Langsung ke konten utama

Selamat Ulang Hari..

Perayaan tanggal lahir tentulah masih lebih lazim dibanding peringatan hari lahir. Kecuali bagi para pelaku among-among.

• oleh : Anita Wiryo Rahardjo •

Walaupun terlahir di jaman flashdance melanda, saya beruntung masih dikenalkan pada weton sejak kecil. Memang tak rutin, namun saya sesekali akrab dengan ritual ngapit pada saat peringatan hari lahir ini. Hanya saja saya tak menggelar bancakan among-among. (Ilustrasi : dokumentasi pribadi)

Selapan Dina

Beda dari ulang tahun, among-among dilaksanakan dalam kurun selapan dina. 35 hari sekali. Tepat di hari dan pasaran wetonnya. Anak-anak menjadi yang paling banyak melakukan ini. Biasanya pada saat mereka masih berusia sekolah dasar. Among-among dipilih guna semacam "ruwat" kecil-kecilan. Karena si anak sakit-sakitan atau sering rewel tanpa diketahui sebab. Padahal sejatinya among-among bisa dilakukan hingga dewasa. Dengan tujuan sebenarnya sebagai penghargaan bagi para "pemomong". Siapakah ia ? Seperti telah diketahui, masyarakat Jawa mengenal 'kakang kawah, adi ari-ari' (ditambah rah & puser) yang dipercaya turut mengasuh seseorang. Agar pemomong tak bosan menjaga asuhannya tetap bertahan di jalur hidup yang benar, dibutuhkanlah ritual ini. Nah, disisi lain among-among juga menjadi ucapan syukur orang tua atas karunia berupa keturunan yang diharapkan dapat bermanfaat bagi sesama dan semesta.

Bancakan

Lalu apa yang dilakukan pada saat among-among ? "Ya selamatan", kata Mega seorang ibu muda yang kerap melakukan among-among untuk puteranya. Ya selamatan. Tasyakuran. Bancakan. Dengan menu yang sangat khas. Tumpeng nasi putih, kluban dan telur rebus. Paduan menu yang bukan tanpa filosofi. Kita semua paham, tradisi selalu mengajari kita mengenal alam. Termasuk hasil bumi yang menjadi bahan utama bancakan weton atau among-among ini.

Berbeda dari perayaan ulang tahun yang lazim menyajikan nasi kuning, among-among justru berbahan utama nasi putih. Acara sakral haruslah menggunakan tumpeng nasi putih. Perlambang kesucian.

Adapun lauknya yaitu urap atau kluban. Paduan aneka rasa dalam kluban menggambarkan kehidupan. Hanya saja untuk anak-anak, kluban dibuat tidak pedas. Sementara bahan sayurannya bermacam. Namun wajib menyertakan kangkung dan kacang panjang. Keduanya cukup direbus tanpa dipotong-potong. Kangkung yang dapat hidup di air ataupun darat menggambarkan manusia yang semestinya memiliki kemampuan survive dimanapun dan kapanpun. Sementara itu, kerunutan dan berpikir panjang ketika menghadapi permasalahan menjadi filosofi dari kacang panjang.

Telur rebus yang disiapkan dalam among-among biasanya dalam bentuk yang sudah diiris. Ada yang mengiris tipis-tipis namun boleh juga membaginya menjadi 2 bagian. Soal jumlah, ada yang mempercayai 5 atau 7 butir. Ada pula yang cukup satu butir namun diiris tipis-tipis melintang setelah dibagi dua bagian. Apa artinya ? Telur ini menjadi perlambang asal muasal.

Kurang lengkap rasanya jika among-among tak menyertakan kedelai hitam goreng dan ikan teri atau gereh goreng. Waaaah.. semakin nikmat ya. Ikan teri yang hidup berkoloni memiliki makna gotong royong.

Nah khusus bagi orang dewasa, among-among dilengkapi dengan jajan pasar. Simbol sesrawungan.

Receh, dadap srep & bokor

Among-among untuk anak bisa dilaksanakan pada sore hari ketika anak-anak berkumpul. Sebelum bancakan dimulai, orang tua terlebih dulu menyimpan sepiring nasi among-among lengkap untuk diletakkan di kamar si anak.

Koin hanya ilustrasi

Setelah berdoa secara pribadi, orang tua akan memulai prosesi. Tumpeng among-among ditempatkan dalam tampah / tampir. Kemudian disiapkan bokor berisi air, receh dan daun dadap srep. Diatas bokor inilah, tampah berisi tumpeng diletakkan. Seorang sesepuh dipercaya untuk membacakan satu 'permintaan' khusus kepada Kyai & Nyai Among-among. Merekalah sang pemomong.

Setelahnya anak-anak ini akan makan bersama mengitari tampah. Dan selesai diakhiri dengan mencuci tangan di bokor yang menjadi penyangga tampah berisi tumpeng. Air receh yang ada didalamnya jelas untuk diperebutkan. Sementara itu, nasi among-among yang telah disimpan di kamar anak akan dilarung setelah bancakan selesai.

Tak mengenal among-among •

Sebagian besar masyarakat perkotaan Purbalingga tak mengenal among-among. Jika pun ada yang melakoni, mereka berasal dari wilayah lain. Semisal Jogjakarta, Cilacap maupun Kebumen. Seperti Mega ini, ia berasal dari Kebumen. Nah perempuan yang akrab disapa Bu'e mengatakan bahwa ia menjadi orang yang mengenalkan among-among di kompleks tinggalnya di Purbalingga Wetan. "Ternyata disini nggak ada among-among. Tapi jadi ditunggoni. Kalau sudah sebulan lebih suka ditanya kapan among-among ?", gelaknya. Berdasar pengalamannya, puteranya menjadi lebih tenang setelah rutin diamong-among. "Namanya juga syukuran, kan mengajarkan anak nilai kebersamaan, berbagi, dan tetap tidak melupakan asal-usulnya", imbuhnya.

Meski tak mengenal bancakan among-among, sebagian masyarakat kita memiliki tradisi berbeda menyambut hari lahirnya (weton). Ada yang secara khusus menyediakan jenang / bubur 7 rupa. Terdiri atas : jenang merah, jenang putih, jenang merah palang putih, jenang putih palang merah, jenang baro-baro, satu cawan berisi separuh jenang merah dan separuh jenang putih, serta satu cawan jenang putih seling jenang merah. Ini tak jauh berbeda dengan pengalaman Wendo "Wisanggeni" misalnya, semasa kecilnya di kecamatan Rembang Purbalingga, ia cukup akrab dengan bubur abang putih di hari weton. Tak perlu mewah. "Sepiring kecil bubur abang putih sama lilin biasanya ditaruh di kamar pas wetonan", kenangnya. Bubur / jenang merah katanya melambangkan ibu dan putih melambangkan ayah.

Sementara itu yang dilakoni sebagian kerabat saya adalah menepi pada setiap hari kelahiran. Menjalani ngapit sekaligus ngasrep (puasa rasa) atau mutih (hanya nasi / singkong rebus + air bening sekedarnya). Jadilah perayaan hari lahir acap dilalui dalam suasana sederhana. Prihatinan. Bukan dengan makan-makan apalagi pesta pora dengan tart + cream warna warni. Karena pada hakekatnya hari lahir menjadi waktu untuk merenungi hidup.

Selamat wetonan bagi yang masih melakoni.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BATIK PURBALINGGA DIMULAI DARI ERA NAJENDRA

Sore yang terbalut hujan. Seketika nama udan liris mampir di pikiran. Eh, lalu bagaimana dengan truntum, kawung, lumbon, sekar jagad atau bahkan cebong kumpul ? Semarga kan ? (Oleh : Anita W.R.) Pertanyaan itu kian menggelitik setelah pertemuan pertama saya dengan seseorang ini terjadi pada Desember 2013. Satu kalimat yang saya ingat darinya adalah " Batik Purbalingga itu sudah punya khas sejak awal ". Antara takjub, bingung dan tidak mudheng , rangkaian penasaran itu saya endapkan hingga menuju 2 tahun. Ya, bicara Batik, banyak informasi, artikel sampai literatur yang membahasnya. Namun batik Purbalingga, hanya sekelumit yang saya ketahui. Padahal saya ada di kota ini sejak lahir dan tinggal dikelilingi beberapa pembatik sepuh. Memori saya pada bagian ini sepertinya tidak terlalu baik, sampai-sampai sulit membacanya. Tapi kalau boleh, ijinkan saya menyebut nama mereka satu per satu. Eyang Din, Mbah Sastro, dan Mbaeh Nana adalah nama-nama pembatik sepuh yang...

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah...

Brambang Jae dan Larangan Pementasan Wayang Kulit

Nama petilasan ini adalah Brambang Jahe. Nama yang unik ya? Cukup menggelitik tanya di benak, apakah di petilasan ini terdapat pohon bawang merah dan pohon jahe. Yang tentu saja jawabannya adalah tidak. Petilasan brambang Jahe ini sudah masuk dalam daftar inventaris Benda Cagar Budaya (BCB) kategori bangunan makam. Meski nilai sejarahnya masih dipertanyakan, namun kecenderungan masyarakat menyakralkan tempat ini dan juga folklore yang terus hidup menjadikan Brambang Jahe sebagai salah satu petilasan yang diistimewakan. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai kuburan Brambang Jahe. Brambang Jahe terletak di Kelurahan Purbalingga Kidul, tepatnya di utara Stadion Guntur Darjono Purbalingga. Dahulu, makam ini terdapat di tengah persawahan. Tidak ada seorangpun yang berani membongkarnya. Bahkan sampai ketika tempat tersebut disulap menjadi stadion skala nasional pun, Brambang Jahe tetap ada. Dan untuk melindunginya dari tangan-tangan jahil, dibangunlah pagar keliling pada ma...