Langsung ke konten utama

Hijaunya Green Canyon

Awalnya saya pikir ini seperti menyusuri sungai di belakang rumah. Yang kanan kirinya masih rimbun pepohonan. Setengah perjalanan kemudian, saya baru menyadari keberadaan stalaktit yang semakin rapat mendekati ujung sungai. "Ini dia gong-nya", pekik saya dalam hati.

• Oleh : Anita W.R •

Sungai Cijulang di desa Kertayasa. Inilah sungai yang tengah saya lalui. Ya, saya menerima tawaran mengawal Ibu' reuni dengan kawan-kawan SMA-nya dulu ke tempat ini. Cukang Taneuh. Sebuah tempat yang memakan waktu 5 jam perjalanan dari Purbalingga. Foto diunduh dari pinterest akun @fikrisurbakti

Cukang Taneuh bisa jadi cukup asing dilafalkan bukan oleh penduduk lokal. Jadi, mari menyebutnya seperti kebanyakan orang. Green Canyon. Kalimat yang konon merupakan kecelakaan sebut dari Grand Canyon. Sebagian lainnya mengatakan alasan pemilihan nama Green Canyon karena airnya memang berwarna hijau. Penggunaan nama asing ini bukan tanpa alasan. Adalah Bill John. Seorang turis asal Prancis yang kesengsem pada eloknya jembatan tanah di ujung Sungai Cijulang yang berwarna hijau ini. Dan pada 1990-an, pembangunan dermaga Ciseureuh menjadi penanda dibukanya objek wisata ini. Ini adalah satu-satunya foto yang berhasil saya ambil di sisa-sisa usia baterai yang lupa tak saya charge. 

foto diambil dari www.adeventure-pangandaran.com

Penamaan Cukang Teneuh, mengacu pada bentuk jembatan tanah yang terproses secara alami. Jembatan tanah ini menghubungkan desa Cimerak dan desa Kertayasa. Indahnya lagi, dibawah jembatan berderet stalaknit dan stalakmit yang membentuk mulut gua di ujung Sungai. Dari sini, area menuju pemandian putri tampak menyembulkan aura kecantikannya. Menawarkan eksotisme yang memanjakan jiwa-jiwa petualang. Nanggung kalau stop disini dong ya.

Sampai pada trowongan ini, hilang sudah sebagian rasa capek akibat mengantre 3 jam. Perahu yang menumpuk di titik menuju kedung ini membuat kita makin penasaran apa yang ada disana. Meski dalam perahu, para sepuh sudah menunjukkan gelagat tidak mau mengikuti kemauan saya buat ciblon, ya minimal ayo lihat kedalam. "Mau disini saja atau mandi, Bu ?", selalu itu pertanyaan si tukang perahu sembari menyebutkan nominal tambahan jika ingin lebih mendekat pada pancuran emas. Ada yang menyebutnya sebagai air terjun Palatar. Foto diunduh dari www.permanatravel.com

Pengunjung benar-benar melewatkan alokasi "1/4 jam"-nya di dalam objek utama Green Canyon dengan baik. Aturan waktu disini memang sangat ketat, terutama saat padat pengunjung. Foto diunduh dari www.wisatahandal.comBukan tempatnya untuk ragu-ragu disini. Yang pilih mandi, hayuk selamat memberanikan diri lompat dari atas batu payung setinggi 5 sampai 6 meter. Yang penakut, abaikan tawaran si tukang perahu dan berbalik saja. Sementara bagi pemburu air bertuah, silakan memasuki pemandian putri yang perlu digapai dengan naik sedikit diatas tebing. Air rembesan dari dinding dan stalaktit di sisi ruang serupa bathtub inilah yang dipercaya menjadikan awet muda dan enteng jodoh. Dan entah karena sudah terus menerus dipleroki para sepuh, saya jadi tidak bisa ikut-ikutan mencuci muka dan meminum air dari rembesan stalaktit, seperti mas-mba disana itu. But, it’s okay, toh pada dasarnya saya masih muda dan jodohpun sudah didepan mata. Hahaha..



Note :
1. Perahu : Rp. 150.000 / 6 orang (anak usia gendongan terhitung 1 tiket)
2. Berenang / perahu di pemandian : Rp. 100.000 s.d Rp. 200.000

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BATIK PURBALINGGA DIMULAI DARI ERA NAJENDRA

Sore yang terbalut hujan. Seketika nama udan liris mampir di pikiran. Eh, lalu bagaimana dengan truntum, kawung, lumbon, sekar jagad atau bahkan cebong kumpul ? Semarga kan ? (Oleh : Anita W.R.) Pertanyaan itu kian menggelitik setelah pertemuan pertama saya dengan seseorang ini terjadi pada Desember 2013. Satu kalimat yang saya ingat darinya adalah " Batik Purbalingga itu sudah punya khas sejak awal ". Antara takjub, bingung dan tidak mudheng , rangkaian penasaran itu saya endapkan hingga menuju 2 tahun. Ya, bicara Batik, banyak informasi, artikel sampai literatur yang membahasnya. Namun batik Purbalingga, hanya sekelumit yang saya ketahui. Padahal saya ada di kota ini sejak lahir dan tinggal dikelilingi beberapa pembatik sepuh. Memori saya pada bagian ini sepertinya tidak terlalu baik, sampai-sampai sulit membacanya. Tapi kalau boleh, ijinkan saya menyebut nama mereka satu per satu. Eyang Din, Mbah Sastro, dan Mbaeh Nana adalah nama-nama pembatik sepuh yang...

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah...

Brambang Jae dan Larangan Pementasan Wayang Kulit

Nama petilasan ini adalah Brambang Jahe. Nama yang unik ya? Cukup menggelitik tanya di benak, apakah di petilasan ini terdapat pohon bawang merah dan pohon jahe. Yang tentu saja jawabannya adalah tidak. Petilasan brambang Jahe ini sudah masuk dalam daftar inventaris Benda Cagar Budaya (BCB) kategori bangunan makam. Meski nilai sejarahnya masih dipertanyakan, namun kecenderungan masyarakat menyakralkan tempat ini dan juga folklore yang terus hidup menjadikan Brambang Jahe sebagai salah satu petilasan yang diistimewakan. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai kuburan Brambang Jahe. Brambang Jahe terletak di Kelurahan Purbalingga Kidul, tepatnya di utara Stadion Guntur Darjono Purbalingga. Dahulu, makam ini terdapat di tengah persawahan. Tidak ada seorangpun yang berani membongkarnya. Bahkan sampai ketika tempat tersebut disulap menjadi stadion skala nasional pun, Brambang Jahe tetap ada. Dan untuk melindunginya dari tangan-tangan jahil, dibangunlah pagar keliling pada ma...