Langsung ke konten utama

Secangkir Teh Manis & Legitnya MANCO siang itu

Pada dasarnya saya tidak terlalu suka ngemil. Saat menulis saya lebih memilih ditemani secangkir kopi tanpa gula. Tidak ada cemilan apapun. Karena memang tidak suka. Bukan masalah takut gemuk kok, wong saya bakat kurus. Tapi bekerja di lingkungan yang suka coba-coba kuliner, saya pun jadi terbawa (meski saat bareng-bareng saja, saya jadi suka ngemil).

• Oleh : Anita Wiryo Rahardjo •

Dan seorang teman menyarankan untuk mencoba MANCO. Weits, mata saya membelalak. Ingat jaman kecil saat masih ngekor kondangan. Hahaha, banyak Manco itttuuu. Iya kan ? Biasanya disajikan di toples kaca besar dan berat. Keliatan isinya tuh dari luar. Bentuknya lonjong dengan wijen yang nempel di sekelilingnya. Kadang jadi oleh-oleh juga bareng sohibnya yaitu kue lempit, semprong, sempeleo dsb. Aaaaahhh, jadi kangen jajanan macam begitu. Sudah jarang banget nemuinnya.


ASLI TIONGKOK

Dari namanya saja, Manco ini terdengar bukan diambil dari bahasa Jawa. Dan memang benar dugaan ini, karena menurut salah seorang produsen Manco Barokah di Kauman Purbalingga, Fadil Sabani, bahwa makanan ini berasal dari Tiongkok. “Nama aslinya itu kalau tidak salah Mauco”, katanya saat memulai obrolan kami siang itu. Ehem, semoga saya tidak salah tulis ya. Fadil sendiri memang tidak terlalu paham mengenai asal muasal makanan ini. Namun menurut cerita yang didengarnya sejak kecil bahwa Manco yang diproduksi keluarganya secara turun temurun memang banyak dipesan oleh warga keturunan Tionghoa yang tinggal di Purbalingga. “Biasanya untuk acara nikahan, jadi semacam seserahan kalau dalam tradisi kita”, ujarnya. Ya, Manco memang kerap menjadi salah satu dari paket Ting Jing atau “seserahan” dalam tradisi pernikahan atau lamaran selain Tingting dan sebagainya. “Mereka akan beli bijian, misal seratus biji untuk seserahannya, kemudian baru harganya kita timbang sesuai jumlah kilonya”, terangnya. Karena memang Manco produksinya dijual dalam bentuk curah. Tapi ada juga sih yang sudah packaging.


Selain sebagai hantaran, Manco juga dikenal sebagai cemilan enak. Citarasa awalnya adalah manis dengan bahan dasar utama tepung ketan. Manco yang asli, menurut Fadil adalah yang terbuat dari tepung ketan dengan toping beras ketan merah putih. (Ini kalau tidak salah yang disebut dengan kue Lauwa deh ya). Waaaah, kok saya belum pernah liat yang begini ya. Dan ini jugalah yang kerap dipesan sebagai hantaran warga keturunan Tionghoa untuk acara tersebut. Sedangkan yang dibuat dari tepung tapioka dengan taburan wijen adalah salah satu varian hasil adaptasi snack ini. “Rasanya juga sudah dimodifikasi sedikit gurih, biar akrab di lidah semua orang”, ujarnya sembari meminta saya membandingkan kedua macam Manco yang diproduksinya itu.


Yuuhuu, test food. Hahaha, Pak Fadil tau saja yah kalau saya sudah menanti dimonggokan mencicip. Manco ketan produksinya dibuat dengan bentuk lonjong, taburannya sih udah wijen. Rasanya memang jauh lebih empuk tapi tetep kriuk. Ada efek “pyuk” di mulut. Semacam komposisi lembut ringan namun bisa pecah berkeping di dalam sana. Aiiihhh. “Hehehe, ini yang sudah ompong juga masih bisa makan Mba”, candanya. Sementara Manco tapioka dibuat bulat-bulat kecil. Lebih keras tapi lebih gurih. Warnanya juga lebih cokelat dibanding Manco ketan. Enak mana ? Selera sih. Tapi Manco ketan buat saya jauh lebih di hati. (Khusus foto Lauwa disamping diambil dari www.kaskus.co.id)


USAHA KELUARGA

Manco Barokah yang kini digeluti Fadil adalah perusahaan keluarga yang sudah dibangun oleh kakek buyutnya sejak puluhan tahun silam. “Nggak tau pastinya sih Mba. Yang jelas saya ini generasi ke-4”, ujarnya. Namun sejak ditangannya lah, Manco Barokah mengenal teknologi. Tepatnya mulai 2006.

Yap, sudah menjadi rahasia umum jika makanan tradisional kerap makan waktu dalam proses pembuatannya. Begitupun Manco. Butuh 20 hari sejak awal proses. Mulai dari membuat tepung sampai packing. Heeemm, saya kira sehari kelar kayak bikin cake. Lama juga ya ? “Karena itulah kami nggak berani terima pesanan mendadak. Minimal H-3”, katanya. Lho, bukannya sudah pakai teknologi ya ? Naaah, ini nih. Jadi Manco Barokah masih tetap mempertahankan beberapa step yang harus dilalui secara tradisional. Yang pakai teknologi ya hanya mesin pengaduk adonan, mesin penggoreng dan pengering saja. “Semua mesin saya buat sendiri, karena kasihan sama pembuatnya yang sudah tidak rosa (kuat) lagi, hehe”, katanya yang diamini para karyawannya itu.

Selain waktunya yang lama, tenaga kerja menjadi permasalahan tersendiri bagi Fadil. “Nggak ada anak muda yang mau belajar bikin Manco”, katanya. Kecuali itu faktor “bakat” pun turut mempengaruhi seseorang untuk menekuni pembuatan Manco yang sangat njlimet ini.


BEREDAR LUAS

Terbukti melalui tangan-tangan terampil itulah Manco yang diproduksi Fadil telah merambah Jawa Bali. Bahkan kerap dipesan oleh beberapa usaha Manco di Jawa Timur. “Biasanya mereka beli curah dan kasih label sendiri Mba”, katanya. Waduh !! Apa nggak rugi ya ? Fadil hanya tersenyum. Baginya yang terpenting adalah orang-orang menyukai Manco kreasi keluarganya itu. Oh iya selain Manco, di tempat ini pun saya menemukan deretan kue satu atau kalau kami menyebutnya "KOYAH" yang tengah dijemur.

Nggak berasa, secangkir teh yang tersaji sudah habis. Titik kulminasi matahari juga sudah sedikit bergeser ke barat. Mereka yang bekerja di Jalan Achamd Nur Kauman itu pun sudah mulai beristirahat. Berarti sudah waktunya pulang sembari menyimpan manis legitnya Manco Barokah Purbalingga di ingatan.

Komentar

  1. mampir ya, numpang baca-baca
    jangan lupa mampir balik ke blog saya

    BalasHapus
  2. Mbak, boleh minta kontak nya manco barokah? Thanks.

    BalasHapus
  3. Maaf mau nanya....apa kue manco nya di jual per pack apa curah ya...tnks

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ada pack ada curah... monggo langsung saja memghubungi produsennya. Bapak Fadil Manco Barokah Purbalingga 08122701998 atau 0281-891484

      Hapus
  4. Kalau curah manco wijen per kg brapa pak ya....makasih

    BalasHapus

Posting Komentar

Banyak Dicari

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah...

TRADISI WISUHAN

Daur hidup manusia tak lepas dari rangkaian adat istiadat. Saat memasuki 40 hari, dilaksanakanlah tradisi Wisuh atau Wisuhan. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Pagi itu seorang pria pensiunan Polantas sibuk mencari anak-anak kecil. Minggu pagi memang tak mudah mencari para bocah di rumah. Mereka sedang asyik jalan-jalan bersama keluarga tentunya. Beruntung ada tiga bocah kelas 1 SD yang baru bangun keluar rumah dan kemudian dimintalah mereka bersiap memperebutkan uang. Ketiganya hanya mantuk-mantuk bingung. Mereka tak tahu bahwa mereka tengah dilibatkan dalam tradisi Wisuh. • Cukur rambut • Didalam rumah, seorang bayi mungil sedang dicukur bergantian oleh dukun bayi dan pihak keluarga. Dalam kebiasaan lain, saat seperti ini juga sambil dibacakan shalawat. Namun tidak hari itu. Pemandangan ini berbeda dengan yang pernah dilakoni saudara sepupu saya. Menjelang hari ke-40 (bisa dimulai dari hari ke-35 atau selapan dina), dukun bayi yang biasa mengurus ia dan puteri kecilnya secara khus...