Langsung ke konten utama

KOTA KUNA : saat di Jl. jendsud Timur

Jika saya menyodori foto ini (khusus untuk masyarakat perkotaan Purbalingga) apakah Panjenengan mengenalinya ? Taukah bahwa ini foto bangunan Gereja Kristen Jawa (GKJ) Purbalingga ?

• oleh : Anita Wiryo Rahardjo •

Saya masih sangat lemah teknik fotografi pada 2013 silam. Jadi maafkan, jika foto yang tergantung di dinding ruang rapat GKJ ini malah tak seindah aslinya.

Gereja Kristen Jawa (GKJ) Purbalingga berada di deretan Jl. Jendral Soedirman timur. Jalur utama yang dikenal berada di kawasan Bancar. Banyak bangunan peninggalan kolonial masih berdiri disana. Hingga dulu pernah dicetuskan penyebutan "Kota Kuna Purbalingga" disana. Sekarang masihkah ada istilah ini ?

Keberadaan rumah ibadat Kristen dan penyebaran ajaran ini dimulai sejak era pendudukan Belanda. Ini seperti yang disampaikan Pdt. Slamet Waluyo, saat kami berbincang 4 tahun silam.

• Cikal Bakal

Sebenarnya cikal bakal pertama GKJ ya di Banyumas. Dalam sejarahnya, pada 1850-an, sembilan orang buruh miskin tukang mbatik yang menjadi pembantu Ny. Van Oostrom Phillips di Banyumas, nekat berjalan kaki menerabas desa dan gunung menuju Semarang. Tujuan mereka adalah mendapatkan tanda baptis dari Zendeling NZG W. Hoezoo pada 10 Oktober 1858. Mereka sampai melakoni ini karena pemberian tanda baptis di Karsidenan Banyumas oleh Zendeling tersebut dilarang oleh pemerintahan kolonial setempat. Selanjutnya dalam mempelajari agama maupun melantunkan kidung pujian, mereka hanya bermodalkan hapalan. Itulah kelebihan mereka sebagai buta aksara. Ftoto diunduh dari sini

Tumbuhnya kelompok Kristen awal ini segera disusul tumbuhnya kelompok lain hasil dari Pekabaran Injil Nederlandche Gereformeerde Zending Vereniging (NGZV) yang mulai bekerja di Jawa Tengah sejak 1865. Seperti di Tegal dan Purbalingga. Khusus Purbalingga, tak hanya wilayah perkotaan saja namun juga Bobotsari dan Bojong.

Awal di Kandanggampang

Sejarah Pekabaran Injil di Purbalingga dimulai dari tokoh penginjil berkebangsaan Cina asal Amoy bernama Gan Kwee. Pada 1862, ia bertemu Kho Tek San di kota ini yang kemudian mengikuti Pekabaran Injil (PI). Namun belum cukup apa yang diperoleh pedagang hasil bumi keturunan Cina ini, Gan Kwee lebih dulu meninggalkan Purbalingga guna PI di wilayah lain.

Awal 1865, Guru Injil bernama Leonard mencoba meneruskan upaya PI Gan Kwee. Hingga kemudian kediaman Kho Tek San pun dijadikan pos pelayanan Injil. Dari situ, keluarga Kho Tek San lainnya (termasuk yang keturunan Jawa) ikut menerima pengajaran. Kurang lebih sepuluh anggota keluarga Kho Tek San ini lalu menerima tanda baptisan saat ada kunjungan DS A. Vermeer di Purbalingga. Ini terjadi pada 1866. Dan guna mempermudah pelayanan ibadat, dibangunlah Gereja sederhana di Kandanggampang. Pada pembukaan Gereja ini turut hadir Gubernur Jendral Mr. P. Meyer yang kebetulan meninjau Purbalingga pada 26 Oktober 1892.

Bangunan baru pada 1926

Setelah NGZV menyerahkan tugas PI pada De Gereformeerde Kerken in Nederland pada 1 Juni 1894, diadakanlah pembagian wilayah. Dan untuk mempermudah hubungan antara Gereja di Belanda dan di tanah Jawa, maka ditetapkan Gereja Pengutus. Dan Gereja-gereja Rotterdam & Zuid Holland memilih daerah Karsidenan Banyumas, Kabupaten Banyumas dan Purbalingga, distrik Purwokerto dan Ajibarang. Pendeta utusan pertama adalah Ds. Gerrit J. Ruyssenaers yang bertempat di Purbalingga pada 4 November 1901 - 5 Juni 1907. Ia meninggal karena disentri. Upayanya dilanjutkan dengan utusan PI kedua yaitu Ds. Benhard Jonathan Esser. Pada masa Esser inilah :

* dirintis Rumah Sakit yang diprakarsai M. Van Stokkum di Trenggiling pada 1910
* dibuka sekolah oleh Nn. Y.A.H. Weeda pada 1913
* dan didirikan gedung Gereja baru yang dapat menampung 600 orang dengan biaya 8.888 Gulden pada 23 November 1926.
 Sayang, foto ini tidak diketahui kapan pembuatannya. Apakah usai didirikan pada kisaran 1926 atau lebih.

Mandiri

Mencuatnya nama Kyai Sadrach Suropranoto menjadi awal lahirnya kemandirian Gereja Kristen di Jawa ini dengan tata cara, tata busana, tata nyanyian hingga tata ruang bangunan tempat ibadat agar tidak kebarat-baratan. Ironi memang, bahwasannya budaya Barat ini sempat dikira sebagai bagian dari ajaran agama.

Upaya mandiri tidaklah mudah. Dalam perjalanannya, meski tokoh keagamaan mulai mandiri, namun dana dan ajaran masih bergantung Zending. Berkait kedatangan Jepang pada kisaran tahun 1942-1943, ternyata menjadikan hubungan dengan Eropa terputus. Hal ini dikarenakan banyak Pendeta Missi yang ditawan Jepang. Barulah jauh usai Indonesia merdeka, Gereja-gereja Jawa tak lagi melanjutkan kerjasama PI dengan Eropa. Dan mulailah dikenal nama Gereja Kristen Djawa.

Bangunan Cagar Budaya

Jika bangunan GKJ sudah mengalami beberapa kali perombakan, maka peninggalan Zending yang masih dapat dilihat adalah rumah tinggal Pendeta yang berada di sebelah gereja. "Pintunya gede-gede, lantainya tegel kotak-kotak berwarna abu-abu", kata Pdt. Slamet Waluyo, S.Si.


Bangunan rumah tinggal ini telah masuk daftar inventaris BCB Purbalingga. Luasannya mencapai 15 m × 15 m dengan atap genteng berbentuk limasan. Di pintu utamanya terdapat pintu kasino kayu dengan bouven terbuka. Jendela ditutup krepyak kayu dengan bouven yang juga ditutup kisi-kisi kayu. Sayangnya, saya kehilangan file foto bangunan ini. Maklum saja, 4 tahun berlalu dan file sudah entah berantakan dimana. Uh, sungguh keteledoran yang menyesakkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BATIK PURBALINGGA DIMULAI DARI ERA NAJENDRA

Sore yang terbalut hujan. Seketika nama udan liris mampir di pikiran. Eh, lalu bagaimana dengan truntum, kawung, lumbon, sekar jagad atau bahkan cebong kumpul ? Semarga kan ? (Oleh : Anita W.R.) Pertanyaan itu kian menggelitik setelah pertemuan pertama saya dengan seseorang ini terjadi pada Desember 2013. Satu kalimat yang saya ingat darinya adalah " Batik Purbalingga itu sudah punya khas sejak awal ". Antara takjub, bingung dan tidak mudheng , rangkaian penasaran itu saya endapkan hingga menuju 2 tahun. Ya, bicara Batik, banyak informasi, artikel sampai literatur yang membahasnya. Namun batik Purbalingga, hanya sekelumit yang saya ketahui. Padahal saya ada di kota ini sejak lahir dan tinggal dikelilingi beberapa pembatik sepuh. Memori saya pada bagian ini sepertinya tidak terlalu baik, sampai-sampai sulit membacanya. Tapi kalau boleh, ijinkan saya menyebut nama mereka satu per satu. Eyang Din, Mbah Sastro, dan Mbaeh Nana adalah nama-nama pembatik sepuh yang...

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah...

Brambang Jae dan Larangan Pementasan Wayang Kulit

Nama petilasan ini adalah Brambang Jahe. Nama yang unik ya? Cukup menggelitik tanya di benak, apakah di petilasan ini terdapat pohon bawang merah dan pohon jahe. Yang tentu saja jawabannya adalah tidak. Petilasan brambang Jahe ini sudah masuk dalam daftar inventaris Benda Cagar Budaya (BCB) kategori bangunan makam. Meski nilai sejarahnya masih dipertanyakan, namun kecenderungan masyarakat menyakralkan tempat ini dan juga folklore yang terus hidup menjadikan Brambang Jahe sebagai salah satu petilasan yang diistimewakan. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai kuburan Brambang Jahe. Brambang Jahe terletak di Kelurahan Purbalingga Kidul, tepatnya di utara Stadion Guntur Darjono Purbalingga. Dahulu, makam ini terdapat di tengah persawahan. Tidak ada seorangpun yang berani membongkarnya. Bahkan sampai ketika tempat tersebut disulap menjadi stadion skala nasional pun, Brambang Jahe tetap ada. Dan untuk melindunginya dari tangan-tangan jahil, dibangunlah pagar keliling pada ma...