Setiap akhir pekan menyapa, pasangan muda-mudi dekat rumah
sering berseloroh, “Ikut kami yuk, ke Tlaga”. Hmmmm, bener nih mau acara
pacarannya saya gangguin ? Saya sih mau-mau saja, tapi takut akting sok
tenggelamnya saya, bikin sang cowok berpaling dari pacarnya. Ups !! Eh, tapi
nggak mungkin banget sih untuk pura-pura tenggelam di Tlaga ini. Yang ada kita
benar-benar NYATA merasakan kedinginan. Brrrrrr.
Saya menamainya “Dunia Terbalik” (hai teman-teman pemenang SCMP
2015, saya comot judulnya ya) Kolam ini terletak di salah satu sisi Tlaga. Pada
malam Kliwon konon ada juga yang semedi di gundukan di tengah itu.
Tlaga ini merupakan objek wisata lokal yang terletak di dusun
Tlaga, desa Karang Cegak, Kutasari. Dari SMK Kutasari kita tinggal belok kiri
dan…… tanya orang saja kalau bingung. *Ampppuuun,
suer saya orangnya nyasaran. Penduduk setempat memang sudah sangat paham
dengan Tlaga bernama Situ Tirta Marta ini. Tempat ini akan sangat ramai
dikunjungi saat weekend, hari libur maupun malam Kliwon. Heemm, sepertinya
tempat ini dipercaya bertuah nih ya. Benarkah demikian ?
Well, saya memilih weekdays untuk mengunjungi Tlaga. Tak sampai
20 orang pengunjung yang datang sewaktu saya hari itu. Kebanyakan anak-anak.
Sepertinya mereka pulang awal dari sekolahnya dan mampir ciblon di tempat ini. Dan,..kriuuukkk….
Aroma mendoan panas langsung saja menjadi dirijen penghuni perut. Ya, di
pinggiran telaga memang ada beberapa warung yang menyediakan minuman hangat dan
mendoan. Menu ini memang paling pas di tengah udara adem yang ditawarkan tempat
ini. Saya pun menyesal mengenakan chiffon top yang tak mampu melindungi dari
hawa dingin ini. Saya benar-benar lupa jika desa ini berada di jalur kaki
Gunung Slamet. Jadi, saya sarankan tetap bawa jaket ya.
Di Situ Tirta Marta ini saya memang mendapati sebuah telaga
besar dengan dasar bebatuan yang makin menampakkan kejernihan airnya. Dibeberapa
sisinya terdapat bangunan irigasi, kamar ganti, kolam, bukit dan ladang Selada.
Suara riuh anak-anak membuat saya terpancing untuk menjajal dinginnya air.
Diiinggginn. Beberapa teman malah langsung menyerah dan berlari memegang gelas
kopi yang panas mengepul di meja warung. Pemandangan ini terasa menggelikan. Bocah nggunung ndimek banyu gunung kok
kademen. Akting pasti nih J
Tlaga memang mengalirkan banyak mata air. Namun hanya 7 yang
mudah dijangkau dan rutin dikunjungi. Yaitu : mata air / Tuk Wadas Putih, Tuk
Mindri, Tuk Mulang, Tuk Bayur, Tuk Gendani, Tuk Johar dan tuk Gedhe. Yang
mengalir ke dalam Tlaga adalah Tuk Gedhe yang juga dipercaya bisa mendatangkan
keberuntungan. Mulai dari awet muda, kenaikan pangkat serta keselamatan. Tuah
inilah yang kemudian membuat Tlaga ramai dikunjungi pada malam Selasa Kliwon
dan Jumat Kliwon.
Menurut informasi dari warga setempat, mereka yang berencana
melakukan ‘ritual’ akan datang sejak
pukul 22.00. Ada yang berendam,semedi ataupun mandi kembang. Jadi nggak aneh ya
jika kemudian sering ditemukan sisa-sisa kembang setaman maupun dupa di tempat
ini. Pengunjung pun akan sangat membludak pada hari-hari keramat ini. Bisa
sampai ribuan lho. Mereka ini datang dari berbagai kota, seperti : Cirebon,
Cilacap, Tasikmalaya, Jakarta bahkan Jombang. Prosesi disini biasanya dilakukan
perorangan atau per kelompoknya saja, tanpa juru kunci. Iya,iya,iya,…. Bagi
yang tidak akrab dengan hal-hal berkait ‘tuah’,
mari ambil nalarnya saja. Mandi dini hari bukankah baik untuk kesehatan. Saya
ingat beberapa keluarga yang mengalami stroke juga sering disarankan mandi pada
sekitar pukul 2 pagi kok.
Nah, terus nama Situ Tirta Marta dan Tlaga itu gemana toh asalnya ? Sebenarnya saya
juga bingung. Karena ada warga yang mengatakan nama Tlaga diambil dari kondisi
banyaknya tanaman Selada disekitarnya. Selada – Slada - Tlaga ?? Kok nggak
nyambung ya ? Tapi yang lebih sreg sih (masih kata warga sana lho ya) karena
banyaknya mata air sehingga dinamakan Tlaga.
Tak hanya asal-usul nama Tlaga yang masih beragam, nama Situ
Tirta Marta juga bernasib sama. Ada yang menyebut nama ini adalah pemberian
seorang pejabat Kabupaten pada tahun 65’an. Sementara ada pula yang mengisahkan
jika Tirta Marta merujuk pada nama seseorang yang menemukan dan merawat lokasi
ini untuk pertama kalinya, yaitu Marta atau Marto. Yo wes lah, nderek mawon..
Sebenarnya saya cukup betah duduk-duduk di tempat ini, meski
hanya ditemani mendoan plus sambel kecap dan segelas kopi instan (kopi hitam tanpa gulanya nggak ada ya ?).
Hanya saja beberapa sampah yang mengganggu pandangan. Mulai dari kamar ganti,
pinggiran Tlaga sampai sekitar warung pun tak luput dari salah satu aktivitas
favorit orang saat di luar rumahnya yaitu buang
sampah sakpenake. Padahal nih ya sampah paling mendominasi adalah bungkus
shampoo atau detergen. Ini jelaslah dikeluhkan warga yang ada di hilir. So,..
ayolah apa sih susahnya buang ke tempat sampah. Kalau memang nggak ada, bawa
deh kantong plastik dari rumah dan kumpulin dulu sisa sampah kita. Angkut
keluar dan cari tempat sampah tedekat. Jangan dicecerin gitu aja. Inget juga
nih karena di tempat ini juga terdapat sumber air PDAM yang dialirkan ke
rumah-rumah warga sampai ke perkotaan lho. Lagipula nggak klop deh kalau sudah
merasa dapat tuah junjung derajat
tapi masih bar-ber buang sampah sembarangan.
Sama-sama Kakaaaaaak... :) terimakasih sudah mampir.
BalasHapus