Tujuh
bulan. Inilah usia saya dalam kandungan seorang perempuan yang saya panggil
Ibu. Terlalu dini lahir ? Saya rasa tidak, karena dalam hitungan Jawa, Ibu mbobot pitung wulan sudah bisa disebut
hamil tua. Dan sang jabang bayi pun siap untuk dilahirkan sewaktu-waktu. Begitu
sakralnya angka ini, sehingga tak mengherankan jika kemudian ada tradisi mitoni
atau nujuh bulan.
JARANG DITEMUKAN
Sungguh
tidak mudah menemukan tradisi mitoni di tempat sekitar saya tinggal saat ini. Kini,
sebagian besar ibu hamil akan melakukan “selamatan” saat umur bayi dalam
kandungan 4 bulan yang biasa disebut dengan “ngupati” atau “ngapati”. Tapi bagi mereka yang memiliki kelebihan dana sih
bisa saja melaksanakan keduanya. Lha wong “selamatan”
khan boleh saja setiap waktu digelar. Selamatan itu kan pada dasarnya upaya
dari manusia untuk menjaga kelestarian hubungan yang selaras, seimbang dan
harmonis dengan Sang Maha Agung. Istilah gampangnya kita “ndonga” gitu lho.
(ilustrasi diambil dari viska.web.id)
Nah,
saking jarangnya tradisi nujuh bulan di tempat saya (yang kata teman-teman sih
masuk wilayah pusat kota) membuat saya takjub ketika mendengar ada adat Bokoran di desa Selanegara, Kecamatan
Kaligondang, Purbalingga. Bokoran ini nama lain dari mitoni. Karena memang
seperti kita tau nih, nujuh bulan itu punya banyak nama. Tak hanya mitoni tapi
juga tingkeban, keba, kebah atau bahkan bokoran. Namanya unik ya ? Mengingatkan
kita pada tempat air mandi hangat si dede’. Hehehe. Tapi yang ini beda lho.
BANYAK NAMA
Dari
namanya saja, tradisi ini memang berkaitan dengan bokor. Bokor disini mengacu
pada tempat air mandi yang terbuat dari kuningan. Yes, betul,.. mirip yang ada
dalam upacara mantenan itu. Nah, bokor ini nantinya akan diisi air sekar
setaman guna memandikan ibu hamil tujuh bulan. Uniknya saat muwungi (memandikan
keramas) ibu hamil tersebut juga akan dilengkapi dengan kusan. Walaah apa nggak
malah ribet ya ? Kalau penasaran ya mending mitoni dulu aja deh *Nyengir sambil ngeloyor.
Ini
bukan tanpa makna lho. Kusan itu kan alat pelengkap saat menanak nasi atau
membuat tumpeng tradisional dengan bentuk kerucut dan memiliki dasar berbentuk
segi empat. Ini mengacu pada papat kiblat lima pancer. Monggo kalimat ini
digoogling sendiri saja untuk arti
lengkapnya. (gambar kusan diambil dari tembi.net)
Bokoran
ini pun hampir sama dengan tradisi nujuh bulan yang sudah ada, mulai dari
keberadaan cengkir gading, nasi tumpeng, jajanan pasar, palawija, dan rujak.
Yang terakhir ini sering jadi alat untuk tebak-tebakan. “Kalau rujaknya asin maka anaknya cowok, kalau manis anaknya cewek”,
begitu katanya. Hmmm, pasti dulu jaman Ibu saya mitoni rujaknya super manis
dweeeh. Wakakakakak.
DARI JAMAN JAYABAYA
Menurut
banyak sumber, tradisi nujuh bulan ini berawal dari masa pemerintahan Raja
Jayabaya. Saat itu ada salah seorang warganya yang bernama Niken Satingkeb.
Niken ini sudah sembilan kali mengandung dan melahirkan. Namun tidak ada
satupun anaknya yang berhasil hidup. Karena menginginkan ada generasi penerus,
bersama suaminya yaitu Sadiya, Niken pun menemui Raja untuk meminta saran. Oleh
Raja Jayabaya, Niken disuruh untuk mandi keramas pada jam lima sore khususnya
hari Rabu dan Sabtu. Untuk mengambil air mandinya juga menggunakan siwur atau
gayung dari batok kelapa. Setelahnya ia diminta berganti busana yang bersih.
Dan sejak saat itulah, pasangan Niken-Sadiya berhasil memiliki momongan. Nah,
gambarannya adalah bahwasannya siapapun orang tua yang menginginkan memiliki
putra diperlukanlah laku kesucian dan kebersihan. Karena itulah agar anak yang
lahir ini baik, maka bayi dalam kandungan khususnya saat memasuki tujuh bulan
juga harus disertai laku prihatin dari kedua orang tuanya. (Matur nuwun rujak mitoninya ya Pupuuuttt,.. maniiiisss)
LEMPAAARRR
Nah,
satu hal yang paling seru dan dinanti dalam tradisi nujuh bulanan adalah adegan
lempar kerikil. Siapa ? Yang lempar ? Yang dilempar ? Ikuuuutttt. Hahaha. Nggak
semuanya bisa ngelempar lah. Kerikil atau pecahan genteng (kreweng.Jawa) ini
akan dilemparkan oleh anak-anak kecil ke dinding atau atap kamar si Ibu hamil.
Dipilihnya anak seusia ini tentu saja karena energi mereka nggak kaya kita yang
mirip banteng ketaton kalau suruh lempar-lempar. Selain itu mereka juga
menggambarkan para bocah pangon. Bocah pangon ini adalah gambaran anak kecil
jaman dahulu kala yang bertugas menjaga binatang ternak sebagai biaya hidupnya.
Nah dari ini diperoleh makna bahwa haruslah “bocah pangon” yang melempari
kerikil itu dengan maksud agar si jabang bayi ini pun tidak memandang remeh
orang-orang yang kastanya dinilai lebih rendah. Karena setinggi apapun derajat
seseorang, tetaplah memerlukan “bocah pangon” ini. (“bocah pangon = kaum papa).
So, are you ready ? Lempaaarrrrr.
Usai
melempar-lempar, anak-anak yang berperan sebagai “bocah pangon” ini akan berebut tumpeng ambeng yang memang
dikhususkan untuk dihabiskan oleh mereka. Dan kemudian bersiaplah untuk
menyaksikan keriangan anak-anak yang akan diolesi boreh (ramuan berwarna kuning) oleh si Ibu hamil. Konon, anak yang
ditorengi ini adalah yang menarik
perhatian si Ibu. Yang ganteng lah, yang cantik lah, yang lucu lah,... Biar
nularin kali ya. *Buuu, dulu Ibu norengin
Dian Sastrowardoyo ya Bu ??
Yang
pasti sih kalau kita mau menggali lebih dalam lagi, pada setiap sisi upacara
tradisi sebenarnya terdapat makna untuk selalu mengingat dan berserah pada Sang
Pencipta. Bahkan semua itu dimulai sejak kita dalam kandungan Ibunda.
♫Tak
lelo lelo lelo ledhung,.....♪
Negeri kita kaya akan ragam budaya bangsa. Tulisan ini mengingatkan saya akan peringatan : ngupati, mitoni, tedak siti, siraman, jual/beli dawet pakai uang koin kuno, lempar2an daun sirih, ... sambil mendendangkan 'langgam' ...yg paling kuingat : cah angon cah angon penekno blimbing kuwi ... maturnuwun diajeng.
BalasHapusSakonduripun Mbakyu.. semoga berkenan
Hapus