Langsung ke konten utama

WELCOME 2017, DARI POS GEMBIRUNG

Tanggal 9. Sepertinya belum expired untuk menyapa 2017 yang penuh kejutan. Bagaimana tidak ? Seloroh becandaan bahwa pesona ibu kota tak sekuat Gunung Slamet, membuat saya batal meniti karier impian disana. Alih-alih menangkap kesempatan terakhir yang ditawarkan, saya malah tergiur meniti tapak demi tapak Pos Pondok Walang, Gunung Slamet.

Oleh : Anita Wiryo Rahardjo

Jika kedunungan, awal tahun ini saya sudah ngantor di lantai sekian, gedung anu, Jakarta Pusat. Namun seketika krentek membawa saya ke jalur pendakian Pos 2 Gunung Slamet melalui dusun Bambangan, desa Kutabawa, kecamatan Karangreja, Purbalingga. Saya lupakan segala hal berkait dengan permohonan resign dan kelengkapan untuk hijrah ke ibu kota. Saya malah sibuk menyiapkan bekal berupa gula merah dan kelapa muda dalam tas. “Biar kuat, lama nggak naik soalnya”, komentar saya saat kawan-kawan cek perbekalan.

Pagi 8 Januari 2017. Di Pondok Pemuda dusun Bambangan, informasi menyebutkan bahwa tak banyak aktivitas mendaki di minggu kedua Januari 2017. Berbeda dengan saat malam pergantian tahun. Benar saja, satu rombongan amatir (dan didominasi kaum penjelajah supermarket) yang hanya dipandu seorang kawan pendaki ini melewatkan suasana yang lengang. Hanya rutinitas bertani penduduk lokal yang tampak dalam sepertiga awal perjalanan menuju Pos 1 Pondok Gembirung. “Wuih !! Seledri-nya cantik-cantik banget”, kata seorang kawan. Yap, mata perempuan memang selalu jeli melihat segarnya sayur mayur ditengah jalanan berbatu. Sempat terbersit membeli satu kilogram sawi yang tengah dipanen, namun guide sekaligus leader rombongan dengan cepat menangkap ide konyol ini. “Aku emoh nggawakna”, katanya. Iya deh.

Dari pintu gerbang Bambangan menuju Pos 1 Pondok Gembirung hanya sesekali saja jalanan menanjak. Namun ukuran pemula, butuh waktu 3,5 jam. Ada dua pemberhentian yang mampu membuat energi cepat pulih. Gardu pandang dan Pos bayangan. Keberadaan bangunan disana cukuplah untuk menghentikan kebawelan sebagian kawan yang lebih sering melewatkan liburan di pusat perbelanjaan. Kelegaan mereka melihat pos dan bersegera membuka bekal, membuat saya ikut menarik nafas lega. Ternyata benar, kesabaran seseorang teruji nyata saat perjalanan di alam. Momong menjadi istilah yang tepat untuk edisi jalan-jalan kali ini. Dalam hati telah tertanam bahwa keputusan kali ini memilih pesona Gunung Slamet - meski harus dengan agenda momong - pastilah lebih tepat dibanding - diemong- megahnya aura ibu kota.

Pos 1 Pondok Gembirung menyapa dengan aroma khas mendoan yang langsung menyasar perut. Beberapa kawan memilih berhenti disini. “Piknik kan ini, bukan mendaki”, katanya. Sebagian lain, termasuk saya hanya menyempatkan mencicipi sepotong mendoan sembari bersiap menuju Pos 2, Pondok Walang.

Pohon-pohon besar dengan akar liana mulai menyapa perjalanan yang semakin menanjak saja. Tak lagi banyak becandaan keluar. Kami yang hanya berempat memutuskan hanya berbicara saat perlu saja. Konsentrasi dan kontemplasi mungkin. Semua sibuk dengan pikiran masing-masing. “Kalau udah nggak kuat, bilang. Nggak usah maksa naik. Nggak usah gengsi. Gunung bukan tempat untuk jaga gengsi. Apalagi kita ditarget sore ini sudah kembali ke kantor”, kata leader memecah keheningan.

Kabut mulai naik. Saat itu memang jelang tengah hari. Beberapa kali kami berhenti. Energi laporan akhir tahun yang melelahkan berdampak juga saat aktivitas alam begini. “Mau gula merah atau kelapa ?”, tawar saya agak tak yakin. Mereka mengangguk. Saat begini hampir energi tak lagi fit seperti setengah jam sebelumnya. Satu-satu alasan hanya semangat agar tak over waktu. Hampir dua jam kami mencapai Pondok Walang. 

Suasana awal tahun membuat warung di Pos 2 ini buka untuk melayani pendaki. Kami hanya memilih membeli dua potong mendoan dan segera memasak untuk mengisi perut. Bekal di tas harus berkurang sebelum turun kan ? Beberapa pendaki juga mulai terlihat berdatangan dari arah atas. Mereka mendaki sejak Jumat sore. Sebagian langsung turun, sebagian bergabung dengan kami untuk sekedar makan, ngopi atau beristirahat. Beruntung cuaca hari itu cerah. Biasanya, pada kisaran Desember hingga awal tahun cuaca ekstrim kerap menghantui para pendaki di Gunung Slamet. Beberapa yang bertemu kami pun mengakui terjebak badai kabut saat berada di Pos 5, Samyang Rangkah. Ini memang siklus tahunan di Gunung yang dulu dikenal dengan sebutan Gunung Gora ini. Badai kabut dan angin brubugan menjadi tantangan paling akrab pada musim-musim ini. 

Hasilnya tak sewang tanganmu saat memotret, tapi masih lumayankan.... 

Tak lama, short massenger seorang kawan yang menggigil di Pos 1 membuat kami bersegera turun. Rencana berlanjut ke Pondok Cemara pun menjadi tujuan selanjutnya. I hope so. Dalam perjalanan seorang kawan berseloroh, “Anita ditawari naik jabatan di Jakarta, malah milih naik ke Gunung Slamet”. Saya tersenyum, karena dalam hati itulah yang tengah saya pikirkan. Bahwa pesona alam memang tak tertandingi dan membawa saya jatuh cinta sekali lagi. Semoga 2017 memang penuh kejutan dan penuh cinta.


Matur nuwun untukmu yang tumben mengijinkan naik (daripada pindah Jakarta katamu), mas Lukman untuk kesabarannya  menjadi leader kali ini, mba Anisa untuk pinjaman kebaya-nya yang cantik, mas Sukhur yang rela memangkas jatah nasinya untuk kami bertiga saja, mba Eri, mba Lintang dan mas Ficky maaf ya kalau menunggu sampai menggigil di bawah, dan mas Andi keep “and one, and two”, juga mba Anti, mba Eti, mba Heni untuk bekalnya, mas Yatno untuk kompor gunungnya. Yuk bersiap untuk trip berikutnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BATIK PURBALINGGA DIMULAI DARI ERA NAJENDRA

Sore yang terbalut hujan. Seketika nama udan liris mampir di pikiran. Eh, lalu bagaimana dengan truntum, kawung, lumbon, sekar jagad atau bahkan cebong kumpul ? Semarga kan ? (Oleh : Anita W.R.) Pertanyaan itu kian menggelitik setelah pertemuan pertama saya dengan seseorang ini terjadi pada Desember 2013. Satu kalimat yang saya ingat darinya adalah " Batik Purbalingga itu sudah punya khas sejak awal ". Antara takjub, bingung dan tidak mudheng , rangkaian penasaran itu saya endapkan hingga menuju 2 tahun. Ya, bicara Batik, banyak informasi, artikel sampai literatur yang membahasnya. Namun batik Purbalingga, hanya sekelumit yang saya ketahui. Padahal saya ada di kota ini sejak lahir dan tinggal dikelilingi beberapa pembatik sepuh. Memori saya pada bagian ini sepertinya tidak terlalu baik, sampai-sampai sulit membacanya. Tapi kalau boleh, ijinkan saya menyebut nama mereka satu per satu. Eyang Din, Mbah Sastro, dan Mbaeh Nana adalah nama-nama pembatik sepuh yang...

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah...

Brambang Jae dan Larangan Pementasan Wayang Kulit

Nama petilasan ini adalah Brambang Jahe. Nama yang unik ya? Cukup menggelitik tanya di benak, apakah di petilasan ini terdapat pohon bawang merah dan pohon jahe. Yang tentu saja jawabannya adalah tidak. Petilasan brambang Jahe ini sudah masuk dalam daftar inventaris Benda Cagar Budaya (BCB) kategori bangunan makam. Meski nilai sejarahnya masih dipertanyakan, namun kecenderungan masyarakat menyakralkan tempat ini dan juga folklore yang terus hidup menjadikan Brambang Jahe sebagai salah satu petilasan yang diistimewakan. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai kuburan Brambang Jahe. Brambang Jahe terletak di Kelurahan Purbalingga Kidul, tepatnya di utara Stadion Guntur Darjono Purbalingga. Dahulu, makam ini terdapat di tengah persawahan. Tidak ada seorangpun yang berani membongkarnya. Bahkan sampai ketika tempat tersebut disulap menjadi stadion skala nasional pun, Brambang Jahe tetap ada. Dan untuk melindunginya dari tangan-tangan jahil, dibangunlah pagar keliling pada ma...