Langsung ke konten utama

PURA PEDALAMAN GIRI KENDENG

Saya merasa tengah dibawa keluar Banyumas. Pemandangan akan Pura megah dikelilingi alam asri itulah alasan utamanya. Seolah di Pulau Dewata. Namun sesuara orang yang lewat, membuat kesadaran pulih. Bahwa ini di Banyumas. Pura ini ada di Banyumas. 

Pura Pedalaman Giri Kendeng merupakan Pura terbesar di Banyumas. Dibangun sejak 1987 dengan sebagian material pembangunan langsung dibawa dari Bali. Tahun pembangunannya bersamaan dengan pen-sudhiwedhi-an para penganut kepercayaan Wayah Kaki yang mendiami kaki Pegunungan Kendeng Selatan ini.

Semula penduduk asli desa Klinting -kecamatan Somagedhe, Banyumas- ini, menganut aliran kepercayaan Wayah Kaki. Aliran ini sangat mengagungkan Eyang Semar sebagai pemomong nyata (bukan sekedar dalam pewayangan) yang luar biasa bijak. Wayah Kaki, secara arti kata adalah cucu kakek. Sehingga gambar Semar banyak terpampang di kediaman para penghayat ini. Aliran Wayah Kaki berpusat di Kroya, Cilacap dan kerap melakukan persembahyangan di Gunung Srandil. Bagi penghayat Wayah Kaki, makam Eyang Semar dipercaya berada disana dan masih kerap dikunjungi meski mereka telah menjadi penganut Hindu.

Kebijakan Pemerintah Orde Baru pada era 80'an memang menjadikan penganut kepercayaan lokal kalang kabut. Mau tidak mau, mereka harus bernaung dalam lima agama yang dinyatakan resmi. Yaitu : Islam, Kristen, Katholik, Hindu dan Budha. Atas saran salah seorang tokoh Wayah Kaki yang dituakan, yakni (Alm) Ranameja, mereka pun memeluk agama Hindu. Ini berdasar wangsit yang diperolehnya. Tidak lama kemudian, Ranameja menuju Pulau Bali untuk mendalami pilihannya. Sekembalinya, salah seorang pemuka Hindu dari Bali men-sudhi-kan mereka. Kini, ada 65 KK pemeluk Hindu di desa Klinting. Jumlah yang signifikan meski bukan mayoritas. 
Secara umum, Pura Pedaleman Giri Kendeng ini sama seperti Pura lainnya. Pembedanya hanya pada Arca Semar pada pintu belakang Madya Mandala. Pura Giri Kendeng dibangun atas swadaya para pemeluknya pada sebidang tanah yang diwariskan oleh Ranameja. Untuk menuju Pura, perjalanan memang cukup jauh dilalui. Kita bisa mengambil rute dari tembusan Somagedhe menuju arah Kemranjen. Satu perempatan kecil ke kiri akan mengantar kita ke arah Kewami. Dan sekira 4 kilometer dari situlah desa Klinting berada.

Ada tiga lingkungan dalam Pura Giri Kendeng. Pertama adalah pintu masuk yang berupa tangga turun permanen dan diberi nama Nista Mandala. Selanjutnya adalah gerbang gapura bernama Madya Mandala sebagai ruang tengah. Gerbangnya disebut sebagai candi Bentar. Di Madya Mandala ini, anak-anak dan remaja berkumpul secara rutin menggelar sekolah minggu. Dan yang paling sakral guna persembahyangan adalah Utama Mandala. Disini ada 3 candi dimana salah satunya disebut candi atau palinggih Panglurah. Panglurah ini tentunya sebagai penghormatan bagi Lurah Semar selaku tokoh yang diagungkan masyarakat desa Klinting. Dan di Pura inilah masyarakat Hindu asli Banyumas melakukan persembahyangan. Begitupun saat Nyepi, Galungan, Kuningan, Rajekwesi hingga Syiwaratri. 

Tetiba saya teringat tentang Tri Pramana. Prinsip Desa, Kala dan Patra yang teguh dipegang pemeluk Hindu. Dan Pura Pedalaman Giri Kendeng adalah salah satu yang mengedepankan prinsip ini di tengah keberagaman.

Salam,

Anita W.R.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BATIK PURBALINGGA DIMULAI DARI ERA NAJENDRA

Sore yang terbalut hujan. Seketika nama udan liris mampir di pikiran. Eh, lalu bagaimana dengan truntum, kawung, lumbon, sekar jagad atau bahkan cebong kumpul ? Semarga kan ? (Oleh : Anita W.R.) Pertanyaan itu kian menggelitik setelah pertemuan pertama saya dengan seseorang ini terjadi pada Desember 2013. Satu kalimat yang saya ingat darinya adalah " Batik Purbalingga itu sudah punya khas sejak awal ". Antara takjub, bingung dan tidak mudheng , rangkaian penasaran itu saya endapkan hingga menuju 2 tahun. Ya, bicara Batik, banyak informasi, artikel sampai literatur yang membahasnya. Namun batik Purbalingga, hanya sekelumit yang saya ketahui. Padahal saya ada di kota ini sejak lahir dan tinggal dikelilingi beberapa pembatik sepuh. Memori saya pada bagian ini sepertinya tidak terlalu baik, sampai-sampai sulit membacanya. Tapi kalau boleh, ijinkan saya menyebut nama mereka satu per satu. Eyang Din, Mbah Sastro, dan Mbaeh Nana adalah nama-nama pembatik sepuh yang...

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah...

Brambang Jae dan Larangan Pementasan Wayang Kulit

Nama petilasan ini adalah Brambang Jahe. Nama yang unik ya? Cukup menggelitik tanya di benak, apakah di petilasan ini terdapat pohon bawang merah dan pohon jahe. Yang tentu saja jawabannya adalah tidak. Petilasan brambang Jahe ini sudah masuk dalam daftar inventaris Benda Cagar Budaya (BCB) kategori bangunan makam. Meski nilai sejarahnya masih dipertanyakan, namun kecenderungan masyarakat menyakralkan tempat ini dan juga folklore yang terus hidup menjadikan Brambang Jahe sebagai salah satu petilasan yang diistimewakan. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai kuburan Brambang Jahe. Brambang Jahe terletak di Kelurahan Purbalingga Kidul, tepatnya di utara Stadion Guntur Darjono Purbalingga. Dahulu, makam ini terdapat di tengah persawahan. Tidak ada seorangpun yang berani membongkarnya. Bahkan sampai ketika tempat tersebut disulap menjadi stadion skala nasional pun, Brambang Jahe tetap ada. Dan untuk melindunginya dari tangan-tangan jahil, dibangunlah pagar keliling pada ma...