Langsung ke konten utama

Postingan

TLEGUK PENDELO

Namanya Jiwel. Sebagian menuliskannya dengan Ciwel. Entah mana yang lebih tepat. Tapi menyesuaikan dialek Banyumasan, saya lebih suka menyebutnya sebagai Jiwel. Lebih mantap dan lebih punel. Seperti rasanya yang gurih bersemu manis dengan komposisi yang terasa lembut namun kenyal. (Anita W.R.) Camilan berat ini adalah salah satu favorit keluarga saya, terlebih ketika sedang mudik di kampung halaman Bapak yang berada pada lereng Gunung Pelana. Jiwel ini terbuat dari ketela pohon atau singkong. Dalam bahasa Jawa, kadang disebut "budin". Katanya sih kalau di"buden"i (dituruti.Jawa) bisa jadi apa saja. Mau digoreng, rebus, bakar atau yang melalui proses lanjutan bisa. Sebut saja hasilnya ada lemet atau pipis, gethuk, cimplung, ondol-ondol sampai jiwel. Untuk membuatnya singkong yang telah bersih mesti diparut terlebih dulu. Kemudian diperas hingga tersisa ampasnya saja. Ampas inilah yang diberi tambahan garam dan dikukus. Proses dilanjutkan dengan menumbuk

KOLAK yang kalah saing

Kolak. Takjil ini wajib hadir pada setiap Romadlon. Bahkan generasi anak kost yang tengah pulang kampung pun berhasil memperkenalkan kolak versi praktis. Tak perlu ngantri dilayani satu per satu oleh penjualnya, kolak dalam gelas plastik pun bisa diorder. Semua bentuk modernisasi bisa diterima. Yang penting tetap KOLAK. Nikmatnya mentakjil kolak sayang kini hanya tinggal cerita lalu. Sampai jelang Lebaran, saya hanya 3 kali menikmatinya. Kaum Ibu tak lagi berhasrat mengolahnya. Penjual apa lagi. Tren takjil telah bergeser pada es krim, sop buah, chocolate hangat, pizza dan sebagainya. Meski bukan penggemar kolak, tren-nya yang terus menurun malah memancing saya berburu kolak dalam hari-hari terakhir puasa ini. Bukan hanya karena rasanya yang tak senikmat ini diluar Romadlon, tapi juga maknanya ituuuuu lho yang bikin nggak bisa tidur. Kolak disebut-sebut bermula dari proses pendekatan para Wali untu menyebarkan Islam. Kolak ini diambil dari kata “Khalik” yang berarti penc

DARI MOVIE DAY ACFFEST 2015 #PURBALINGGA

Jujur, foto ini favorit saya banget di helatan Mov!e Day ACFFest 2014 lalu.  Dan selang berapa bulan kemudian, saya dapat email yang mengabarkan akan kembali diadakan Roadshow Mov!e Day ACFFest di Purbalingga. Di tahun 2015 ini saja. Girang dong saya. Otomatis. Karena ini artinya, antusiasme sineas lokal dalam gerakan anti korupsi terbilang tinggi. Inget kan film Langka Receh yang pernah menang di tahun sebelumnya ? Singkat, padat dan sak nyatane . Tak perlu perjelas panjang lebar nanging Jleb, langsung tepat sasaran. Otomatis jadi mikir tah bahwa kembalian berupa permen adalah sesuatu yang salah ? Yang belum maksud, monggo silakan nonton filmnya saja dulu. Nah, tahun ini saya pun dapet kesempatan datang lagi ke Mov!e Day ACFFest. Apa yang saya dapatkan ? Buka saja disini . Selebihnya saya malah dapat aksi teman-teman media yang tumben pengen in frame juga. #Heeemmm.... Nak, Mas-Mba disamping ini gambaran masa depanmu juga kah ? Kalau iya, yuk jadi orang media yang nggak

MERIAHNYA FESTIVAL GUNUNG SLAMET

Festival Gunung Slamet (FGS) memang belum bisa disebut kelar. Namun rangkaian prosesi tradisi sudah bisa dipastikan selesai dihelat. Inilah Festival budaya pertama yang saya saksikan di Purbalingga. Berlokasi di Desa Wisata Serang, FGS digelar selama 3 hari berturut-turut mulai tanggal 4 hingga 6 Juni 2015 ini. HARI PERTAMA Keramahan penduduk lokal dan keterbukaan mereka untuk membagi banyak informasi membuat saya menyesal melewatkan helatan hari pertama yang justru penuh dengan nuansa sakralnya. Informasi yang saya dapatkan dari teman-teman media menyebut bahwa hari pertama FGS dilalui dengan perjalanan melewati jalan menanjak menuju Tuk Sikopyah di Dukuh Kaliurip. Inilah salah satu dari tiga mata air terbesar di lereng timur Gunung Slamet selain sumber air panas Guci dan Baturaden. Tak hanya penduduk Serang, mereka yang berasal dari Kutabawa, Siwarak, hingga perbatasan dengan Tegal dan Pemalang. Airnya dingin, segar dan super jernih. Bahkan menurut salah seorang warg

TLAGA KUTASARI, WISATA MURAH MERIAH BERTUAH

Setiap akhir pekan menyapa, pasangan muda-mudi dekat rumah sering berseloroh, “Ikut kami yuk, ke Tlaga”. Hmmmm, bener nih mau acara pacarannya saya gangguin ? Saya sih mau-mau saja, tapi takut akting sok tenggelamnya saya, bikin sang cowok berpaling dari pacarnya. Ups !! Eh, tapi nggak mungkin banget sih untuk pura-pura tenggelam di Tlaga ini. Yang ada kita benar-benar NYATA merasakan kedinginan. Brrrrrr. Saya menamainya “Dunia Terbalik” (hai teman-teman pemenang SCMP 2015, saya comot judulnya ya) Kolam ini terletak di salah satu sisi Tlaga. Pada malam Kliwon konon ada juga yang semedi di gundukan di tengah itu. Tlaga ini merupakan objek wisata lokal yang terletak di dusun Tlaga, desa Karang Cegak, Kutasari. Dari SMK Kutasari kita tinggal belok kiri dan…… tanya orang saja kalau bingung. * Ampppuuun, suer saya orangnya nyasaran . Penduduk setempat memang sudah sangat paham dengan Tlaga bernama Situ Tirta Marta ini. Tempat ini akan sangat ramai dikunjungi saat wee