Kula nuwun..
Wilujeng Enjing..
Andum slamet...
Wilujeng Enjing..
Andum slamet...
Ketiga kosakata ini tengah kembali
akrab ditelinga. Saya dibisiki bahwa inilah salam Penginyongan (boleh dibaca :
panginyongan).
• oleh : Anita Wiryo Rahardjo •
Tak banyak yang bisa saya lakukan
selain terbengong-bengong saat diminta membawakan sebuah acara kedinasan dalam
bahasa penginyongan. Dimana persiapan yang diberikan tak lebih dari 24 jam.
"Teyeng ora ?", batin saya.
Karena meski dalam lingkup pergaulan, bahasa ini menjadi keseharian, namun
tidak demikian di dalam rumah.

Dalam sebuah sesi diskusi yang
menghadirkan narasumber budayawan Ki Ahmad Tohari ini, saya jadi sedikit lega.
Meski kemudian cemas. Lega, karena yang pating blekethut menuturkan basa
penginyongan bukan saya seorang. Hampir semua peserta diskusi pun banyak
melakukan 'kesalahan' ucap. Karena telah menjadi kebiasaan, basa Jawa kromo
alusan lah yang lazim dituturkan dalam acara resmi. Dan ini jugalah yang
menjadikan pikiran cemas saya muncul. Foto diambil dari FB majalah ANCAS
Pengarang novel Ronggeng Dukuh Paruk
ini juga menjelaskan bahwa kikisnya basa penginyongan terjadi dikarenakan beberapa
hal. Diantaranya adalah :
1) Kedatangan Gandek atau utusan kerajaan Pajang yang menggunakan bahasa Jawa gaya keraton. Basa para gandek kemudian dikenal juga menjadi basa bandek ;
2) Sekolah. Terbukti kemudian di Jawa
Tengah kita hanya mengenal gaya pengucapan bahasa Jawa Tengah wetanan dalam
kurikulum;
3) Globalisasi ;
• dari O kembali ke A •
Inilah hal sulit. Mengucapkan KULO
menjadi KULA ternyata butuh energi besar. Kebiasaan yang sudah berlangsung
selama 3 dekade ini tak serta merta bisa diubah dalam beberapa jam. Belum lagi
kosakata keseharian lainnya.
Sedoyo -> Sedaya.
Mriko -> Mrika.
Monggo -> Mangga, dsb.
Namun tak berarti semua akhiran O
menjadi A. Apalagi kalau soal nama. Enggaaak laaaahhh... Nama belakang saya
tetap saja Wiryo Rahardjo. Bukan lantas karena penginyongan menjadi Wirya
Rahardja.
Konon penggunaan huruf A diakhir yang
tetap dibaca A bukan O adalah kebiasaan pada era Majapahit dahulu. Ah, belum
ada yang menjelaskan ini secara gamblang ke saya. Jadi tak tepat rasanya kalau
dipanjang-lebarkan.
Belajar dari karya sastra semacam
novel karya Ahmad Tohari ini bisa juga kok. Dilengkapi kamus dibelakangnya.
Kata keseharian lain tak kalah bikin
blimpet. Terbiasa mengatakan "kados niko" membuat saya kagok mengucap
"kaya nika". Lalu "matur suwun / kesuwun"
yang sulit dikatakan dibandingkan "matur nuwun". Atau
"badhe" yang lebih tepat diucap "ajeng" dalam versi
penginyongan. Wah, wah, wah !! Ini sepertinya akan lebih mudah dipelajari kalau
saya tinggal di desa asal Bapak. Bukan kenapa-kenapa. Karena kalau di pusat
kota, hampir semua telah meninggalkan bahasa ibu dalam keseharian. Apalagi anak-anak
era kini. Tak heran jika bahasa ibu (dalam hal ini karena saya tinggal di
Purbalingga ya berarti basa penginyongan) bisa terancam punah.
• Ada tatanan sopan santun •
Basa penginyongan atau basa cablaka
merupakan bahasa yang jujur dan setara. Egaliter. Sama seperti halnya bahasa
Indonesia. Semuanya MAKAN. Sementara dalam tatanan Jawa kromo ada NEDHA ada
DHAHAR ada MADHANG (versi kami). Lalu bagaimana dengan basa penginyongan ?
Memang perlu kepekaan disini. Meski tidak alus dan mengklung-mengklung, ada
penempatan kosakata krama bagi yang lebih tua atau dituakan.
Contoh : :
Ibu makan dulu saja = Ibu' dhahar rumiyin mawon mboten punopo = Rika dhahar disit ya kena, Yung.
Ibu makan dulu saja = Ibu' dhahar rumiyin mawon mboten punopo = Rika dhahar disit ya kena, Yung.
See ? Dhahar menjadi kata dipilih
bukan madhang. Kecuali kami seumur.
Susah-susah gampang sebenarnya.
Kuncinya jangan gengsi saja. Itu pesan beberapa sesepuh. Kadangkala perasaan
gengsi disebut ndesani memang melanda. "Padahal apa bedanya bantal dengan kampil. Apa lantas kampil derajatnya
dibawah bantal ? Wong ujudnya sama", kata salah seorang dari mereka
pada kesempatan terpisah. Dash !!
Kenyataan kita menempati wilayah di
sekitar Gunung Slamet, sepertinya harus mampu kita tunjukkan dengan penggunaan
basa penginyongan ini. Identitas. Itu saja. Bermula dari mengenal bahasanya
kita dapat mendalami budayanya. Ada pemikiran luhur didalamnya. Itu pasti.
Tinggal mau menggali atau tidak. Jika enggan mikir sejauh itu, minimal kita
jadi tak bingung bertanya saat tersesat. Apalagi kalau yang ditemui udah sepuh
dan tak lancar berbahasa Indonesia. Naaaahh.
Ngaku !! Yang minjem kumcer berbahasa
penginyongan ini siapa laaaah ?!?!?! Kok dirumah belum balik lagi koleksinya ?
(Alm) Mbah Tri ngapurane, jan rika bener kiye buku perwewehe mesti ilang nek
ora dijagani temenanan. Akeh sing melik jebule.
Setelah adanya kongres basa
panginyongan yang dilaksanakan pada kisaran akhir April lalu di Banyumas,
setidaknya kita memang mulai mencoba pelan-pelan. Untuk dunia sekolah, ada yang
berwenang memasukkannya di kurikulum. Nah, kita yang diluar itu dihadapkan pada
kenyataan yang tidak mudah. Sanggupkah menjadikannya basa pedinan / sehari-hari
(pertanyaan ini untuk saya kok) ? Karena untuk ngobrol dengan tetangga sebelah
pun saya tak berani nyambat "rika", "ngono" apalagi
"ko" meski usianya lebih muda. Ia pernah begitu marah merasa tak
dihormati saat seorang penjual cilok bertanya padanya "Rika tumbas pinten Bu ?"
Wis disit lah. Nyong kayong mandan puyeng. Kakehen ndobos ndean
kiye. Sepurane angger akeh salahe. Tegin belajaran.
Ditulis 10 Mei 2017
Ditulis 10 Mei 2017
Komentar
Posting Komentar