Langsung ke konten utama

CICIP di PURWOREJO


Suatu siang di tanah para leluhurmu. Purworejo. Setelah menyelesaikan satu urusan pekerjaan, maka mengisi perut adalah pilihan. Pilihan pun jatuh pada Es Dawet Ireng dan Kue Lompong.

• oleh : Anita Wiryo Rahardjo •

Tanah Bagelen ini tak hanya menyimpan kisah sejarah yang kaya sejak era kerajaan lampau. Namun juga memiliki kuliner khas yang telah bertahan hingga 4 generasi. Kue Lompong "KING" Kutoarjo.

Di Purworejo, kue lompong ini merupakan sesuatu yang khas. Meski demikian tidak banyak yang memproduksinya. Kue Lompong, sesuai namanya dibuat dari sari batang lompong atawa talas. Dengan campuran tepung ketan, air merang yang memberikan efek hitam serta isian berupa kacang tanah menjadikannya terasa begitu legit. Bahkan tenggorokan saya yang terkadang sensitif dengan talas, kali ini tak rewel sedikitpun.

Yang unik lagi adalah pembungkusnya yang berupa klaras atau daun pisang kering. Waaahh... benar-benar berasa jadoel.

Di Jl. Diponegoro no. 159 Kutoarjo, siang itu seperti biasa. Si empunya usaha, hanya membuka separuh pintu rumahnya. Sembari menunggu 'Mamaeh' keluar, beberapa foto di dinding dapat kita saksikan. Salah satunya adalah saat kunjungan Bondan Winarno dulu. (Foto dari facebook)

"Saya sudah generasi ke-4. Ga tau dulu mulainya taun berapa. Pokoknya dapurnya itu masih tetep sampai sekarang", kata Mamah pemilik kue Lompong King seraya menengok bagian dapur. Berbagai kelengkapan dapur jaman dulu sedikit terlihat dari tempat saya berdiri. Wah.. pantas saja Kue Lompong King jadi buruan oleh-oleh. Citarasanya terjaga dan diolah secara tradisional. Awet sampai 10 hari pula. Waaaahhh !!! Harga satuannya yang memang terbilang lumayan diatas rata-rata terbayar lunas kok dengan kualitasnya.

Perempuan berdarah Tionghoa inipun menambahkan bahwa kemungkinan Kue Lompong termasuk penganan yang telah mengalami asimilasi antara kuliner lokal dan Tiongkok. Senangnya lagi, ia tak mudah lupa pada setiap pelanggannya. Wuiiiihhhhh... semakin manis dan legit saja kue lompong King Kutoarjo ini.

Menu berikutnya adalah Es Dawet Ireng JemBut (Jembatan Butuh). Antrean panjang siang itu juga terjadi. Tapi tak masalah, demi dawet yang terkenal nikmatnya ini, maka menanti pun dilakoni.

Menurut cerita sesama kaum pengantre, satu keluarga ini berjualan pada sebuah pos di Jembatan Butuh secara bergantian. "Ibu Bapaknya pagi dan siang, anaknya ini yang sore", ujar seorang ibu yang tengah asyik menyendok dawet hitam yang banyak sekali itu. Air gulanya kental. Begitupun santannya. Legitnya nandes kalau kata saya. Berasa banget. Saking rasanya yang sudah legend, bisa search videonya juga lho. Foto ini juga hasil potongan dari video di jejaring sosial gegara saya nggak sempet motret di lokasi.

Tak terasa waktu saya di Purworejo habis. Saatnya kembali ke tanah kelahiran. Namun dalam hati saya berbisik, "Suatu hari saya akan kembali, denganmu"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BATIK PURBALINGGA DIMULAI DARI ERA NAJENDRA

Sore yang terbalut hujan. Seketika nama udan liris mampir di pikiran. Eh, lalu bagaimana dengan truntum, kawung, lumbon, sekar jagad atau bahkan cebong kumpul ? Semarga kan ? (Oleh : Anita W.R.) Pertanyaan itu kian menggelitik setelah pertemuan pertama saya dengan seseorang ini terjadi pada Desember 2013. Satu kalimat yang saya ingat darinya adalah " Batik Purbalingga itu sudah punya khas sejak awal ". Antara takjub, bingung dan tidak mudheng , rangkaian penasaran itu saya endapkan hingga menuju 2 tahun. Ya, bicara Batik, banyak informasi, artikel sampai literatur yang membahasnya. Namun batik Purbalingga, hanya sekelumit yang saya ketahui. Padahal saya ada di kota ini sejak lahir dan tinggal dikelilingi beberapa pembatik sepuh. Memori saya pada bagian ini sepertinya tidak terlalu baik, sampai-sampai sulit membacanya. Tapi kalau boleh, ijinkan saya menyebut nama mereka satu per satu. Eyang Din, Mbah Sastro, dan Mbaeh Nana adalah nama-nama pembatik sepuh yang...

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah...

Brambang Jae dan Larangan Pementasan Wayang Kulit

Nama petilasan ini adalah Brambang Jahe. Nama yang unik ya? Cukup menggelitik tanya di benak, apakah di petilasan ini terdapat pohon bawang merah dan pohon jahe. Yang tentu saja jawabannya adalah tidak. Petilasan brambang Jahe ini sudah masuk dalam daftar inventaris Benda Cagar Budaya (BCB) kategori bangunan makam. Meski nilai sejarahnya masih dipertanyakan, namun kecenderungan masyarakat menyakralkan tempat ini dan juga folklore yang terus hidup menjadikan Brambang Jahe sebagai salah satu petilasan yang diistimewakan. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai kuburan Brambang Jahe. Brambang Jahe terletak di Kelurahan Purbalingga Kidul, tepatnya di utara Stadion Guntur Darjono Purbalingga. Dahulu, makam ini terdapat di tengah persawahan. Tidak ada seorangpun yang berani membongkarnya. Bahkan sampai ketika tempat tersebut disulap menjadi stadion skala nasional pun, Brambang Jahe tetap ada. Dan untuk melindunginya dari tangan-tangan jahil, dibangunlah pagar keliling pada ma...