Saat bertemu MATAJIWA 4 tahun silam

Perbincangan saya dengan mereka ini terjadi pada akhir 2012 silam. Kado istimewa saat saya masih dilabeli idealis.

"Kita pengennya orang yang denger langsung ngerasa Indonesia banget meski nggak kental tradisi juga. Karena mau dibikin kebarat-baratan pun nada kita emang tetep aja ada unsur yang sangat meng-Indonesia"

• Oleh : Anita W.R •

Kalimat itu meluncur dari dua personel MataJiwa. Ya nama inilah yang dijadwalkan melakukan media visit saat itu. Cukup asing. Dan waktu satu hari membuat saya plus team keteteran menatap video live perform mereka. "Edan", ujar salah seorang anggota team. Komposisi world music yang cukup rapat dengan raungan magis yang menggema ke sudut-sudut hati. Membawa ke suatu rasa yang antara dikenal dan tak dikenal. Sepakat. Edan.

Kekacauan otak kami makin menjadi saat menyadari mereka miskin personel. "Mung loro ? Mata_{karo}_jiwa tok apa kiye ? Liyane ?". Beberapa kawan media juga mulai clingukan. Berharap ada surprise. Kenyataannya cukuplah mereka berdua. Anda Perdana dan Reza Achman. "Berdua lebih enak bagi (honor)-nya", canda sang vokalis, Anda.

Nama Anda Perdana, lebih dulu dikenal dengan embel-embel Bunga Band. Ya, dialah Anda "Bunga". Gitaris yang mengiringi Cinta membaca puisi Rangga. Terakhir dia membentuk Anda with the Joint yang "menyesatkan" lewat Biru. Sementara Reza Achman, penabuh drumcussion yang pernah bergabung dengan Genggong. Ia memang madhepok pada Sawung Jabo di Aussie dan baru kembali ke tanah air pada 2010. "Dia set sendiri tuh drumnya. Beda dari yang lain. Ada tambahan alat musik tradisional Nusantara. Dipukulnya langsung pake tangan. Namanya drumcussion", lanjut Anda.

Tidak banyak instrument yang dibawa Reza malam itu. Saya sempat membayangkan ini akan menjadi sesi akustik yang sederhana. Ala kadarnya untuk sebuah wawancara tertutup. "MataJiwa resmi kebentuk Oktober 2011. Dulunya kita udah pernah ketemu dan ada niatan nge-jamm tapi nggak sempet-sempet", kata Reza. Bermula dari sebuah wedding gig, kebersamaan itu berlanjut. "Suatu saat Anda main di Bandung dan coba main beruda aja ternyata enak banget dan lanjut", lanjut Reza yang ditingkah tawa khas Anda. Dan tawaran sebuah kompilasi piringan hitam membuat makin larut untuk membalut dua lika-liku pemikiran mereka dalam nada.

Konsep duo tidak berarti tanpa orang ketiga. Mereka senang bereksperimen. Bahkan sebelumnya nama Carlos Camello pun tergabung di dalamnya. Musisi asal Kolumbia ini jugalah yang menginspirasi lagu berjudul Inti. "Awalnya Inti Raymi. Ini sebuah tradisi masyarakat Inca. Tapi belakangan judulnya kita ubah jadi Inti saja ", ujar Reza. Cucu pencipta Tanah Air ini sepertinya gemar berbicara seni tradisi. "Padahal pengen jamming ama pemusik lokal sini (pengrawit calung) lho", akunya dengan sedikit kecewa begitu mengetahui saya tidak mengontak seorang pun pemusik tradisional. Maaaafffff.

Yap, berkolaborasi dengan pemusik tradisional memang acap dilakukan MataJiwa sebagai eksperimen, salah satu bagian tagline mereka. Experience, Expression, Experiment.

"Seorang teman menyebut janra MataJiwa sebagai ethno psychedeliarock. Itu intepretasi teman. Pada dasarnya kita nggak suka disebut dengan satu aliran tertentu", kata Anda. Mulai dari rock yang begitu mereka cinta, reggae, jazz hingga etnik pun dimainkan. "Tapi kita nggak berani bilang etnik juga, karena bukan pemain musik tradisi ya. Hanya memang ada feel musik tradisi masuk dan jadi pembeda. Ibarat masakan, menunya internasional tapi masih ada rasa tahu tempe-nya", imbuh Reza.

Single yang mereka usung malam itu adalah 1. Liriknya bikin saya terbelakak "Tuhanmu, Tuhanku. Tuhanku, Tuhanmu". Kalau pikirmu cupet, gawat benar mendengar ini. Tipe lagu begini memang bukan untuk didengar sambil lalu namun dinikmati perlahan. Mereka bukan menawarkan konsep sing along, tapi sekali terbius alurnya, yakin langsung bisa ikut bersenandung.

1 merupakan gambaran keprihatinan mereka pada maraknya kejadian SARA yang justru muncul dari sisi kehidupan, bukan lagi politis. "Waktu itu kita kepikiran tentang Bhineka Tunggal Ika", kata Anda. MataJiwa memang bicara banyak soal kehidupan dalam karya-karyanya. "Alam, kehidupan, cinta yang universal, nasionalis. Pengennya sih kita bisa liat dari sudat pandang yang lain", tambahnya. Sudut pandang mata jiwa, sesuatu yang sudah jarang digunakan pada era individualis ini. Foto diunduh dari sini

Sembari menikmati kraca, obrolan pun mulai melebar. "Ada tempat keren nggak di Purbalingga?", tanya Reza. Intuisi saya menyebut mereka lebih menyukai alam bebas. Benar saja. Istilah "negeri 1000 curug" membuat mereka berbinar. Ya, kecintaan pada alam membuat Anda dan Reza, lebih memaknai persembahan karya mereka. "Banyak proses dapat lagunya nggak sengaja : kayak pas di Bali jam 5 pagi, lihat suasana alam eh Anda dapet nada", kata Reza yang juga tanpa sengaja menemukan tempo beat asyik saat sound cek. Empat elemen alam pun menjadi bagian dari karya-karya mereka. Mulai dari bunyi korek api, adukan wedang, hingga ruwetnya jalanan.

Salah seorang team berbisik, "Mereka manusiawi banget". Edan lagi nih pilihan katanya. Tidak hiperbolis juga sih. Karena apa yang mereka lakukan adalah menuntun kami yang kebingungan meraba konsep musiknya, namun tidak menggurui pada tiap penjelasannya. Ini macam obrolan kakak-adek saja. Berbeda dari beberapa kali media visit yang jelas membuat kami merasa "endi artise karo sing udu, keton".

Waktu yang dinanti tiba. Saatnya mendengar mereka bernyanyi hanya dengan sound ala kadarnya yang tersedia di kantor. Tawar menawar judul malah terjadi. Entah apa yang diotak kawan saya saat dia maksa ingin menyaksikan live lagu yang berjudul sama dengan nama mereka. Mata Jiwa. Dan voila. Intronya bikin saya kangen almarhum Bapak yang mengenalkan saya pada "Senja Merah"nya Marini & The Steps. Nggak tau kenapa jadi terdengar sepintaaaas mirip. Selanjutnya untaian kata serupa mantra mengalun dari vokal Anda yang kadang seolah mencelat membawa kita menembus waktu. Beruntung hentakan suara nge-rock penyanyi yang melejit lewat Tentang Seseorang ini, membuat kita cepat kembali ke kenyataan. Ada yang unik dalam lirik Mata Jiwa ini. Karena seirama mantra itu kurang lebih berarti mata jiwa dalam bahasa Spanyol, Prancis, Italia hingga Portugal.

Lagu kedua yang mereka mainkan adalah Semesta. Ini masuk dalam Album 1 CD II. Konsep album mereka memang unik. Anggaplah kaset, punya side A dan B. Kalau ini CD I dan II. Hanya saja tidak dilempar bersamaan.

Semesta adalah track 8 atau pembuka dari CD II. Tapi sepertinya tidak terlalu asing. Benar saja, lagunya pernah saya dengar sebelum ini lewat akun yang saya lupa milik siapa. Mungkin versi master. Karena Anda menyanyikannya hanya dengan iringan gitar elektrik dan lebih cepat. Di tangan MataJiwa, Semesta menjadi lebih nglangut. Tenang dan gelisah yang menyatu. Namun begitu drumcussion terdengar, entah mengapa kaki langsung saja ingin mendhak. Haceeeepppppp.Foto diunduh dari sini

Dugaan saya diawal tadi salah besar. Peralatan sekedarnya tidak menjadikan kurang rapat. Totalitas mereka luar biasa. Mendengar musik mereka seperti menyaksikan pagelaran sendratari. Kata 'mendengar' lebih saya pilih, karena mereka berdua hampir tidak ada interaksi selain dengan instrumen dan lagunya itu sendiri. Namun itu malah menggiring kita masuk ke imaji gerak bertema.

"Mencari arti semesta. Berkelana dalam dunia". Lagi-lagi kami hanya tertunduk sembari meresapi tiap lirik dan notasinya yang mungkin juga membawa kawan-kawan ini mengolah beksan dalam alam pikirnya. Sampai-sampai....... "Za, ngomong dong. Diem aja. Capek nih", ucap Anda yang mengagetkan kami semua. Lagunya udah selesai ? Dan kami masih belum sepenuhnya tersadar. Edan.

Suwun untuk Afgani Dirgantara & Bagus Permana atas kesedian menyimpan data fotonya.

Komentar