Hey, Mr. Postman

Surat pernah menjadi salah satu bagian mesra dalam kehidupan kita. Saya beruntung terlahir di era 80'an. Karena masih sempat merasakan menanti Pak Pos dan ramai-ramai menyelipkan sepucuk surat di Brievenbus sepulang ekskul.

• oleh : Anita Wiryo Rahardjo •

Saat berseragam putih biru, rasanya wajib menengok jendela kantor TU sekolah setiap berangkat atau istirahat. Surat untuk kita akan dipajang disana.

Meski tak hobi korespondensi, ada sekitar 10 surat saya terima melalui alamat sekolah. Semua pasti dari saudara sepupu atau kerabat lain yang sepantaran di luar kota. Eh, ada satu surat balasan hasil korespondensi yang kemudian dibuka ramai-ramai begitu ketahuan siapa pengirimnya. Yes, Rio Febrian, jawara Asia Bagus saat itu yang sudah jadi idola baru. Padahal hanya isi biodata dan foto, tapi tetap saja jadi rebutan.

Bis surat

Jika mendapat kiriman surat cukuplah menunggu di rumah atau sekolah, maka untuk mengirimnya kami harus ke Kantor Pos. Beruntung, SMP N 1 Purbalingga ini dekat sekali dengan Kantor Pos. Namun kecenderungan malas mengantri di loket untuk membeli perangko, membuat saya dan kawan-kawan satu genk memilih memanfaatkan bis surat besar yang ada di luar Kantor Pos. Selain itu, lewat bis surat inilah kami dapat mengirimnya sewaktu-waktu sepulang ekskul. Saya baru mengetahui bahwa nama asing bis surat ini adalah Brievenbus justru setelah tak lagi melakukan surat-menyurat. Ya, brievenbus yang kadang oleh beberapa kawan cowok malah diisi bungkus rokok yang selalu mereka sembunyikan saat sekolah.

Keisengan para cowok ini menjadikan kami mulai bertanya-tanya. "Jangan-jangan kotak besi itu nggak pernah dibuka, hingga jadi tempat sampah, dan surat kami tak pernah sampai", begitu pikiran buruk kami berkecambuk. Namun betapa lega hati ini, ketika suatu waktu melihat seorang Pak Pos tengah membuka kotak tersebut dan mengambil tumpukan surat dari sana. Fiiiiuuuwww. Eh, bungkus rokoknya ? Yup, bagi Pak Pos mereka sudah biasa mendapati benda-benda "asing" masuk Brievenbus. Ini diamini pensiunan pegawai Kantor Pos Purbalingga, Pak Sarmin Djoyo dan Pak Sutardi akhir tahun 2016 lalu. "Mungkin sama mereka dikira tidak fungsi ya", kenang mereka. Naaahhhh !!!!

Terkait dengan sudah diangkat atau belum surat yang kita titipkan di Brievenbus, konon dulu bisa dicek secara kasat mata. Pada badan brievenbus kita akan menemukan tulisan : buslichting no 1, no 2 dan no 3. Lihat pada gambar.

Sementara dibawahnya lagi tertera seperti ini : de lichting no .... is geschied. Pengangkatan (kotak) no.... telah dilakukan.

Kantor Pos Purbalingga

Sungguh tidak mudah menyusuri keberadaan Kantor Pos di pusat kota ini. Ada sejak kapan ? Apakah ini dibangun bersamaan dengan mahaproyek de grote postweg 1000 km ? Mengapa dibangun tak jauh dari Pendapa ? Semua belum berani dipastikan. Bahkan, menurut Mas Ali Goshi yang saya temui di Kantor Pos Purbalingga, upayanya mencari informasi melalui Kantor Pos pusat di Bandung pun tak membuahkan hasil. Sehingga tak ada jalan lain selain mendengarkan kisah dari para sepuh Kantor Pos Purbalingga. Dan bersama Pak Sarmin Djoyo serta Pak Sutardi inilah, saya mencoba menilik kepingan-kepingan memori mereka beberapa masa yang lalu.

"Yang jelas, saya disini sejak tahun 60", tutur mereka berdua. Namun posisinya tak sama persis seperti saat ini. Kantor Pos saat itu berada lebih dekat dengan jalan masuk Pendapa. Meski sedikit kesulitan mendapatkan bayangan, tetiba saya ingat saat kecil bagian samping Kantor Pos saat ini (yang menjadi tempat transit paket) justru merupakan ruang utama dengan beberapa sekat dan ruang tunggu yang redup. "Hampir semua bangunan sudah nggak ada yang asli, kecuali itu rumah dinas Kepala Kantor Pos", kenang mereka.



Rumah Dinas ini berada di Jalan Onje, tepat di sisi utara Kantor Pos. Bagian teras depannya sudah tak lagi utuh akibat pelebaran jalan belum lama. Foto diambil saat proses awal pelebaran jalan. Jadi maaf yaaa.. agak berantakan. "Dulu ini ruang bendahara pos", tambah para Mbah Kakung ini.

Istilah Kantor Pos sendiri, di dalam “Buku Sejarah Pos dan Telekomunikasi di Indonesia (Jilid 1 – 1980)”, diungkapkan berasal dari bahasa Prancis, postcomptoir. Asal katanya dari comptoir dan ponere. Kedua kata ini diserap ke dalam bahasa Belanda menjadi kantoor dan posita atau post. Jadilah dikenal Postkantoor dalam bahasa Belanda. Yang kemudian dalam bahasa Indonesia menjadi Kantor Pos.

Jika Kantor Pos di Purbalingga ini tidak diketahui tahun berdirinya, maka yang mereka ingat adalah bahwa kantor pos ini memang yang pertama ada di Purbalingga. "Habis itu, baru dibangun Kantor Pos Bobotsari. Era-era Pelita I. Tahun 67'an kalau tidak salah", kata Pak Sutardi. Pembangunan kantor pos ketiga kota ini adalah di Bukateja dan diteruskan di hampir seluruh wilayah Purbalingga. "Tahun 70'an seingat saya bangunan gedung kantor pos Purbalingga ini sempat dibongkar", tambah Pak Sarmin Djoyo.

Melalui Kereta

Surat saat itu menjadi sarana komunikasi antar kota. Warga akan lebih banyak mengirim surat untuk tujuan diluar Purbalingga. "Kalau suratnya ke Semarang, ya kita anter dulu ke Kantor Pos Purwokerto. Nanti Purwokerto yang meneruskan ke Semarang", ujar Pak Sarmin Djoyo.



Dalam sehari para pegawai Kantor Pos ini akan melalukan lalu lintas surat sebanyak 3 ×, yaitu :

- Pertama : jam 05.00 mereka akan mengantarkan surat masuk ke alamat penerima. 
- Kedua : jam 17.00 mereka mengantar surat-surat keluar (termasuk dari Brievenbus) untuk Kantor Pos Purwokerto. 
- Dan ketiga : jam 20.00 mereka akan mengambil surat masuk telah melewati Kantor Pos Purwokerto untuk disortir dan kembali diantarkan ke rumah-rumah keesokan paginya.

"Lalu lintas ke Purwokerto masih pakai kereta Mbak yang di Kandanggampang itu. Kalau untuk nganter ke rumah-rumah, kami masih mengalami yang pakai sepeda", kenang mereka. Tak hanya itu, saat kebagian shift malam pun tak jarang mereka akan menyortir surat sampai dini hari. "Kalau malam Lebaran, kami malah bisa nggak pulang. Soalnya banyak sekali kiriman kartu Lebaran", lanjut mereka.

Pak Sarmin Djoyo bahkan mempunyai kisah unik selama bertugas menjadi "Pak Pos". Saat hendak mengantarkan surat-surat itu ke stasiun Kandanggampang, sepeda motor dinasnya ditabrak. Ia luka parah.Namun karena seragam yang dikenakannya, masyarakat pun ramai-ramai menolong agar surat itu tak terlambat dibawa kereta. Oouuuwwwhh, surat memang dipentingkan sekali pada saat itu.

1919

Inilah angka tahun yang tertera di badan Brievenbus. So ? "Mungkin memang pembuatannya tahun itu Mbak, tapi apakah di Purbalingga sudah ada dari 1919 kami tidak dapat memastikan", tutur mas Ali.

Ditambahkan Pak Sarmin Djoyo, brievenbus ini dulunya banyak ditempatkan di pertigaan atau perempatan. Namun yang berukuran besar memang seingatnya sudah ada di Kantor Pos sejak ia menjadi karyawan. "Dulu di halaman depan, terus dipindah ke samping (masuk Jl. Onje). Wong saya ikut mboyongnya", imbuh Pak Supardi.



Foto diambil sekitar bulan Oktober 2016. Saat proses awal pelebaran jalan dimulai. Posisinya kok miring ya ? Menurut mas Ali bergesernya brievenbus terjadi akibat gempa Jogja dulu. Ooooh, saya kira kena alat berat saat proses pelebaran jalan Onje.

Menurut kisah kedua pensiunan karyawan kantor pos ini, brievenbus ini pernah menjadi saksi kisah cinta salah seorang mantan Bupati Purbalingga. "Dulu Pak Kento kirim surat buat Ibu lewat brievenbus ini", cerita mas Ali. Waaaahh... saya iri. Jaman saya kenal kamu, surat sudah digantikan dengan sms. Makanya kamu nggak romantis.

Kini, lalin surat memang tak lagi se-traffic dulu. Namun bis surat (mungkin) masih bisa menjelaskan seperti apa perannya dulu. 


Komentar