
Oleh : Anita Wiryo Rahardjo
Jika kedunungan, awal tahun ini saya sudah ngantor di lantai sekian, gedung anu, Jakarta Pusat. Namun seketika
krentek membawa saya ke jalur
pendakian Pos 2 Gunung Slamet melalui dusun Bambangan, desa Kutabawa, kecamatan
Karangreja, Purbalingga. Saya lupakan segala hal berkait dengan permohonan
resign dan kelengkapan untuk hijrah ke ibu kota. Saya malah sibuk menyiapkan
bekal berupa gula merah dan kelapa muda dalam tas. “Biar kuat, lama nggak naik soalnya”, komentar saya saat kawan-kawan
cek perbekalan.
Dari pintu gerbang Bambangan menuju
Pos 1 Pondok Gembirung hanya sesekali saja jalanan menanjak. Namun ukuran pemula, butuh waktu 3,5 jam. Ada dua pemberhentian
yang mampu membuat energi cepat pulih. Gardu pandang dan Pos bayangan.
Keberadaan bangunan disana cukuplah untuk menghentikan kebawelan sebagian kawan
yang lebih sering melewatkan liburan di pusat perbelanjaan. Kelegaan mereka
melihat pos dan bersegera membuka bekal, membuat saya ikut menarik nafas lega.
Ternyata benar, kesabaran seseorang teruji nyata saat perjalanan di alam. Momong
menjadi istilah yang tepat untuk edisi jalan-jalan kali ini. Dalam hati telah
tertanam bahwa keputusan kali ini memilih pesona Gunung Slamet - meski harus
dengan agenda momong - pastilah lebih
tepat dibanding - diemong- megahnya
aura ibu kota.
Pos 1 Pondok Gembirung menyapa dengan aroma khas mendoan yang langsung menyasar perut. Beberapa kawan memilih berhenti disini. “Piknik kan ini, bukan mendaki”, katanya. Sebagian lain, termasuk saya hanya menyempatkan mencicipi sepotong mendoan sembari bersiap menuju Pos 2, Pondok Walang.
Pohon-pohon besar dengan akar
liana mulai menyapa perjalanan yang semakin menanjak saja. Tak lagi banyak
becandaan keluar. Kami yang hanya berempat memutuskan hanya berbicara saat
perlu saja. Konsentrasi dan kontemplasi mungkin. Semua sibuk dengan pikiran
masing-masing. “Kalau udah nggak kuat,
bilang. Nggak usah maksa naik. Nggak usah gengsi. Gunung bukan tempat untuk
jaga gengsi. Apalagi kita ditarget sore ini sudah kembali ke kantor”, kata
leader memecah keheningan.
Suasana awal tahun membuat
warung di Pos 2 ini buka untuk melayani pendaki. Kami hanya memilih membeli dua
potong mendoan dan segera memasak untuk mengisi perut. Bekal di tas harus
berkurang sebelum turun kan ? Beberapa pendaki juga mulai terlihat berdatangan
dari arah atas. Mereka mendaki sejak Jumat sore. Sebagian langsung turun,
sebagian bergabung dengan kami untuk sekedar makan, ngopi atau beristirahat. Beruntung cuaca hari itu cerah. Biasanya,
pada kisaran Desember hingga awal tahun cuaca ekstrim kerap menghantui para
pendaki di Gunung Slamet. Beberapa yang bertemu kami pun mengakui terjebak
badai kabut saat berada di Pos 5, Samyang Rangkah. Ini memang siklus tahunan di
Gunung yang dulu dikenal dengan sebutan Gunung Gora ini. Badai kabut dan angin
brubugan menjadi tantangan paling akrab pada musim-musim ini.
Hasilnya tak sewang tanganmu saat memotret, tapi masih lumayankan....
Tak lama, short massenger seorang
kawan yang menggigil di Pos 1 membuat kami bersegera turun. Rencana berlanjut
ke Pondok Cemara pun menjadi tujuan selanjutnya. I
hope so. Dalam perjalanan seorang kawan berseloroh, “Anita ditawari naik jabatan di Jakarta, malah milih naik ke Gunung
Slamet”. Saya tersenyum, karena dalam hati itulah yang tengah saya
pikirkan. Bahwa pesona alam memang tak tertandingi dan membawa saya jatuh cinta
sekali lagi. Semoga 2017 memang penuh kejutan dan penuh cinta.
Matur
nuwun untukmu yang tumben mengijinkan naik (daripada pindah Jakarta katamu), mas Lukman untuk kesabarannya menjadi leader kali ini, mba Anisa untuk
pinjaman kebaya-nya yang cantik, mas Sukhur yang rela memangkas jatah nasinya
untuk kami bertiga saja, mba Eri, mba Lintang dan mas Ficky maaf ya kalau
menunggu sampai menggigil di bawah, dan mas Andi keep “and one, and two”, juga
mba Anti, mba Eti, mba Heni untuk bekalnya, mas Yatno untuk kompor gunungnya.
Yuk bersiap untuk trip berikutnya.
Komentar
Posting Komentar