Langsung ke konten utama

Postingan

TUK WINONG

"Kalau tidak kebeneran, pulang dari sini bisa sakit", katanya saat mengantar kami menuju pesarean Eyang Kertapati siang itu. (Oleh : Anita W.R)  Sabtu siang di musim kemarau dampak el-Nino, salah seorang atasan mengajak saya mengunjungi sebuah mata air yang tak pernah kering. Bahkan pada musim kemarau sekalipun. Tuk ini berada di Kali atau Sungai Kabong grumbul Padaurip, dukuh Loji, desa Prigi. Saat itu matahari sudah hampir menuju puncaknya. Namun gemericik air yang terdengar sepanjang ladang jagung yang kami lalui terasa menyejukkan. Pak Mad Wiyardi, salah seorang sesepuh yang mengantar kami ke lokasi menyarankan sowan sejenak di pesarean Eyang Kertapati. Leluhur desa sekaligus ' penjaga ' Tuk Winong. Dalam bahasa Jawa Banyumasan, pria sepuh yang kini sibuk bertani ini memintakan ijin kedatangan kami siang itu. Ketika ditanya maksud dan tujuan, kami serempak menjawab, "sekedar main". Karena memang itu tujuan awal kami. Yang ada dibenak ka...

NITIS GULA JAWA

"Kerso kèréng Mba ? Diunjuk kalih teh pait nggeh ?", tanya Mbok Tua, demikian saya memanggilnya, sembari menyerahkan mangkuk berisi ummmm... mirip gula merah. (Oleh : Anita W.R.) Siang itu, matahari bersinar dengan teriknya di kaki pegunungan Pelana, Karang Anyar, Kabupaten Purbalingga. (Nama desa ada di foto sebelah ini) Maklum katanya tengah dinaungi El-Nino sehingga kemarau datang lebih panjang. Dan ini cukup menguntungkan bagi para pembuat gula merah rumahan. Di bawahan (dapur khusus untuk mengolah gula), saya mendapati Bapa Tua tengah nitis yang telah dimulainya sejak pagi. Aroma wangi karamel langsung membuat saya terus menghirupnya dalam-dalam. Gula Merah atau sebagian menyebutnya dengan Gula Jawa, memang difavoritkan. Konon gula ini sudah ada sejak masa Nusantara. Terbuat dari nira kelapa atau badhég menjadikannya jauh lebih menyehatkan dibanding gula putih. Pekerjaan nitis yang tengah dilakoni Bapa Tua itu ternyata menghabiskan 40 kg badheg ya...

ALUN-ALUN PURBALINGGA

" Ana Ndara Kanjeng, nyembah.. nyembah ", kenang Mbah Jupri saat diajak berbincang seputar Alun-alun Purbalingga (oleh : Anita W.R.). Memori masa kecil pria sepuh yang dikenal sebagai penjual dawet keliling ini berbeda jauh dari apa yang saya temui dua dekade silam. Tak hanya jaman yang berubah, nilai Alun-alun sebagai tradisi Nusantara pun seolah menguap. Kini kita melihatnya semata hanyalah taman luas di pusat kota yang dikelilingi Kantor Pemerintahan, Masjid, Pasar dan Penjara. Alun-alun memang sangat identik dengan pusat kota. Bahkan Alun-alun sudah menjadi salah satu identitas bagi kota-kota di Pulau Jawa yang berlangsung sejak masa Pra-Kolonial. Secara pasti kapan dan dimana Alun-alun pertama dibentuk memang tidak ada catatannya. Namun menurut informasi yang bersumber dari Wacananusantara.org, pada rentang abad ke-13 sampai 18 atau pada masa Majapahit hingga Mataram, Alun-alun selalu menjadi bagian dari suatu kompleks Keraton. (Ket foto : ...

17-8-2015

Ada sesuatu yang berbeda di peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia kali ini. Satu yang paling jelas terlihat adalah pementasan drama tari kolosal perjuangan yang dihelat di banyak wilayah di negeri kita. Tak ketinggalan Purbalingga pun menampilkan kisah perjuangan menuju detik-detik Proklamasi dan perjalanan Panglima Besar Jendral Sudirman dalam Serangan Umum 1 Maret. Sebanyak 200 pemeran dipersiapkan sejak seminggu sebelum peringatan detik-detik Proklamasi digelar di Alun-alun Purbalingga. Mereka terdiri dari pelajar dan pengajar SMP N 3 Purbalingga, SMA N 1 Purbalingga, SMK Penerbangan, Kodim 0802, Polres Purbalingga dan Lanud Wirasaba. Sutradara drama kolosal, Serma Waluyo yang ditemui saat briefing akhir di halaman Pendopo Dipokusumo mengungkapkan harapannya melalui aksi teaterikal ini. " Semoga generasi muda bisa lebih memaknai lagi perjuangan para Pahlawan yang telah mengorbankan jiwa dan raga demi kemerdekaan Indonesia...

KAMPEL WANGON

Musim dingin ini memaksa kita untuk terus dan terus mengunyah agar tak kehilangan panas tubuh. Selain menu-menu berkuah, jenis gorengan pun tak ketinggalan disajikan sebagai teman minum kopi atau teh panas. Salah satu yang bisa jadi pilihan adalah Kampel. Ya, atis-atis ya cocoke kampelan (*) . Haaaiiiizzzzz.....  Tak pelak ocehan seorang kawan asli Ajibarang ini memancing keriuhan. Otak-otak mulai berputar mencari topik yang lebih hangat lagi. Hahaha.. Bicara soal Kampel, inilah menu khas daerah Wangon, Banyumas. Salah satu marga gorengan yang malah mengingatkan saya pada sandwich. Rotinya adalah irisan ketupat, inti atau isinya diganti dengan dage dan sausnya menggunakan sambal ulek yang pedesssss. Susun sandwich khas Wangon ini dengan rapi dan celupkan ke adonan tepung goreng dan.... sreeeeenngg. Suapan pertama Kampel ini terasa aneh dimulut saya. Ada efek kenyal dari ketupat yang berpadu dengan rasa khas dage yang manis-gurih-pahit plus sambelnya yang pedes. Tapi sel...