Langsung ke konten utama

AIR KEHIDUPAN DI TUK BIMA LUKAR

Dipercaya sebagai mata air purba, Tuk Bima Lukar diyakini memiliki tuahnya tersendiri. Tirta perwita sari. Mata air kehidupan. Tak heran, jika pengunjung memanfaatkannya untuk mencuci muka ataupun bersuci begitu tiba ditempat ini.

• oleh : Anita Wiryo Rahardjo •

Kota Para Dewa memang masih selalu menarik untuk dikunjungi. Meski hanya sekedar lewat, rasanya sayang jika melewatkan Tuk Bima Lukar begitu saja. Lagipula, mata air ini berada di tepi jalan utama memasuki Wonosobo. Dan tak dikenakan biaya masuk.

Selintas keberadaan Tuk Bima Lukar memang tak terlihat dari jalan raya. Karena kita harus menuruni sedikit anak tangga diantara rerimbunan kebun carica dan sebuah bangunan serupa benteng di sisi jalan raya ini.

Suasana dingin langsung menyergap begitu kita mendapati dua buah jaladwara (pancuran dengan bentuk lingga dan ujung tepat air muncrat berupa yoni). Beberapa kawan langsung saja mencuci muka. Setelah perjalanan panjang, percikan air memang mengembalikan kesegaran yang hilang. Ditambah mereka pun sepertinya tergiur dengan tuah awet muda (dan enteng jodoh).

Diatas ruangan jaladwara, satu ruang kecil berisi kolam yang tak boleh diambil airnya. Dan diatasnya lagi terdapat ruang pemujaan yang selalu penuh dengan sesaji dan dupa. Seperti siang itu.

Mata Air Purba

Penamaan Bima Lukar, praktis membuat kita langsung membayangkan legenda yang pasti berkaitan dengan putera kedua Pandawa ini. Tak salah. Turun temurun dipercaya mata air atau tuk ini bermula dari perlombaan membuat sungai antara Pandawa dan Kurawa. Bima mendapat wangsit membuat sungai tersebut dengan menggali tanah dengan alat vitalnya dalam keadaan lukar (tanpa busana). Dan mengisinya denga air seninya. Tak lama ia melihat seorang perempuan cantik yang mandi di sungai yang baru selesai dibuatnya itu. Keterpanaannya membuat Bima tanpa sadar berujar "Sira Ayu" yang berarti kamu cantik. Lambat laun kata inilah yang kita kenal menjadi Serayu. Sungai besar yang juga begitu akrab dengan masyarakat Banyumas Raya.

Kisah lain menyebutkan dalam perjalanan mencari Ilmu Kesejatian Hidup, Bima yang tengah mengitari banyak gunung terilhami untuk mencari mata air suci. Penegak Pandawa ini butuh mensucikan diri sebagai salah satu syarat sebelum menuju samudera.Ia terus mencari Tirta Perwita Sari. Mata air suci kehidupan. Hingga ditemukannya satu mata air yang dianggapnya suci di salah satu gunung. Belum tercampur atau terkotori apapun. Dan muncul dari dalam bumi. Bima segera melukar pakaiannya dan bersuci disana. Setelahnya Bima pun kembali melanjutkan pengembaraannya. Namun belum lama melangkah, matanya menangkap sosok perempuan jelita tengah mandi di tuk yang tadi digunakannya. Entah darimana datangnya sang puan. Dan "Sira Ayu" pun terlontar dalam ketakjubannya.

Mata air purba yang menjadi hulu sungai Serayu ini diketahui sejak lama menjadi pertirtan suci masyarakat Hindu Dieng. Bahkan hingga kini mereka masih menggunakan airnya untuk kepentingan acara-acara sakral yang diadakan di Dieng.

Mata air yang jernih dan dingin ini memang begitu menyegarkan. Tak salah rasanya sejenak beristirahat di tuk yang masuk wilayah desa Kejawar, Dieng Wetan ini. Satu hal yang penting, lihat papan petunjuk untuk tak membuang sampah apapun disini. Dan.... saya dikasih tau oleh seorang Bapak yang mengijinkan saya naik ke undakan atas untuk tidak mengambil air di kolam undakan kedua. Konon, kolam ini masih disakralkan. Baiklah, saya hanya mengambil foto kok. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

BATIK PURBALINGGA DIMULAI DARI ERA NAJENDRA

Sore yang terbalut hujan. Seketika nama udan liris mampir di pikiran. Eh, lalu bagaimana dengan truntum, kawung, lumbon, sekar jagad atau bahkan cebong kumpul ? Semarga kan ? (Oleh : Anita W.R.) Pertanyaan itu kian menggelitik setelah pertemuan pertama saya dengan seseorang ini terjadi pada Desember 2013. Satu kalimat yang saya ingat darinya adalah " Batik Purbalingga itu sudah punya khas sejak awal ". Antara takjub, bingung dan tidak mudheng , rangkaian penasaran itu saya endapkan hingga menuju 2 tahun. Ya, bicara Batik, banyak informasi, artikel sampai literatur yang membahasnya. Namun batik Purbalingga, hanya sekelumit yang saya ketahui. Padahal saya ada di kota ini sejak lahir dan tinggal dikelilingi beberapa pembatik sepuh. Memori saya pada bagian ini sepertinya tidak terlalu baik, sampai-sampai sulit membacanya. Tapi kalau boleh, ijinkan saya menyebut nama mereka satu per satu. Eyang Din, Mbah Sastro, dan Mbaeh Nana adalah nama-nama pembatik sepuh yang...

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah...

Brambang Jae dan Larangan Pementasan Wayang Kulit

Nama petilasan ini adalah Brambang Jahe. Nama yang unik ya? Cukup menggelitik tanya di benak, apakah di petilasan ini terdapat pohon bawang merah dan pohon jahe. Yang tentu saja jawabannya adalah tidak. Petilasan brambang Jahe ini sudah masuk dalam daftar inventaris Benda Cagar Budaya (BCB) kategori bangunan makam. Meski nilai sejarahnya masih dipertanyakan, namun kecenderungan masyarakat menyakralkan tempat ini dan juga folklore yang terus hidup menjadikan Brambang Jahe sebagai salah satu petilasan yang diistimewakan. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai kuburan Brambang Jahe. Brambang Jahe terletak di Kelurahan Purbalingga Kidul, tepatnya di utara Stadion Guntur Darjono Purbalingga. Dahulu, makam ini terdapat di tengah persawahan. Tidak ada seorangpun yang berani membongkarnya. Bahkan sampai ketika tempat tersebut disulap menjadi stadion skala nasional pun, Brambang Jahe tetap ada. Dan untuk melindunginya dari tangan-tangan jahil, dibangunlah pagar keliling pada ma...