Kolak. Takjil ini wajib hadir pada setiap Romadlon. Bahkan generasi anak
kost yang tengah pulang kampung pun berhasil memperkenalkan kolak versi
praktis. Tak perlu ngantri dilayani satu per satu oleh penjualnya, kolak dalam gelas
plastik pun bisa diorder. Semua bentuk modernisasi bisa diterima. Yang penting
tetap KOLAK.
Nikmatnya mentakjil kolak sayang kini hanya tinggal cerita lalu. Sampai
jelang Lebaran, saya hanya 3 kali menikmatinya. Kaum Ibu tak lagi berhasrat
mengolahnya. Penjual apa lagi. Tren takjil telah bergeser pada es krim, sop
buah, chocolate hangat, pizza dan sebagainya. Meski bukan penggemar kolak,
tren-nya yang terus menurun malah memancing saya berburu kolak dalam hari-hari
terakhir puasa ini. Bukan hanya karena rasanya yang tak senikmat ini diluar Romadlon,
tapi juga maknanya ituuuuu lho yang bikin nggak bisa tidur.
Kolak disebut-sebut bermula dari proses pendekatan para Wali untu
menyebarkan Islam. Kolak ini diambil dari kata “Khalik” yang berarti pencipta
dari dunia dan seisinya, yaitu Allah SWT. Tak berhenti sampai disitu saja,
isian kolak pun tak luput dari makna filosofi yang dalam. Pisang kepok yang
lama-lama menjadi “kapok” dikuping bermakna agar kita senantiasa kapok atau
bertaubat dari segala kesalahan yang telah diperbuat. Belum lagi rasa khas
teloo pendem pun tak hanya sekedar pelengkap. Kitapun seyogyanya bisa memendam kesalahan
yang telah diperbuat agar tak kembali terulang. Jadi, mengapa kita harus
berpaling dari kolak ? Kalau hanya untuk diganti kudapan yang hanya sekedar
tren tanpa makna. Masih ada waktu kok untuk berburu kolak.
Komentar
Posting Komentar