Pada dasarnya saya tidak terlalu suka ngemil. Saat
menulis saya lebih memilih ditemani secangkir kopi tanpa gula. Tidak ada
cemilan apapun. Karena memang tidak suka. Bukan masalah takut gemuk kok, wong
saya bakat kurus. Tapi bekerja di lingkungan yang suka coba-coba kuliner, saya
pun jadi terbawa (meski saat bareng-bareng saja, saya jadi suka ngemil).
Dan seorang teman menyarankan untuk mencoba MANCO.
Weits, mata saya membelalak. Ingat jaman kecil saat masih ngekor kondangan.
Hahaha, banyak Manco itttuuu. Iya kan ? Biasanya disajikan di toples kaca besar
dan berat. Keliatan
isinya tuh dari luar. Bentuknya lonjong dengan wijen yang nempel di
sekelilingnya. Kadang jadi oleh-oleh juga bareng sohibnya yaitu kue lempit,
semprong, sempeleo dsb. Aaaaahhh, jadi kangen jajanan macam begitu. Sudah
jarang banget nemuinnya.
ASLI TIONGKOK
Dari
namanya saja, Manco ini terdengar bukan diambil dari bahasa Jawa. Dan memang
benar dugaan ini, karena menurut salah seorang produsen Manco Barokah di Kauman
Purbalingga, Fadil Sabani, bahwa makanan ini berasal dari Tiongkok. “Nama aslinya itu kalau tidak salah Mauco”, katanya saat
memulai obrolan kami siang itu. Ehem, semoga saya tidak salah tulis ya. Fadil
sendiri memang tidak terlalu paham mengenai asal muasal makanan ini. Namun
menurut cerita yang didengarnya sejak kecil bahwa Manco yang diproduksi
keluarganya secara turun temurun memang banyak dipesan oleh warga keturunan
Tionghoa yang tinggal di Purbalingga. “Biasanya
untuk acara nikahan, jadi semacam seserahan kalau dalam tradisi kita”,
ujarnya. Ya, Manco memang kerap menjadi salah satu dari paket Ting Jing atau
“seserahan” dalam tradisi pernikahan atau lamaran selain Tingting dan
sebagainya. “Mereka akan beli bijian,
misal seratus biji untuk seserahannya, kemudian baru harganya kita timbang
sesuai jumlah kilonya”, terangnya. Karena memang Manco produksinya dijual
dalam bentuk curah. Tapi ada juga sih yang sudah packaging.
Selain
sebagai hantaran, Manco juga dikenal sebagai cemilan enak. Citarasa awalnya
adalah manis dengan bahan dasar utama tepung ketan. Manco yang asli, menurut
Fadil adalah yang terbuat dari tepung ketan dengan toping beras ketan merah
putih. (Ini kalau tidak salah yang disebut dengan kue Lauwa deh ya). Waaaah, kok saya belum pernah liat yang begini ya. Dan ini jugalah yang
kerap dipesan sebagai hantaran warga keturunan Tionghoa untuk acara tersebut. Sedangkan
yang dibuat dari tepung tapioka dengan taburan wijen adalah salah satu varian
hasil adaptasi snack ini. “Rasanya juga
sudah dimodifikasi sedikit gurih, biar akrab di lidah semua orang”, ujarnya
sembari meminta saya membandingkan kedua macam Manco yang diproduksinya itu.
Yuuhuu,
test food. Hahaha, Pak Fadil tau saja yah kalau saya sudah menanti dimonggokan
mencicip. Manco ketan produksinya dibuat dengan bentuk lonjong, taburannya sih
udah wijen. Rasanya memang jauh lebih empuk tapi tetep kriuk. Ada efek “pyuk”
di mulut. Semacam komposisi lembut ringan namun bisa pecah berkeping di dalam
sana. Aiiihhh. “Hehehe, ini yang sudah
ompong juga masih bisa makan Mba”, candanya. Sementara Manco tapioka dibuat
bulat-bulat kecil. Lebih keras tapi lebih gurih. Warnanya juga lebih cokelat
dibanding Manco ketan. Enak mana ? Selera sih. Tapi Manco ketan buat saya jauh
lebih di hati. (Khusus foto Lauwa disamping diambil dari www.kaskus.co.id)
USAHA KELUARGA
Manco
Barokah yang kini digeluti Fadil adalah perusahaan keluarga yang sudah dibangun
oleh kakek buyutnya sejak puluhan tahun silam. “Nggak tau pastinya sih Mba. Yang jelas saya ini generasi ke-4”,
ujarnya. Namun sejak ditangannya lah, Manco Barokah mengenal teknologi. Tepatnya
mulai 2006.
Yap,
sudah menjadi rahasia umum jika makanan tradisional kerap makan waktu dalam
proses pembuatannya. Begitupun Manco. Butuh 20 hari sejak awal proses. Mulai
dari membuat tepung sampai packing. Heeemm, saya kira sehari kelar kayak bikin
cake. Lama juga ya ? “Karena itulah kami nggak berani terima pesanan mendadak.
Minimal H-3”, katanya. Lho, bukannya sudah pakai teknologi ya ? Naaah, ini nih.
Jadi Manco Barokah masih tetap mempertahankan beberapa step yang harus dilalui
secara tradisional. Yang pakai teknologi ya hanya mesin pengaduk adonan, mesin
penggoreng dan pengering saja. “Semua
mesin saya buat sendiri, karena kasihan sama pembuatnya yang sudah tidak rosa
(kuat) lagi, hehe”, katanya yang diamini para karyawannya itu.
Selain
waktunya yang lama, tenaga kerja menjadi permasalahan tersendiri bagi Fadil. “Nggak ada anak muda yang mau belajar bikin
Manco”, katanya. Kecuali itu faktor “bakat” pun turut mempengaruhi
seseorang untuk menekuni pembuatan Manco yang sangat njlimet ini.
BEREDAR LUAS
Terbukti
melalui tangan-tangan terampil itulah Manco yang diproduksi Fadil telah
merambah Jawa Bali. Bahkan kerap dipesan oleh beberapa usaha Manco di Jawa
Timur. “Biasanya mereka beli curah dan
kasih label sendiri Mba”, katanya. Waduh !! Apa nggak rugi ya ? Fadil hanya
tersenyum. Baginya yang terpenting adalah orang-orang menyukai Manco kreasi
keluarganya itu. Oh iya selain Manco, di tempat ini pun saya menemukan deretan kue satu atau kalau kami menyebutnya "KOYAH" yang tengah dijemur.
Nggak berasa, secangkir teh yang tersaji sudah habis.
Titik kulminasi matahari juga sudah sedikit bergeser ke barat. Mereka yang bekerja
di Jalan Achamd Nur Kauman itu pun sudah mulai beristirahat. Berati sudah
waktunya pulang sembari menyimpan manis legitnya Manco Barokah Purbalingga di
ingatan.
mampir ya, numpang baca-baca
BalasHapusjangan lupa mampir balik ke blog saya
Monggo silakan,..
HapusMaaf mau nanya kue manco nya jual pwr pack apa per...
HapusMbak, boleh minta kontak nya manco barokah? Thanks.
BalasHapus0281-891484
BalasHapusMaaf mau nanya....apa kue manco nya di jual per pack apa curah ya...tnks
BalasHapusAda pack ada curah... monggo langsung saja memghubungi produsennya. Bapak Fadil Manco Barokah Purbalingga 08122701998 atau 0281-891484
HapusKalau curah manco wijen per kg brapa pak ya....makasih
BalasHapus