Langsung ke konten utama

Kok dikasih "jangan wayu" sih ?

Apa yang harus dilakukan saat menerima kiriman 'jangan wayu' ? Wayu bukankah berarti basi ?

• oleh : Anita Wiryo Rahardjo •

Mata masih belum sepenuhnya terbuka lebar. Namun bising menjelang sore memang menjadikan malas untuk kembali melanjutkan tidur siang.

Tok..tok..tok... "Mbak.. mbak...", terdengar suara mereka diluar. Suara pasangan penganten anyar ini membuat saya terkesiap. "Mesti kirim jangan wayu kiye", pikir saya seraya melesat membuka pintu sambil pikiran berkecambuk menerawang isi dompet.

Kirim jangan wayu menjadi salah satu tradisi yang dilaksanakan setelah akad atau resepsi berlalu beberapa hari. Bisa dibilang tradisi ini bertujuan untuk mengenalkan istri pada keluarga besar suami ataupun orang-orang yang dianggap penting oleh suami. Sebagian menyebutnya dengan istilah kirab penganten.

Pawitan

Kirab penganten ini bisa saja diiringi oleh pihak keluarga perempuan. Namun tak jarang hanya penganten berdua saja yang berkeliling dari rumah ke rumah yang telah ditentukan sebelumnya. Biasanya siapa saja keluarga besar yang akan kedatangan kirab penganten ini sudah diberi tahu sebelumnya. Namun tak jarang untuk non keluarga, kedatangan penganten anyar ini seolah menjadi kejutan. (ilustrasi diambil dari sini)

Ya, kejutan. Pertama karena itu menandakan bahwa si pria penganten anyar ini memberikan respek yang besar pada keluarga kita sehingga ia merasa perlu sowan dengan istrinya. Yang kedua dengan kedatangan kirab maka kita pun wajib memberikan pawitan atau modal untuk kehidupan rumah tangga mereka yang baru saja dimulai. Nominalnya tak ditentukan. Sesuai kehendak si empunya rumah saja. Jadi, jika ada seorang dekat yang baru menikah berjaga-jagalah jangan terburu nafsu memberangus isi dompet. Siapa tahu, keluarga kita termasuk yang akan mendapat surprise semacam ini. Hehe....

Jangan Wayu

Seperti namanya kirim jangan wayu, mereka memang datang dengan membawa buah tangan berupa makanan. Paling sering ditemukan adalah nasi dan lauk pauknya. Lengkap. Jika saat akad pengantin pria membawa ubo rampe berupa bahan makanan mentah mulai dari sayur mayur hingga seekor kambing, maka bisa biasanya itu jugalah yang akan dimasak sebagai 'jangan wayu'.

(ilust : menu rantangan diambil dari sini)

Bisa dimakan ? Hehehe.. jelas bisa. Kirim jangan wayu bukan berarti mereka mengirimkan sayur basi. Karena yang wayu ini pengantennya. Mereka sudah bukan lagi raja dan ratu sehari. Jadi, jangan wayu yang mereka kirim jelas save untuk dikonsumsi. Wong biasanya juga malah masih kebul-kebul kok.

Dalam tradisi lawas, sebelum pihak perempuan kirim jangan wayu ke keluarga laki-laki, ia sudah 'disiram' dulu dengan kiriman sayur bening daun kelor. Kelor (moringa) ini luar biasa bermanfaat bagi kesehatan. Usai hajatan energi kadangkala drop parah. Dan kelor yang dimasak jangan bening (sayur bening) akan menjadi pilihan tepat untuk menyegarkan stamina. Dan sebagai balasan dikirimlah jangan wayu pada keluarga laki-laki.

"Mbak, kami pamit ya..", terdengar suara mereka lagi. Ah iya.. ini memang kali pertama untuk saya pribadi menerima kedatangan kirab penganten yang tengah kirim jangan wayu. Saya nyengir sembari berbicara dalam hati padamu, "Mengko duit belanjaku diganti ya"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BATIK PURBALINGGA DIMULAI DARI ERA NAJENDRA

Sore yang terbalut hujan. Seketika nama udan liris mampir di pikiran. Eh, lalu bagaimana dengan truntum, kawung, lumbon, sekar jagad atau bahkan cebong kumpul ? Semarga kan ? (Oleh : Anita W.R.) Pertanyaan itu kian menggelitik setelah pertemuan pertama saya dengan seseorang ini terjadi pada Desember 2013. Satu kalimat yang saya ingat darinya adalah " Batik Purbalingga itu sudah punya khas sejak awal ". Antara takjub, bingung dan tidak mudheng , rangkaian penasaran itu saya endapkan hingga menuju 2 tahun. Ya, bicara Batik, banyak informasi, artikel sampai literatur yang membahasnya. Namun batik Purbalingga, hanya sekelumit yang saya ketahui. Padahal saya ada di kota ini sejak lahir dan tinggal dikelilingi beberapa pembatik sepuh. Memori saya pada bagian ini sepertinya tidak terlalu baik, sampai-sampai sulit membacanya. Tapi kalau boleh, ijinkan saya menyebut nama mereka satu per satu. Eyang Din, Mbah Sastro, dan Mbaeh Nana adalah nama-nama pembatik sepuh yang...

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah...

Brambang Jae dan Larangan Pementasan Wayang Kulit

Nama petilasan ini adalah Brambang Jahe. Nama yang unik ya? Cukup menggelitik tanya di benak, apakah di petilasan ini terdapat pohon bawang merah dan pohon jahe. Yang tentu saja jawabannya adalah tidak. Petilasan brambang Jahe ini sudah masuk dalam daftar inventaris Benda Cagar Budaya (BCB) kategori bangunan makam. Meski nilai sejarahnya masih dipertanyakan, namun kecenderungan masyarakat menyakralkan tempat ini dan juga folklore yang terus hidup menjadikan Brambang Jahe sebagai salah satu petilasan yang diistimewakan. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai kuburan Brambang Jahe. Brambang Jahe terletak di Kelurahan Purbalingga Kidul, tepatnya di utara Stadion Guntur Darjono Purbalingga. Dahulu, makam ini terdapat di tengah persawahan. Tidak ada seorangpun yang berani membongkarnya. Bahkan sampai ketika tempat tersebut disulap menjadi stadion skala nasional pun, Brambang Jahe tetap ada. Dan untuk melindunginya dari tangan-tangan jahil, dibangunlah pagar keliling pada ma...