"Kalau tidak kebeneran,
pulang dari sini bisa sakit",
katanya saat mengantar kami menuju pesarean Eyang Kertapati siang itu. (Oleh :
Anita W.R)
Sabtu
siang di musim kemarau dampak el-Nino, salah seorang atasan mengajak saya
mengunjungi sebuah mata air yang tak pernah kering. Bahkan pada musim kemarau
sekalipun. Tuk ini berada di Kali atau Sungai Kabong grumbul Padaurip, dukuh
Loji, desa Prigi.
Saat
itu matahari sudah hampir menuju puncaknya. Namun gemericik air yang terdengar
sepanjang ladang jagung yang kami lalui terasa menyejukkan. Pak Mad Wiyardi,
salah seorang sesepuh yang mengantar kami ke lokasi menyarankan sowan sejenak
di pesarean Eyang Kertapati. Leluhur desa sekaligus 'penjaga' Tuk Winong.
Dalam
bahasa Jawa Banyumasan, pria sepuh yang kini sibuk bertani ini memintakan ijin
kedatangan kami siang itu. Ketika ditanya maksud dan tujuan, kami serempak
menjawab, "sekedar main". Karena memang itu tujuan awal kami. Yang
ada dibenak kami adalah grujugan air bersih yang dingin. Tempat main yang tepat
diwaktu panas.
Tak
jauh dari pesarean sampailah kami pada sebuah bangunan baru. Tidak besar. Hanya
sekira 3 x 5 meter. Aktivitas tampaknya sedang berlangsung. Ada yang mandi,
mencuci atau sekedar menampung air dengan jerigen, cerek dan sebagainya. Mad
Wiyardi pun mulai bercerita jika bangunan ini baru saja berdiri sekitar 2 tahun
lalu. Ini dilakukan agar warga tidak harus nyucruk kali (berjalan di sepajang tepi sungai) demi mendapat air bersih. Kini
grujugan yang kami bayangkan memang tak lagi terlihat, berganti pipa yang
terhubung dari tepian grumbul Padaurip ke seberang di dukuh Loji. Pemilihan
pembangunannya di dukuh Loji bukan tanpa alasan. Secara teknis, mata air itu
berupa air rembesan dari salah satu sisi tanah di grumbul Padaurip yang
letaknya diatas. Dan untuk mempermudah, maka bangunan inipun ada di wilayah
dukuh Loji yang sejajar dengan mata air. Ditambah pesarean sang empunya ada di
dukuh Loji.
Ropingah,
salah seorang warga yang kebetulan bertemu siang itu menyatakan jika air di tuk
Winong ini memiliki rasa yang segar. Sehingga tidak mengherankan warga tetap
mengambil air di tuk meski sudah memiliki sumur sendiri. "Sumurnya buat
mandi sama nyuci, kalau minum ya ambil dari sini saja soalnya seger",
ujarnya. Ropingah dan beberapa warga lainnya memang acap memanfaatkan tuk ini
untuk mencuci baju. Namun itu hanya bisa dilakukan selama hari cerah. "Kalau hujan banjir sampai jembatannya nggak
keliatan", katanya sembari bergidik ngeri. Ya, kali Kabong dimana tuk
Winong mengalir kedalamnya memang beberapa kali menelan korban saat banjir.
Padahal saat kemarau seperti ini salah satu sisi sungai benar-benar kering.
Kecuali di sekitar Tuk Winong.
Keistimewaan
itulah yang menjadikan tuk Winong sebagai salah satu pelengkap syarat penampil
Dames. Salah satu seni tradisi yang pernah hidup di dukuh Loji ini. (Soal Dames, semoga esok saya dapat info lengkapnya deh)
Delapan
gadis belia penari Dames, diwajibkan mandi di Tuk Winong pada malam Kliwon
sebelum tampil. Hal ini dipercaya bisa memberikan tuah tersendiri. Meski Dames
yang pernah diketuai Mad Wiyarji tak lagi ada, Tuk Winong masih terus menyimpan
"pamor"nya untuk mereka yang meyakini.
Wah, saya kemarin Rabu 23/9 juga kesini mba. Cari asal usul siapa itu eyang Kertapati, ternyata sespuh di Prigi tidak banyak yg tahu. Kebetulan saya sedang ditugasi Dinbudparpora Purbalingga untuk menulis ensiklopedia toponimi, semacam asal usul nama tempat/petilasan. Lain waktu mungkin bisa sharing mba atau kunjungan bareng. kurniawan.ganda1990@gmail.com
BalasHapusKatanya malah ada Petilasan Mbah Adipati Prigi juga Mas, tapi saya nggak sempat ke lokasinya. Nggeh kalau sempat, Panjenengan mampirlah ke salah satu media di sebelah Balai Wartawan Purbalingga saja Mas. Saya 'nongkrong' disana. Nuwun.
HapusIya mba, di depan Balai Desa Prigi itu ada makam Braja Pati, ada juga petak tanah yg diduga petilasan Sirna Baya. Adipati Prigi itu tubuhnya di potong2 jadi 3 dan kuburannya jg terpisah pisah. Bagian perut disebut Adipati Purwaningrat (makam utara Prigi), bagian kepala disebut Adipati Penawangan (masuk krgklesem) dan bagian kaki Adipati Mangkunegara. Syangnya sy hnya tau nama nama itu saja, sy nnti akan cari narsum lain lg yg tahu perjalanan para leluhur prigi ini.
BalasHapusOw njenengan penyiar ardilawet ya?
Sya kbetulan jg masih aktif sbg wartawan Harian Banyumas di Pbg sejak Maret lalu. Tugas menulis Toponimi dari Dinbudparpora ini jg saya lakoni dg wartawan lain spt mas Mahendra Yudhi (aspirasi), Ryan Rachman (SM), Joko Putut (Radar Banyumas) dan Pak Hardi (humas Pemkab). Sya kebagian wilayah di barat spt Padamara, Kalimanah, sebagian kemangkon atau kaligondang.
Oooooh yayaya.. Di Kalimanah yg pernah sy datengi langsung ya Makam Wilah Mas. Untuk 'asal-usul' Kalimanah sy baru dapat sebatas data tertulis dari Pak Triatmo. Cukup lengkap, tapi kalau blm dtg sendiri belum marem... kalau Kaligondang yg sy inget ya paling watu kambang. Nek Kemangkon malah kayaknya sy blm liputan kesana
BalasHapus