Namanya Orak-Arik

Adegan di layar sedang seru-serunya. Mata mulai tak mau berpaling. Namun tangan masih terus bergerak hingga dasar toples. "Yaaahhh, habis", saya pun menyesali mengapa hanya sebungkus orak-arik yang saya beli.

• oleh : Anita Wiryo Rahardjo •

Usai mampir ke pasar Bobotsari beberapa hari lalu, satu bungkus orak-arik pun bertengger manis di tas belanjaan. Saya langsung teringat cerita Ny. Naenah, salah seorang puteri pemilik Bioskop Indra Bobotsari. Orak-arik menjadi menu khas yang dijajakan pedangan asongan di dalam bioskop pada era 70'an.

Mireng



Warna-warni kerupuk mie menjadi pemandangan menarik begitu belanjaan dibongkar. Aroma bumbu pedas manis mulai menggoda untuk sigap mencomot orak-arik ini. Tak terlalu kriuk memang. Tapi enaaaaakk.

Nama orak-arik banyak disebutkan oleh mereka yang tinggal di wilayah utara Purbalingga. Terutama. Bobotsari dan sekitarnya. Sementara yang lain menyebutnya sebagai 'mireng pedes'.

Mireng adalah singkatan dari mie goreng. Bukan mie instan lho. Tapi kerupuk mie kuning yang berbahan dasar singkong dan aci dengan bumbu ketumbar. Mireng biasanya disajikan di warung-warung. Remuk-remuk saja dan taburkan diatas seporsi bakso atau soto. Atau langsung jadi camilan pun enak.

Sedangkan untuk menjadi orak-arik, mireng harus di'besta' dulu. Dimasak dalam bumbu pedas manis buatan tangan. Cabai, bawang putih, garam dan gula merah diulek halus dan ditumis. Persis sambal. Kemudian masukkan mireng yang telah diremuk sampai bumbu pedas merata. Gurih, pedas dan manisnya jadi alasan untuk tak henti-henti mengunyah. Satu lagi... muuurrraaah. Harga eceran warung, ukuran jajanan bocah hanya Rp. 1.000,-. Nyam nyam nyam... ayo kriukin lagi sembari siapkan filmnya.

Komentar