Langsung ke konten utama

Namanya SUMPIL

Ada banyak varian untuk menikmati menu ini. Namun saya lebih suka tanpa campuran apapun.

• oleh : Anita Wiryo Rahardjo •

Aroma daun bambu yang telah dikukus menawarkan sensasi berbeda. Meskipun tawar, ada rasa nyes saat ia lewat tenggorokan. Pikiran pun ikut adem, karena serasa tengah makan di papringan.

Si penjaja makanan dengan lantang meneriakkan "Lontong godong pring" sepagian itu. Geli juga. Dialih bahasakan bisa sepanjang itu yah ? Padahal saya mengenalnya sebagai Sumpil.

Di Purbalingga, tidak banyak penjual Sumpil. Namun masih ada beberapa pembuat Sumpil di seputaran Bobotsari.

Temennya Bacang

Beberapa orang tua mengatakan jika Sumpil ini versi tawarnya Bacang. Tahu kan penganan serupa arem-arem isi daging yang dibungkus daun pisang berbentuk limas segitiga ? Itu lho jajan khas untuk bulan kelima penanggalan Cina.

Nah, bedanya Sumpil memang tanpa isi dan tanpa rasa. Sumpil pun lazimnya berbentuk limas segitiga. Tak jarang juga sih yang dibungkus seperti lepet. Seperti ini.

Proses pemasakannya yang lama dan benar-benar tanak, menjadikan Sumpil awet sampai 3 hari. Sebagian orang juga menjadikan Sumpil sebagai menu khusus untuk Hari Raya Idul Fitri. Dikonsumsi bersama opor ayam. Atau untuk hari-hari biasa tinggal tambahkan bakwan saja. Namun saya lebih sreg hanya dengan toping ampas kelapa. Mau ?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BATIK PURBALINGGA DIMULAI DARI ERA NAJENDRA

Sore yang terbalut hujan. Seketika nama udan liris mampir di pikiran. Eh, lalu bagaimana dengan truntum, kawung, lumbon, sekar jagad atau bahkan cebong kumpul ? Semarga kan ? (Oleh : Anita W.R.) Pertanyaan itu kian menggelitik setelah pertemuan pertama saya dengan seseorang ini terjadi pada Desember 2013. Satu kalimat yang saya ingat darinya adalah " Batik Purbalingga itu sudah punya khas sejak awal ". Antara takjub, bingung dan tidak mudheng , rangkaian penasaran itu saya endapkan hingga menuju 2 tahun. Ya, bicara Batik, banyak informasi, artikel sampai literatur yang membahasnya. Namun batik Purbalingga, hanya sekelumit yang saya ketahui. Padahal saya ada di kota ini sejak lahir dan tinggal dikelilingi beberapa pembatik sepuh. Memori saya pada bagian ini sepertinya tidak terlalu baik, sampai-sampai sulit membacanya. Tapi kalau boleh, ijinkan saya menyebut nama mereka satu per satu. Eyang Din, Mbah Sastro, dan Mbaeh Nana adalah nama-nama pembatik sepuh yang...

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah...

Brambang Jae dan Larangan Pementasan Wayang Kulit

Nama petilasan ini adalah Brambang Jahe. Nama yang unik ya? Cukup menggelitik tanya di benak, apakah di petilasan ini terdapat pohon bawang merah dan pohon jahe. Yang tentu saja jawabannya adalah tidak. Petilasan brambang Jahe ini sudah masuk dalam daftar inventaris Benda Cagar Budaya (BCB) kategori bangunan makam. Meski nilai sejarahnya masih dipertanyakan, namun kecenderungan masyarakat menyakralkan tempat ini dan juga folklore yang terus hidup menjadikan Brambang Jahe sebagai salah satu petilasan yang diistimewakan. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai kuburan Brambang Jahe. Brambang Jahe terletak di Kelurahan Purbalingga Kidul, tepatnya di utara Stadion Guntur Darjono Purbalingga. Dahulu, makam ini terdapat di tengah persawahan. Tidak ada seorangpun yang berani membongkarnya. Bahkan sampai ketika tempat tersebut disulap menjadi stadion skala nasional pun, Brambang Jahe tetap ada. Dan untuk melindunginya dari tangan-tangan jahil, dibangunlah pagar keliling pada ma...