rangkaian penasaran itu saya endapkan hingga menuju 2 tahun. Ya, bicara Batik, banyak informasi, artikel sampai literatur yang membahasnya. Namun batik Purbalingga, hanya sekelumit yang saya ketahui. Padahal saya ada di kota ini sejak lahir dan tinggal dikelilingi beberapa pembatik sepuh. Memori saya pada bagian ini sepertinya tidak terlalu baik, sampai-sampai sulit membacanya. Tapi kalau boleh, ijinkan saya menyebut nama mereka satu per satu. Eyang Din, Mbah Sastro, dan Mbaeh Nana adalah nama-nama pembatik sepuh yang...