ALUN-ALUN PURBALINGGA



"Ana Ndara Kanjeng, nyembah.. nyembah", kenang Mbah Jupri saat diajak berbincang seputar Alun-alun Purbalingga (oleh : Anita W.R.).


Memori masa kecil pria sepuh yang dikenal sebagai penjual dawet keliling ini berbeda jauh dari apa yang saya temui dua dekade silam. Tak hanya jaman yang berubah, nilai Alun-alun sebagai tradisi Nusantara pun seolah menguap. Kini kita melihatnya semata hanyalah taman luas di pusat kota yang dikelilingi Kantor Pemerintahan, Masjid, Pasar dan Penjara.

Alun-alun memang sangat identik dengan pusat kota. Bahkan Alun-alun sudah menjadi salah satu identitas bagi kota-kota di Pulau Jawa yang berlangsung sejak masa Pra-Kolonial. Secara pasti kapan dan dimana Alun-alun pertama dibentuk memang tidak ada catatannya. Namun menurut informasi yang bersumber dari Wacananusantara.org, pada rentang abad ke-13 sampai 18 atau pada masa Majapahit hingga Mataram, Alun-alun selalu menjadi bagian dari suatu kompleks Keraton. (Ket foto : Alun-alun Purbalingga tempo dulu)

Keberadaan Alun-alun dalam Keraton Majapahit pernah dituliskan Mpu Prapanca dalam Negarakertagama. Dalam pola masyarakat tradisional masa lalu Keraton ini merupakan pusat pemerintahan atau pusat kebudayaan. Nah, Majapahit disebutkan memiliki 2 bidang tanah luas berbentuk segi empat di salah satu sisi Keratonnya. Satu berfungsi sebagai pesta rakyat dan lainnya untuk kegiatan sakral seperti Penobatan Raja. Serta terdapat kompleks pemujaan didalamnya.

Sementara itu pada masa Mataram, Alun-alun juga digunakan sebagai tempat rakyat biasa bertemu Raja guna meminta pertimbangan atas sebuah perselisihan. "Aktivitas ini disebut dengan pepe", ujar Triatmo, penulis Babad Purbalingga. Dalam prosesnya diterima atau tidaknya pepe seseorang ini akan disampaikan oleh seorang gandek atau prajurit yang menjadi penyampai pesan sebelum rakyat bertemu langsung dengan Raja-nya.

Tidak hanya itu, Alun-alun pada masa Pra-Kolonial juga kerap dijadikan sebagai tempat berlatih perang para prajurit yang dikenal dengan istilah gladi yudha, sebagai pusat perdagangan rakyat sampai hiburan. Dalam beberapa artikel menyebutkan hiburan yang paling sering dipertontonkan adalah rampog macan (mengeroyok harimau) atau sodoran (perkelahian antara banteng dengan harimau). Dan sejak masuknya Islam di Pulau Jawa, pusat pemujaan yang semula ada di dalam Alun-alun, berubah menjadi didirikannya Masjid di sebelah barat Alun-alun. Jadi pada awalnya Alun-alun difungsikan sebagai lambang keagamaan, pemerintahan, keprajuritan, perekonomian sampai tempat berkumpulnya rakyat atau hiburan.


Di Purbalingga, Alun-alun bunder menjadi salah satu landmark yang cukup populer. Dalam sejarahnya, identitas inipun sudah ada berbarengan dengan didirikannya Pendopo Kabupaten saat Ki Arsantaka menyarankan putranya, Dipayuda III untuk memindahkan pusat Pemerintahan dari des Karang Lewas, Kutasari menuju desa Timbang saat itu. Kini desa Timbang hanya sebuah dusun di wilayah desa Purbalingga Kidul. "Kira-kira tahun 1759", kata Triatmo.(Ket foto : lukisan Alun-alun tempo dulu karya Koko Singgih)

Tempat yang lebih datar dan subur serta dekat dengan sumber air Klawing menjadi beberapa pertimbangan dipindahnya pusat pemerintahan itu. Sehingga kemudian tempat ini dikenal dengan sebutan Purbalingga. Purba artinya semula, Lingga dari kata Linggar maksudnya dipindah. Ini seperti yang tertuang dalam salah satu bait dandanggula yang menyatakan tentang asal-usul nama Purbalingga. Dan pusat pemerintahan yang baru inipun menerapkan konsep tata kota yang setipe dengan Keratonan yang ada.

Dalam KBBI, Alun-alun diartikan sebagai tanah luas dimuka keraton atau dimuka kediaman resmi Bupati dsb. Dan sebagai miniatur Kraton, Purbalingga pun menempatkan Alun-alun dimuka Pendopo, Masjid di sebelah barat serta Penjara di sebelah timur.

Lambang perekonomian rakyat lambat laun berganti dengan keberadaan pusat-pusat perbelanjaan atau kantor dagang didekat Alun-alun. Model ini diperkirakan muncul berbarengan dengan menjamurnya kantor polisi atau penjara bahkan kantor pos di dekat pusat Pemerintahan sebagai bentuk pencitraan baru kota Jawa saat masa Kolonial. Hingga kemudian dikenal istilah kota Indisch untuk yang menerapkannya. Indish adalah perpaduan budaya Jawa dan Belanda. Bahkan beberapa bangunan berarsitektur dataran Eropa itupun mulai terlihat bermunculan disekitaran pusat kota. Hal ini mulai melunturkan identitas Alun-alun sebagai karakter dan jatidiri pribumi.

Alun-alun yang sejatinya melambangkan kesatuan makrokosmos dan mikrokosmos pun menjadi terlupa. Alun-alun, tak terkecuali Purbalingga bahkan pernah menjadi tempat bermain tenis yang hanya dinikmati sekelompok orang saja. Alun-alun tak lagi sakral itulah yang kita rasakan saat ini. Keberadaan Beringin yang semestinya bisa menjadi salah satu pengingat para pemimpin pun kini tak ubahnya sebagai pelengkap di tanah lapang itu.

"Dulu beringin ada banyak. Hampir disetiap sudut ada. Kalau Bupati lewat Alun-alun, kami masih memberikan sembah", tutur Mbah Jupri dalam bahasa Banyumasan yang kental. Beringin yang memiliki kanopi rindang ini memang memberikan kesejukan. Begitupun seorang Raja yang seyogyanya bisa menghadirkan keteduhan dalam kepemimpinannya. Akar yang tertanam kuat juga menyiratkan kekuasaan Raja yang berakar pada rakyatnya. Tak hanya itu keberadaan Alun-alun yang luas juga sering diistilahkan sebagai jembare Alun-alun bermakna pada pola pikir Raja yang harus berpandangan luas. Jembar nalare. (Foto : Jupri menyusuri jalan Jambu Karang di barat Pendopo, yang pada jaman dulu masih banyak terdapat buah manggis)

Keberadaan Alun-alun ini memang satu sumbu dengan Keraton. Sehingga Raja dan Rakyat bisa saling melihat aktivitasnya satu sama lain. "Sebenarnya ini bentuk transparansi. Tapi kalau sekarang ya nggak tau ya. Apalagi ada tembok didepan Pendopo. Harusnya sih tidak boleh ada penghalang apapun antara Pendopo dengan Alun-alun", lanjut Triatmo.

(ket : Seluruh foto hitam putih dapat di googling dengan kata kunci Purbalingga tempo dulu) 

Bagi generasi Purbalingga yang terlahir pada periode 80-90'an tentulah teringat pada istilah "Alun-alune papat". Ketika dikonfirmasi pada Triatmo ternyata maksudnya adalah bukan Purbalingga yang memiliki 4 buah Alun-alun namun dibagi menjadi 4 bagian. Dimana ada jalan ditengah-tengahnya. "Jika berdiri tepat di pertengahan simpang jalan maka kita akan bisa melihat kota Purbalingga mentok sampai Kodim, Jalan Jendral Sudirman serta  sedikit desa Purbalingga Kidul", terangnya. Ini tentu saja berkaitan dengan kegiatan monitoring.

(Ilustrasi : anak-anak bermain di Alun-alun saat malam minggu) Kini wajah Alun-alun Purbalingga memang berubah. Dulu yang seingat saya jumlahnya "papat" dan sepi kini selalu ramai dikunjungi, padat dengan tenda-tenda kuliner diseputarannya dan mendapat julukan Alun-alun Bunder. "Saya pribadi tidak sreg dengan bentuknya yang bunder kaya tampah itu. Ditambah lagi ditinggikan. Karena agar seimbang Rakyat dan Raja itu harus sejajar. Alun-alun itu kan lambang Rakyat, Pendopo lambang Raja. Ini menurut saya pribadi lho", pungkasnya di sela-sela obrolan siang itu. Sementara itu Mbah Jupri pun berkata jika ia kini justru takut berjalan-jalan di Alun-alun. "Mbok ketabrak montor", kekehnya.

Memang sulit mengembalikan fungsi awal Alun-alun di saat sekarang ini. Tapi minimal ini mengingatkan kita pada pedoman "papat kiblat lima pancer" yang turut mendasari proses terbentuknya Alun-alun. Sebuah pedoman yang berguna untuk kita berperilaku entah sebagai pimpinan, sebagai rakyat atapun sebagai manusia.

Komentar