Langsung ke konten utama

KAWUNG nan ELOK

Dari jendela ini, seketika pandangan saya menerawang jauh. Empat bidang elips yang menyatu dengan anggun. Pilihan salah satu ragam bentuk geometris kuno yang tepat menghias sebuah sudut rumah tua itu. Membawa memori berlarian pada suatu masa. Kawung.

• oleh : Anita Wiryo Rahardjo •

Kawung. Salah satu motif batik larangan. Dahulu, hanya kalangan keraton saja yang dapat mengenakannya. Tentunya hal ini sudah berbeda dengan kondisi sekarang.

• Tertua •

Dari beberapa catatan, Kawung disebut-sebut merupakan motif batik tertua di Nusantara. Ada sejak abad ke - IX. Ciri motifnya sangat mudah dikenali. Bentuk 4 buah elips atau lonjong yang menyatu ke satu titik dengan sisi lain menghadap ke berbagai arah. Ada pula yang menggambarkannya sebagai penyatuan 5 lingkaran yang memberikan efek bentuk elips di empat sisi. Ah, tergantung bagaimana kita melihatnya.

Kebanyakan orang mempercayai Kawung merupakan penggambaran dari buah aren atau kolang-kaling. Namun ada pula yang menganggapnya berasal dari kata serangga jenis Wangwung. Atau bahkan stilasi dari bunga para Dewa, yaitu : Lotus.

Kawung merupakan corak batik geometris. Berulang memenuhi ruang. Corak geometri ini diduga banyak mendapat influens dari India. Motif ini kemudian banyak dikembangkan pada masa Kesultanan Ngayogjakarta Hadiningrat pada abad ke-18. Selalu elok dan magisnya corak geometris kuno, membuat Kawung tak hanya menjadi pola hias pada batik. Tak jarang, Kawung kita temukan pada ukiran, eksterior, dan sebagainya. (Foto diambil dari akun jejaring sosial FB milik Jibenk Hidayat. Dalam foto bocah perempuan mengenakan batik Kawung Seling ini merupakan karya Cas Oorthuys dalam buku Een Stat in Wording tahun 1947)

• Kaya Makna •

Sebagai salah satu jenis batik larangan, Kawung tentunya bukan tanpa makna. Banyak filosofi yang terkandung didalamnya. Kawung terdengar seperti kelawung. Orang dulu sering mengatakan, "Supaya hidupnya tidak kelawung (mubah)"

Dan agar hidup temata inilah diperlukan hati yang bersih dalam menjalaninya. Pengendalian diri bisa menjadi salah satu kuncinya. Pada salah satu postingan di https://akucintanusantaraku.blogspot.com disebutkan jika ke empat bidang elips menggambarkan 4 arah mata angin atau sumber tenaga. Timur (Matahari Terbit - Sumber Kehidupan, Utara (Gunung - Tempat tinggal para Dewa atau Roh / kematian), Barat (Terbenam - Keberuntungan) dan Selatan (Zenit - Puncak). Maknanya : sebagai center, Raja / Kerajaan adalah pusat ilmu, seni budaya, agama, pemerintahan hingga perekonomian. Karena itulah Rakyat harus tunduk pada Raja dan aturannya, dengan catatan Raja harus dapat mengayomi Rakyatnya. Dengan demikian kawung menjadi simbol keadilan, kesejahteraan, kebersihan hati, pengendalian diri dan hal-hal baik lainnya.

• Ayom, Ayem •

Motif kawung juga kerap dikenakan tokoh "Punakawan". Yaitu sahabat dalam suka duka yang mengantarkan pada kebaikan. Bapa Semar selama ini identik dengan petuah-petuah bijak yang membuat para Ksatria tetap berada di jalurnya. Bisa ngayomi, dadi ngayem-ngayemi.

Bedanya kawung yang dikenakan Punakawan ini cenderung besar-besar dan tanpa motif lain. Murni kawung saja.

Bentuk kawung yang terdiri dari 4 elips dan satu lingkaran di tengah sering diartikan sebagai 'papat kiblat lima pancer'. Suatu falsafah hidup  masyarakat Jawa. Suatu pemahaman tinggi akan makrokosmos dan mikrokosmos. Walllllaaaahhhh.... saya gak sampe inih mikirnya.

Bagaimana ? Siap mengenakan kawung ?


Komentar

Postingan populer dari blog ini

BATIK PURBALINGGA DIMULAI DARI ERA NAJENDRA

Sore yang terbalut hujan. Seketika nama udan liris mampir di pikiran. Eh, lalu bagaimana dengan truntum, kawung, lumbon, sekar jagad atau bahkan cebong kumpul ? Semarga kan ? (Oleh : Anita W.R.) Pertanyaan itu kian menggelitik setelah pertemuan pertama saya dengan seseorang ini terjadi pada Desember 2013. Satu kalimat yang saya ingat darinya adalah " Batik Purbalingga itu sudah punya khas sejak awal ". Antara takjub, bingung dan tidak mudheng , rangkaian penasaran itu saya endapkan hingga menuju 2 tahun. Ya, bicara Batik, banyak informasi, artikel sampai literatur yang membahasnya. Namun batik Purbalingga, hanya sekelumit yang saya ketahui. Padahal saya ada di kota ini sejak lahir dan tinggal dikelilingi beberapa pembatik sepuh. Memori saya pada bagian ini sepertinya tidak terlalu baik, sampai-sampai sulit membacanya. Tapi kalau boleh, ijinkan saya menyebut nama mereka satu per satu. Eyang Din, Mbah Sastro, dan Mbaeh Nana adalah nama-nama pembatik sepuh yang...

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah...

Brambang Jae dan Larangan Pementasan Wayang Kulit

Nama petilasan ini adalah Brambang Jahe. Nama yang unik ya? Cukup menggelitik tanya di benak, apakah di petilasan ini terdapat pohon bawang merah dan pohon jahe. Yang tentu saja jawabannya adalah tidak. Petilasan brambang Jahe ini sudah masuk dalam daftar inventaris Benda Cagar Budaya (BCB) kategori bangunan makam. Meski nilai sejarahnya masih dipertanyakan, namun kecenderungan masyarakat menyakralkan tempat ini dan juga folklore yang terus hidup menjadikan Brambang Jahe sebagai salah satu petilasan yang diistimewakan. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai kuburan Brambang Jahe. Brambang Jahe terletak di Kelurahan Purbalingga Kidul, tepatnya di utara Stadion Guntur Darjono Purbalingga. Dahulu, makam ini terdapat di tengah persawahan. Tidak ada seorangpun yang berani membongkarnya. Bahkan sampai ketika tempat tersebut disulap menjadi stadion skala nasional pun, Brambang Jahe tetap ada. Dan untuk melindunginya dari tangan-tangan jahil, dibangunlah pagar keliling pada ma...