Langsung ke konten utama

MERIAHNYA FESTIVAL GUNUNG SLAMET


Festival Gunung Slamet (FGS) memang belum bisa disebut kelar. Namun rangkaian prosesi tradisi sudah bisa dipastikan selesai dihelat. Inilah Festival budaya pertama yang saya saksikan di Purbalingga. Berlokasi di Desa Wisata Serang, FGS digelar selama 3 hari berturut-turut mulai tanggal 4 hingga 6 Juni 2015 ini.

HARI PERTAMA

Keramahan penduduk lokal dan keterbukaan mereka untuk membagi banyak informasi membuat saya menyesal melewatkan helatan hari pertama yang justru penuh dengan nuansa sakralnya. Informasi yang saya dapatkan dari teman-teman media menyebut bahwa hari pertama FGS dilalui dengan perjalanan melewati jalan menanjak menuju Tuk Sikopyah di Dukuh Kaliurip. Inilah salah satu dari tiga mata air terbesar di lereng timur Gunung Slamet selain sumber air panas Guci dan Baturaden. Tak hanya penduduk Serang, mereka yang berasal dari Kutabawa, Siwarak, hingga perbatasan dengan Tegal dan Pemalang. Airnya dingin, segar dan super jernih. Bahkan menurut salah seorang warga menyebut bahwa “banyune kinclong kaya disaring kopang kaping”. Warga mempercayai bahwa air Tuk Sikopyah ini dipercaya mampu mengobati penyakit kulit, menaikkan derajat sampai awet muda. Sehingga tak mengherankan jika mata air ini menjadi incaran para pertapa pada setiap malam Jumat Kliwon. Dalam helatan hari pertama ini, 40 warga terpilih menjadi pembawa lodong untuk mengambil air Tuk Sikopyah yang kemudian diarak dan disemayamkan di sebuah ruang khusus di Balai Desa Serang. (keterangan foto : kirab budaya hari ketiga)

Lodong adalah salah satu alat pengangkut air yang terbuat dari bambu besar dan panjang. Memang, sekarang sudah tidak ada orang mengangkut air dengan lodong, karena air Sikopyah juga telah dialirkan melalui pipa-pipa khusus ke seluruh desa bahkan hingga ke Mrebet. Nah, lazimnya upacara tradisi, seluruh proses ritual pun menggunakan bahasa daerah. Tentunya kali ini Bahasa Jawa ya. Dengan iringan seni Gumbeng, suasana jaman dahulu seolah diboyong ke tengah-tengah hiruk pikuk modernitas kini. Gumbeng ini merupakan alat musik tradisi yang terbuat dari bambu. Cukup dicukil saja di beberapa bagiannya sehingga membentuk seperti senar dan dimainkan dengan cara dipukul-pukul. “Bunyinya ting-tung-ting..ting-tung-ting”, ujar salah seorang sesepuh Desa Serang, Karso Wirya Hadi Pranata sembari terkekeh mengingat masa kecilnya bermain alat musik ini.  

HARI KEDUA

Jumat sore, inilah waktu yang saya tunggu-tunggu untuk menyaksikan langsung Festival Gunung Slamet. Meski lagi-lagi saya harus telat, beruntung ada beberapa teman yang berbaik hati bercerita serunya Perang Tomat dan Strawberry. Hikkks, saya hanya bisa mrebes mili mendengar teman-teman media yang berceloteh sembari pamer hasil jepretannya. #Teganya..teganya…

Agenda ini memang sebelumnya banyak menuai pro-kontra di sosmed, karena dikira membuat mubazir komoditas utama warga disana. Namun semua terjawab sudah. Bahwasannya tomat dan strawberry yang digunakan untuk perang adalah yang afkir atau tak layak konsumsi. Dalam perang ini, sekira 150 orang yang terdiri dari warga Serang, Kutabawa dan Siwarak serta beberapa pengunjung akan dibagi menjadi dua team. Mereka akan saling lempar buah tersebut dengan syarat tidak boleh mengenai kepala. Sorak-sorai pengunjung lainpun membahana. Menyaksikan kelucuan mereka yang harus berperang di arena khusus yang menyerupai kolam. Perang dibagi menjadi 3 sesi dalam waktu setengah jam. Sesi break digunakan untuk mengisi lagi amunisi (yaitu : buah-buahan yang tercecer itu) semabri berjoget. Beberapa wisatawan luar daerah pun tampak menikmati acara tersebut. Perang tomat dan strawberry ini terinspirasi tradisi jaman dahulu di desa Serang yaitu perang cambuk untuk unjuk kedigdayaan. Dan guna mengantisipasi terjadi luka antar peserta maka cambuk diganti dengan buah-buahan komoditas lokal yang sudah afkir. Dalam perang Tomat & Strawberry ini total mengabiskan masing-masing 1 kuintal buah.

Sebenarnya beberapa kesenian juga ditampilkan pada malam kedua ini. Tapi saya memilih menemui salah seorang sesepuh yang banyak ngobrol hingga sedikit larut. Matur nuwun Pak,…

HARI KETIGA

Inilah puncak perayaan Festival gunung Slamet. Dimana sejak pagi, warga ketiga desa yang disebut sebagai segitiga wisata (Serang, Kutabawa, Siwarak) bersolek untuk memeriahkan kirab budaya. Ribuan warga memadati lapangan SMP N 2 Serang di garis start. Beragam kelompok kesenian, tokoh masyarakat, anak-anak, orang tua, hingga hasil bhumi pun ikut dikirab menuju ke Rest Area Lembah Asri Serang. Eh, kuda si Luna juga ikut lho… Pasukan sempat berhenti sejenak di Balai Desa. Mereka dijemput 40 orang yang terdiri pemuda pemudi ketiga desa tersebut untuk memboyong air suci Tuk Sikopyah. Dengan lodong, mereka mengikuti jalanan yang naik turun untuk memberikan air terebut pada Dhalang Wayang Ruwat. Tak hanya itu, tumpeng Robyong yang berisi 7 buah, jajanan pasar dan degan kelapa ijo juga ikut diboyong menuju tempat pertunjukan Wayang Tunggal ini.


Selama setengah jam, warga disuguhi pertunjukan wayang yang mengisahkan legenda Tuk Sikopyah ini. Dimana tokoh Kyai Mustofa disbeut-sebut memiliki peran dalam penamaan Tuk ini. Kyai Mustofa adalah seorang Muslim yang dalam kesehariannya mengenakan peci jenis songkok yang terbuat dari kain beludru dengan tinggi antara 6 – 12 cm. Oleh sebagian orang, peci jenis ini juga disebut sebagai kopyah.

Kyai Mustofa ini seirng memanfaatkan air Tuk di lereng timur Gunung Slamet ini untuk keperluan bersuci sebelum Sholat. Pada suatu waktu, pecinya tertinggal di sekitar tuk. Sehingga jadilah tuk ini dikenal dengan  nama Tuk Kopyah atau Sikopyah. Meski demikian ada pula masyarakat yang mengenalnya dnegan nama lain. Tarwiyah (70) salah seorang warga Pratin mengatakan jika ia mengenal tuk Sikopyah dengan nama Sikupel atau Tejasari. “Dulu waktu kecil saya sering disuruh ambil air pakai lodong ke Sikupel atau Kopyah ini. Jalan kaki dari Pratin lho Mba”, kenangnya.

Selain kisah tertinggalnya peci Kyai Mustofa, di sekitar tuk juga terdapat sebuah batu yang dipercaya sebagai tempat sholat Kyai Mustofa yang madhepok di Dukuh Kaji ini. Batu ini dikenal dengan nama Watu Langgar. Langgar adalah sebutan lain dari surau. Tak hanya itu, tak jauh dari lokasi Tuk juga bias ditemui Cuug Ilang. Tempat ini konon erat kaitannya dengan keberadaan seorang tokoh yang mereka kenal sebagai Ndara Subali. Tokoh ini sering bersemedi di Sikopyah atapun Curug Ilang. Hanya saja frekuensi di Curug Ilang diperkirakan jauh lebih sering. Terus, kenapa coba namanya harus Curug Ilang ya ? “Jadi air dibawah curug ini tidak pernah penuh, sehingga disebut ilang. Namun setelah ditelusuri, airnya ternyata jatuh ke Tuk Mudal di Sangkanayu”, Kata Karso.  Cerita-cerita rakyat ini semula banyak tak terdengar lagi. Beruntung melalui event ini beberapa folklore dan tradisi masyarakat bisa kembali diperkenalkan. Minimal dengan mengetahuinya, kita jadi lebih menjaganya kan ?

Oya, usai pertunjukan Wayang Ruwat, air tuk Sikopyah ini dibagikan pada warga yang datang. Entah dibagikan atau diperebutkan sih, intinya semua orang merangsek ke depan panggung. Ada yang sudah siap membawa botol, plastik dan sebagainya. Ini belum selesai, puluhan hasil bumi pun ikut diperebutkan. Waaaaahhh, keren ya. Saya dapet apa ? Hehehe, seperti yang sudah bisa ditebak, saya memilih untuk dapat kenangan saja (padahal sih aslinya pengen ikut rebutan juga, tapi kalah lari muluuu). FGS sendiri masih akan berlangsung hingga tengah malam nanti, namun guyuran hujan membuat saya memilih pulang dan tak jadi melewatkan satnite disini. Mungkin lain waktu ya.

Memang, masih banyak kekurangan dari event perdana ini. Namun satu hal yang membuat saya takjub adalah semangat gotong royong warga ketiga desa tersebut untuk mensukseskan acara ini sebagai sebuah pesta rakyat yang merakyat. 

Terima kasih untuk mas Mahendra atas undangannya, mba Erry untuk ide mencicipi kuliner tradisionalnya (aku ora keduman Geser-Gethuk Serang- e jhe), mas Bagus untuk sebagian foto-fotonya, Ficky untuk sayur mayur yang kau perebutkan itu Nak, juga teman-teman media yang banyak banget membantu.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BATIK PURBALINGGA DIMULAI DARI ERA NAJENDRA

Sore yang terbalut hujan. Seketika nama udan liris mampir di pikiran. Eh, lalu bagaimana dengan truntum, kawung, lumbon, sekar jagad atau bahkan cebong kumpul ? Semarga kan ? (Oleh : Anita W.R.) Pertanyaan itu kian menggelitik setelah pertemuan pertama saya dengan seseorang ini terjadi pada Desember 2013. Satu kalimat yang saya ingat darinya adalah " Batik Purbalingga itu sudah punya khas sejak awal ". Antara takjub, bingung dan tidak mudheng , rangkaian penasaran itu saya endapkan hingga menuju 2 tahun. Ya, bicara Batik, banyak informasi, artikel sampai literatur yang membahasnya. Namun batik Purbalingga, hanya sekelumit yang saya ketahui. Padahal saya ada di kota ini sejak lahir dan tinggal dikelilingi beberapa pembatik sepuh. Memori saya pada bagian ini sepertinya tidak terlalu baik, sampai-sampai sulit membacanya. Tapi kalau boleh, ijinkan saya menyebut nama mereka satu per satu. Eyang Din, Mbah Sastro, dan Mbaeh Nana adalah nama-nama pembatik sepuh yang...

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah...

Brambang Jae dan Larangan Pementasan Wayang Kulit

Nama petilasan ini adalah Brambang Jahe. Nama yang unik ya? Cukup menggelitik tanya di benak, apakah di petilasan ini terdapat pohon bawang merah dan pohon jahe. Yang tentu saja jawabannya adalah tidak. Petilasan brambang Jahe ini sudah masuk dalam daftar inventaris Benda Cagar Budaya (BCB) kategori bangunan makam. Meski nilai sejarahnya masih dipertanyakan, namun kecenderungan masyarakat menyakralkan tempat ini dan juga folklore yang terus hidup menjadikan Brambang Jahe sebagai salah satu petilasan yang diistimewakan. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai kuburan Brambang Jahe. Brambang Jahe terletak di Kelurahan Purbalingga Kidul, tepatnya di utara Stadion Guntur Darjono Purbalingga. Dahulu, makam ini terdapat di tengah persawahan. Tidak ada seorangpun yang berani membongkarnya. Bahkan sampai ketika tempat tersebut disulap menjadi stadion skala nasional pun, Brambang Jahe tetap ada. Dan untuk melindunginya dari tangan-tangan jahil, dibangunlah pagar keliling pada ma...